Kisah Spiritual: 1 Syawal tanpa Sandal

Oleh: Prof Dr Kasuwi Saiban MAg

Jumat, 01 Juni 2018 – 11:31 WIB
Prof Dr Kasuwi Saiban MAg. Foto for Radar Malang/JPNN.com

jpnn.com, MALANG - Kisah spiritual yang sangat menginspirasi saya setelah beranjak dewasa adalah saat 1 Syawal.

Jelang Idul Fitri seperti sekarang ini, pengalaman 50 tahun yang lalu itu teringat lagi ketika saya minta sandal baru untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman bersama teman-teman.

BACA JUGA: Kisah Spiritual dari Musala tak Bernama

Saat itu malam satu Syawal, takbir sudah berkumandang di masjid-masjid, bahkan obor api pun sudah dinyalakan berbaris dibawa keliling kampung dengan takbir yang menggema.

Teman-teman sudah pada pamer punya sandal baru. Sebetulnya sejak siang saya menunggu berita dari ayah tentang sandal baru untuk saya.

BACA JUGA: Kisah Spiritual: Dari Laku Kebatinan, Belajar Nilai Islam

Sebagai anak yang selalu patuh dan taat kepada orang tua, saya tidak berani meminta. Saya khawatir ayah tersinggung karena memang beliau tidak punya uang untuk membelikan saya sandal.

Saya memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang kurang mampu dari segi ekonomi. Ayah bekerja sebagai petani kecil dengan menggarap sawah seadanya, sementara ibu hanya membantu ayah bekerja di sawah.

BACA JUGA: Kisah Spiritual: Berguru Kepada Pak Mat

Penghasilan pun tidak menentu. Sekalipun demikian karena perasaan malu terhadap teman-teman yang terus memamerkan sandal barunya, maka saya memberanikan diri untuk meminta kepada ayah:

”Yah, teman-teman sudah pada punya sandal baru, mohon saya dibelikan biar tidak malu sama mereka”.

Betapa terkejutnya saya mendengar jawaban ayah: ”Nak, berdoalah agar malam ini turun hujan!”

Kala itu spontan saya menjawab: ”Yah, saya minta sandal bukan minta air, kenapa Ayah suruh saya berdoa agar turun hujan?”

Benar-benar pikiran saya tidak nyambung, kenapa ayah menjawab begitu. Ternyata ayah menggunakan logika yang sungguh di luar dugaan saya.

Beliau bilang bahwa kalau malam ini hujan, maka semua orang pergi ke masjid tanpa sandal karena jalannya becek.

Saya sungguh tertegun, sekalipun ayah saya buta huruf, tidak pernah sekolah, tapi ternyata dengan kejernihan hatinya, logikanya jalan. Akhirnya malam itu saya secara khusyuk berdoa semoga Allah segera menurunkan hujan.

Dan alhamdulillah tidak lama kemudian doa saya terkabulkan. Malam itu hujan lebat, bahkan terus-menerus hujan sampai pagi hari saat orang-orang pergi ke masjid guna menunaikan salat Idul Fitri.

Lega rasanya semua orang pergi ke masjid tanpa pakai sandal. Teman-teman yang semalam mengejek saya dan mau pamer sandal barunya, malu tertunduk sambil berjalan tanpa memakai alas kaki.

Beberapa tahun setelah peristiwa itu, ayah dipanggil oleh Allah sehingga saya tinggal bersama ibu. Beliau yang menyertai saya dengan bekerja sebagai petani meneruskan sawah garapan ayah.

Pengalaman spiritual tersebut benar-benar inspiratif dan sering saya ceritakan kepada siswa, mahasiswa, bahkan anak-anak saya bahwa hidup itu perlu perjuangan; dari kecil menjadi besar, dari sulit menjadi mudah, dari rendah menjadi tinggi, dari kalah menjadi menang, bahkan dari sengsara menjadi bahagia.

Ada tiga hal yang menjadi catatan saya terkait pengalaman spiritual tersebut, yaitu: (1) Hendaknya kita melihat orang yang lebih rendah dalam urusan dunia. Sekalipun ayah tidak bisa membaca dan menulis, tampaknya beliau bisa memperoleh informasi dari ustad yang sering memberikan ceramah tentang sabda Nabi:

”Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta/dunia) dan janganlah engkau melihat orang yang berada di atasmu. Hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhori-Muslim).

Dalam peristiwa di atas seakan ayah menyatakan kepadaku: ”Lihatlah teman-temanmu yang tidak mempunyai sandal, dan jangan kau lihat mereka yang mempunyai sandal baru”.

Nasihat tersebut sangat penting untuk kita pegang di era yang serbamateri dewasa ini, jika tidak maka kita tidak akan pernah bersyukur dengan apa yang diberikan Allah kepada kita.

Hal ini bisa berakibat pada perasaan hati yang tidak pernah tenang karena terus dikejar kekurangan yang tidak pernah berujung, sebagaimana sabda Nabi:

”Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, dia tentu ingin yang kedua, jika dia diberi yang kedua dia ingin lagi yang ketiga. Dan tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain tanah/liang lahat….” (HR. Bukhori).

(2) Hendaknya kita sedapat mungkin menghindari utang. Andaikan saja saat itu ayah mau berutang kepada tetangga sekitar untuk membelikan sandal saya pasti beliau akan dapatkan. Akan tetapi beliau tidak mau melakukan itu.

Tampaknya beliau sering mendengar pengajian dari ustad yang menyampaikan tentang risiko seseorang yang mempunyai utang, antara lain hadis Nabi yang artinya:

”Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung karena utangnya, sampai dia dibayarkan” (HR. Tirmidzi).

Dari peristiwa di atas seakan-akan ayah memberi nasihat kepada saya agar senantiasa terhindar dari utang.

Nasihat tersebut sangat penting untuk kita perhatikan di era kapitalis yang sering menggiring kita agar berutang untuk kepentingan konsumtif yang akan menjerumuskan kita pada kehidupan yang menyusahkan.

(3) Hendaknya kita menyerahkan semua urusan kepada Allah dengan berdoa yang penuh khusyuk. Dalam peristiwa di atas seakan ayah memberi nasihat kepada saya bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kekuatan lahir, tapi ada kekuatan batin yang berupa doa mengambil peran yang sangat penting.

Oleh karena itu berdoalah dengan khusyuk, maka Allah akan mengabulkan keinginanmu. Sekalipun ayah saya tidak bisa membaca Alquran, tampaknya beliau sering mendengar ceramah ustad tentang firman Allah pada surat Al-Ghafir ayat 60 yang artinya:
”Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan kabulkan doa kalian”.

Nasihat tersebut sangat penting di era yang serba matematis dewasa ini, seakan segala sesuatu hanya ditentukan oleh hitung-hitungan lahir. Padahal, kekuatan batin dengan doa juga sangat menentukan dalam keberhasilan seseorang.

Tiga hal terkait peristiwa tersebut; yaitu: Melihat orang yang lebih rendah dalam urusan dunia, menghindari utang, dan berdoa yang penuh khusyuk, selalu saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari sampai sekarang. Semoga menjadi inspirasi untuk kita semua. Wallahu a’lam bishawab. (c2/abm)

Prof Dr Kasuwi Saiban MAg
Ketua Senat Universitas Merdeka (Unmer) Malang

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Spiritual: Menjaga Hakikat Roh


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler