jpnn.com, MALANG - Mendirikan Panti Asuhan/Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak Ar-Rahman tak segampang yang dibayangkan. Apalagi berada di kampung minoritas muslim.
Salah seorang pendiri sekaligus pengasuh PA/LKSA Ar-Rahman, M Kholiq menceritakan bahwa dirinya sempat dilarang mendirikan musala.
BACA JUGA: Tiap Bulan Bagikan Beras ke Warga tanpa Pandang Agama
Lihat: Tiap Bulan Bagikan Beras ke Warga tanpa Pandang Agama
Persitiwa itu terjadi pada 1996 silam, kala mengajukan izin pembangunan musala di Desa Peniwen, Kecamatan Kromengan oleh Pemerintah Kabupaten Malang.
BACA JUGA: Pesantren Kampung Minoritas: Siswa Keluarga Mualaf Gratis
Seperti apa kisahnya?
===============================
Indra Mufarendra - Radar Malang
===============================
BACA JUGA: Nonmuslim Sekolah di Lembaga Pendidikan Islam
PA/LKSA Ar-Rahman berada di Jalan Said II, Desa Peniwen, Kecamatan Kromengan. Lokasinya hanya berjarak sekitar satu kilometer dari GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) Peniwen, juga monumen Peniwen Affair. Dua bangunan bersejarah itu merupakan ikon Desa Peniwen.
PA/LKSA Ar-Rahman menempati lahan seluas satu hektare. Bangunannya ada beberapa. Ada sebuah masjid, kantor, aula, juga asrama untuk anak-anak panti. Untuk sebuah panti asuhan, apalagi di daerah pelosok, PA/LKSA Ar-Rahman memang tergolong ”wah”.
Tapi, butuh proses panjang untuk menjadikan PA/LKSA Ar-Rahman hingga seperti sekarang ini. Proses itu sudah dilakukan sejak 1996 lalu.
Perintisnya adalah M. Kholiq dan Andri Kurniawan. Kholiq adalah mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang (kini UIN Malang). Sementara, Andri tercatat sebagai mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN).
”Awalnya ada tujuh orang dari Desa Peniwen datang pada kami. Mereka mengaku sebagai muslim dan butuh bimbingan,” ujar Kholiq, yang bersama dengan Andri sempat membuka bimbingan belajar di Kota Malang itu.
Tujuh orang itu khawatir keimanan mereka luntur lantaran pengaruh lingkungan sekitar. Sebab, warga Desa Peniwen mayoritas nonmuslim.
”Mereka bingung karena di Desa Peniwen ini tidak ada ada lembaga pendidikan Islam dan semacamnya,” kata dia. Bahkan, masjid atau musala pun tak ada kala itu.
Berangkat dari itu, Kholiq bersama rekannya mencoba mengakomodasi permohonan warga muslim Desa Peniwen. Awalnya, Kholiq mengajukan pembangunan musala kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang.
”Tapi pemkab tidak mengizinkan. Alasannya karena jumlah penganut Islam di Desa Peniwen kan kecil sekali. Mereka lantas menyarankan kepada kami untuk mendirikan panti asuhan saja,” ujar dia.
Toh meski namanya panti asuhan, namun dalam praktiknya mereka tetap bisa memberikan materi pendidikan Islam. ”Akhirnya kami bergerak untuk memulai pembangunan panti asuhan,” kata bapak dua anak ini.
Mereka mendapatkan bantuan dari donatur untuk mendirikan panti asuhan itu. Mulai dari lahan seluas 800 meter persegi, hingga bantuan untuk pendirian bangunannya.
Penghuni panti juga terus bertambah dari waktu ke waktu. Meski setiap waktu ada yang harus keluar (karena bekerja atau telah mandiri), tapi selalu saja ada yang datang. ”Sekarang ada 47 anak yang kami asuh,” ujar dia.
Kholiq mengatakan, selama ini tak pernah ada hambatan berarti yang dia hadapi untuk membesarkan panti asuhan. Hubungan dengan warga sekitar yang mayoritas umat Nasrani juga terjalin baik. ”Soal komunikasi tidak ada masalah,” ujar dia.
PA/LKSA Ar-Rahman juga tidak merasakan dampak aksi terorisme yang terjadi di sejumlah gereja di Surabaya beberapa waktu lalu. ”Kami tidak terpengaruh. Pun demikian dengan warga sekitar. Karena selama ini hubungan kami memang baik-baik saja,” kata dia.
Tak hanya rutin membagikan sedekah untuk warga sekitar, anak-anak panti juga acap kali terlibat dalam kegiatan di Desa Peniwen. Penghuni panti asuhan dengan warga yang mayoritas Nasrani itu selalu membaur. Nyaris tidak ada sekat dalam kegiatan-kegiatan sosial.
”Tentu kegiatannya yang umum ya. Kalau sifatnya berkaitan dengan akidah, tentu kami tidak bisa ikut,” ujar dia. (***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gratiskan Santri, Setahun Luluskan 1 Hafiz
Redaktur : Tim Redaksi