jpnn.com, MALANG - Sejak masih kecil, setiap menjelang datang bulan Ramadan, saya selalu diajak ayah berziarah kubur. Biasanya setelah salat Asar, sehari sebelum masuk bulan Ramadan, ziarah ke makam kakek itu dilakukan.
Dengan membawa tikar untuk alas duduk, ayah di tempat itu mengajak membaca tahlil. Kegiatan itu rutin dilakukan, hingga terasa menjadi seperti keharusan dilakukan setiap tahun.
BACA JUGA: Kisah Spiritual: Hidup Penuh Misteri
Oleh karena sudah menjadi tradisi, saya tidak pernah bertanya, bagaimana hukumnya berziarah kubur itu. Namun saya dapatkan, ada saja penjelasan yang berbeda-beda yang diberikan beberapa kalangan yang berbeda. Tapi, perspektif apa pun yang disampaikan tidak menghentikan tradisi itu.
Meninggalkan dari apa yang diajarkan orang tua sejak bertahun-tahun, tentu tidak mudah. Oleh karena itu, pada setiap menjelang bulan puasa, saya selalu menyempatkan diri pulang kampung, sekalipun harus memakan waktu di perjalanan cukup lama, yaitu hingga tidak kurang dari empat jam, atau delapan jam pulang pergi, dengan menggunakan kendaraan sendiri. Jika perjalanan itu harus naik bus atau travel, tentu lebih lama lagi.
BACA JUGA: Kisah Spiritual: Bertindak Lokal, Berpikir Global
Umpama saja, saat tradisi itu terpaksa tidak bisa saya lakukan, maka terasa sekali, bahwa ada sesuatu yang masih kurang atau belum saya penuhi, ialah berziarah kubur itu.
Dahulu saya mengira bahwa keinginan berziarah ke makam orang tua tidak banyak dialami oleh orang lain. Akan tetapi, saya menjadi terkejut ketika pada suatu saat, membaca tulisan Prof Syafii Maarif, mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, juga merasakan kerinduan yang mendalam terhadap almarhumah ibunya.
Selama itu, menurut ceritanya, oleh karena ditinggal wafat sejak kecil, beliau belum pernah menyaksikan wajah ibunya sendiri.
Dalam tulisan itu diceritakan bahwa, kerinduan itu tidak bisa dibendung dan akhirnya beliau pulang kampung untuk berziarah. Bahkan ada yang aneh, oleh karena makam ibunya itu terlalu jauh, maka beliau berinisiatif, dengan pertolongan penduduk setempat, menggali dan memindah makam ibunya itu ke tempat yang lebih mudah dijangkau.
Sekalipun memindah makam itu tidak begitu lazim, tetapi beliau mengaku puas, oleh karena juga berhasil melihat gigi ibunya yang sudah meninggal lebih 70 tahun, dan ternyata masih utuh.
Membaca tulisan Prof Syafii Maarif itu, semula saya sulit memercayai kebenarannya. Tetapi setelah saya bersilaturahmi ke kediaman beliau, dan menanyakan tentang kejadian itu, ternyata memang benar.
Beliau memindahkan makam ibunya agar mudah dijangkau ketika berziarah. Bahkan ketika itu, saya memberi informasi sekaligus meminta pendapat, bahwa makam para guru besar di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang selama ini terpencar-pencar dan tidak terawat. Saya meminta pertimbangan, andaikan makam perintis dan para dosen itu saya kumpulkan pada satu lokasi.
Dengan singkat, pertanyaan saya tersebut dijawab setuju dan sekaligus diberi argumentasi, bahwa hal yang demikian itu sebagai tanda penghormatan kepada para guru besar dimaksud. Memang sampai hari ini, gagasan tersebut belum terlaksana.
Selama ini, saya tidak ragu atas betapa pentingnya berziarah kubur. Setiap saya pergi haji maupun umrah, selalu berusaha singgah ke Masjid Nabawi untuk berziarah ke Makam Rasulullah.
Saya menyaksikan, betapa banyak orang berebut untuk mendekat pada makam orang yang mulia dan kekasih Allah itu, hingga berdesak-desakan tanpa henti.
Saya juga sering kali menyaksikan, betapa banyak orang berziarah ke makam para nabi lainnya di beberapa negara yang pernah saya kunjungi, para ulama besar, tidak terkecuali juga makam para ulama di Indonesia.
Setiap menyaksikan betapa ramainya makam para rasul, nabi, wali, dan para ulama diziarahi oleh banyak orang, maka segera muncul pertanyaan pada diri saya sendiri tentang makam ayah dan ibu saya.
Pertanyaan yang saya maksudkan itu ialah, jika para nabi diziarahi oleh sedemikian banyak umat Islam dari berbagai penjuru dunia, para ulama juga diziarahi oleh umat Islam dari berbagai tempat, maka siapa yang menziarahi makam ayah dan ibu saya sendiri itu.
Umpama sebagai anaknya saja, saya tidak berziarah, maka apa mungkin para tetangga akan menengok tempat itu. Kiranya tidak mungkin. Maka, saya merasa harus berziarah, dan berdoa di makam ayah dan ibu saya itu.
Termasuk meski sedang capek, karena saya baru saja tiba dari Jepang, Singapura, Belanda, Belgia, dan Selandia Baru, saya langsung pulang kampung ziarah ke makam orang tua. Wallahu a’lam.
Redaktur : Tim Redaksi