Kisah Sukses Penyandang Disabilitas, Punya Uang Banyak tapi Nggak Dipercaya

Selasa, 01 September 2015 – 06:19 WIB
Ketua Aris Yohanes Elean Information & Technology For the Blind (ITCFB). Foto: Yessy Artada/JPNN.com

jpnn.com - JIKA boleh memilih tak ada satupun manusia di dunia ini yang ingin terlahir tidak sempurna.

Keinginan itu juga diharapkan oleh Aris Yohanes Elean. Pria yang lahir di Pemalang, 22 April 1985 ini terlahir kurang sempurna lantaran tidak bisa melihat indahnya dunia. Terlahir dengan keterbatasan, tak membuat Aris menyerah begitu saja. Dari keterbatasannya itulah, Aris justru berhasil menjadi technopreneur lewat karyanya.

BACA JUGA: Kisah Polwan Pertama Keturunan Tionghoa jadi Intel, Menyamar jadi Tukang Pijat

Yessy Artada, Jakarta

Siang itu, tepat jam makan siang, Aris tengah asyik mengobrol usai memberikan motivasi kepada para mahasiswa baru (Maba) di salah satu universitas swasta di Serpong, Tangerang. Duduk dengan tegap dan kerap mengumbar senyum, ia tampak akrab dengan orang-orang sekelilingnya yang baru beberapa jam lalu dia kenal.

BACA JUGA: Kerak Telor di DPR, Bang Janen Senang..........

Ya, pria berusia 30 tahun ini menjadi sorotan dan begitu dikagumi lewat karyanya Kartunet (karya tunanetra), sebuah organisasi nirlaba yang mewadahi pengembangan minat dan bakat para penyandang disabilitas di bidang penulisan, seni dan teknologi.  
 
Lewat ketekunan mereka, kini penyandang disabilitas bisa dengan mudah mengakses komputer maupun menggunakan ponsel pintar atau smartphone layaknya manusia normal yang bisa melihat.

Bila teman-temannya lebih banyak menyalurkan bakat atau ketertarikannya pada alat musik, hal berbeda dilakukan Aris. Dia justru mencari sesuatu yang berbeda untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka layak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bekerja maupun berkarya.

BACA JUGA: Ekonomi Indonesia Lebih Baik di Era SBY

"Temen-teman (komunitas tunanetra) kebanyakan memilih ketertarikannya kepada musik, saya lebih berfikir apakah ada profesi lain yang bisa dikerjakan oleh tunanetra. Saya berfikir pada saat itu apa yang bisa membuat kami lebih tahu banyak hal dan mendapatkan teman. Saya berfikir ke IT, apalagi kami juga pengin mencoba bisa mengakses informasi sendiri," ungkap Aris saat ditemui JPNN.com beberapa hari lalu.

Karena itu pada 2006, Aris dibantu teman-temannya membuat sebuah wadah website yang bisa diakses dengan mudah oleh penyandang tunanetra atau Information & Technology For the Blind (ITCFB). Dalam web tersebut berbagai macam informasi bisa diketahui maupun diakses oleh penyandang disabilitas. Hingga informasi smartphone yang bisa mereka akses.

"Handphone yang kami gunakan sama saja merknya, nggak ada merk khusus. Biasanya di situ (handphone) sudah ada softwarenya, nah kami cuma buat tutorialnya. Untuk mengakses navigasi di ponsel, kita harus apal gerakan jari," ungkap Aris sambil memeragakan ponsel yang dia miliki.

Dia pun tampak cekatan menggunakan smartphone layar sentuh miliknya. Aris juga fasih saat memeragakan untuk mengakses ponselnya tersebut. Mulai dari mengetik pesan singkat, masuk ke menu lainnya di smartphonenya. Bahkan lewat smartphonenya tersebut, dia berhasil sampai di tujuan dengan memberikan arahan pada sopir taksi.

"Tadi tebak saya ke sini sama siapa?," tanya Aris memberi pertanyaan.

"Dijemput," jawab penulis mencoba menebak.

"Salah, saya sendirian ke sini, nggak ada yang nganter. Sama supir taksi, tapi supir taksinya nggak tahu daerah sini. Jadi lewat handphone ini tinggal diakses aja, saya bisa sampai ke sini. Saya juga nggak tahu jalan, jadi saya yang tadi arahin sopirnya jalan," kisah dia.

Pria yang punya hobi baca buku ini mengaku miris melihat masih banyak masyarakat yang mengesampingkan dan menganggap rendah keberadaan sekitar 3 juta penyandang disabilitas di Indonesia. Pria yang suka jalan-jalan ini berharap masyarakat tidak memandang sebelah mata kaum disabilitas. Menurutnya, semua manusia punya hak yang sama untuk dihargai.  

"Saya waktu itu jalan-jalan berdua sama temen saya yang tunanetra juga, kami dianggap mau ngamen dan mau diusir, padahal waktu itu kami mau ke museum ikan dan sudah beli tiketnya. Pandangan di masyarakat masih seperti itu, kami punya uang banyak pun nggak dipercaya. Makanya gimana caranya kami mau menunjukkan bahwa kami juga punya uang dan bisa berkarya," tegasnya. (chi/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mak Inah Penjual Sapu Lidi itu Menangis


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler