Mak Inah Penjual Sapu Lidi itu Menangis

Minggu, 30 Agustus 2015 – 00:49 WIB
Nenek Sutinah. Foto: Radar Cirebon/JPG

SUTINAH, 83, wanita tua yang berjuang keras demi mempertahankan hidup. Dia terpaksa banting tulang agar bisa menyambung hidup setelah suaminya tiada dua tahun silam. Bagaiamana kisahnya?  
---------------
Agus Panther, Luragung
---------------
SIANG itu, cuaca di Desa Geresik, Kecamatan Ciawigebang, Kuningan, Jabar, cukup menyengat. Aspal yang diinjak terasa panas. Hanya ada beberapa gelintir orang yang masih nekat berjalan kaki di atas aspal hotmik di desa tersebut. Salah satunya Sutinah.

Wanita tua tanpa anak itu berjuang sendirian mengais rezeki supaya bisa tetap makan. Barang yang dimilikinya pun sudah habis dipakai berobat suaminya yang terkena stroke, yang akhirnya meninggal.

BACA JUGA: Ada Pocong Malah Ngakak

Yang tersisa hanya tinggal rumah yang kini ditempatinya sendirian. Karena kondisinya tidak memungkinkan, dia hanya berjualan sapu lidi seminggu tiga kali.

Dari desanya, Panyosogan Kecamatan Luragung, wanita renta yang akrab dipanggil Mak Inah itu menyusuri jalanan Geresik dan beberapa desa di sekitarnya sambil membawa dagangannya berupa delapan buah sapu lidi.

BACA JUGA: Menengok Tapal Batas RI di Malinau, Prajurit Penjaga Paling Suka di Pondok Cinta

Sandal jepit yang dikenakannya nampak sudah lusuh, begitu juga pakaiannya. Sesekali Mak Inah berhenti di bawah pepohonan sekadar meluruskan kaki. Napasnya tersengal-sengal. Kerudung yang dipakainya digunakan untuk mengelap keringat di sekitar wajahnya.

 Beberapa menit istirahat, Mak Inah melanjutkan perjalanannya menyusuri perkampungan. Tanpa memakai tudung atau tutup kepala, Mak Inah harus menahan teriknya panas matahari dan berjalan terseok-seok demi memeroleh uang Rp8.000 dari menjual sapu lidi.

BACA JUGA: Baca Nih Contoh Toleransi Beragama dari Kedalaman 1.600 Meter di Bawah Tanah

Pekerjaan menjual sapu lidi yang untungnya tidak seberapa itu dilakukan Mak Inah agar bisa membeli beras untuk di masak di rumah. Sapu lidi yang dijualnya bukan milik Mak Inah sendiri. Dia mengambil sapu tersebut dari perajin yang ada di desanya.

Modalnya hanya kepercayaan saja. Satu biji sapu lidi, Mak Inah harus setor Rp5.000 ke pemiliknya. Kepada pembeli, Mak Inah menjualnya dengan harga Rp6.000 saja. Jadi jika berhasil menjual satu buah sapu lidi, dia memeroleh keuntungan Rp1.000.

Terkadang Mak Inah hanya mampu menjual tiga atau empat buah saja, karena tidak banyak masyarakat yang terlalu membutuhkan dagangannya. Bahkan sering kali dagangannya tidak ada yang membeli. Jika tidak laku, sapu lidi itu dikembalikan kepada perajinnya, dan Mak Inah harus rela menahan lapar hingga malam hari.

 Beruntung tetangganya terbilang baik, dan kerap memberinya nasi kendati tanpa lauk. Nasi yang hanya sedikit itu menjadi ganjal perut Mak Inah hingga pagi hari.

“Kalau dagangan tidak laku hingga sore, Emak terpaksa meminta nasi setengah centong kepada tetangga. Itu juga Emak malu kalau minta, tapi ya bagaiamana lagi. Untuk lauk nasinya hanya dengan garam. Meski Emak hanya makan sama garam, tapi Emak bersyukur masih bisa makan. Emak ikhlas menjalani hidup ini walau miskin. Yang penting, Emak tidak menyusahkan orang lain. Pantang bagi Emak meminta-minta atau menjadi pengemis walau kehidupan Emak sangat susah,” tutur Mak Inah.

Mak Inah menyadari jika banyak tetangganya yang menaruh iba dan sering memberikan bantuan makanan. Namun lama kelamaan, dirinya merasa malu jika terus dibantu. Akhirnya, Mak Inah memilih menjadi penjual sapu lidi kendati untungnya hanya beberapa ribu Rupiah saja. Dia mengaku mendapat jatah raskin dari pemdes setempat.

“Biasanya Emak beli beras raskin beberapa kilogram untuk persediaan. Untuk lauk nasinya, seadanya saja. Kalau ada garam ya garam, kalau nggak ada, ya nasinya saja,” tuturnya dengan menggunakan Bahasa Sunda.

Mak Inah yang mengaku saat Proklamasi Kemerdekaan RI didengungkan Soekarno-Hatta di tahun 1945 berusia lima belas tahun merasakan pedihnya penjajahan Belanda dan Jepang. Soal bantuan dari pemerintah, Mak Inah merasa pernah mendapat bantuan seperti BLT.

“Kalau BLT itu kan hanya tahunan, sehari-hari Emak harus nyari sendiri. Emak sudah janji ke diri sendiri, selagi Emak masih kuat berjalan, Emak akan tetap berjualan sapu lidi dan tidak akan menggantungkan hidup dari belas kasihan orang lain,” ucapnya seraya menangis. (*)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengusaha Tempe Ini Omzetnya Puluhan Juta, Modal Gadaikan SK PNS Tetangga


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler