Narapidana seperti narapidana lansia ini termasuk di antara kelompok berisiko tinggi yang diprioritaskan dalam peluncuran vaksin pertama Rwanda. (Getty Images: Cyril Ndegeya/Xinhua)
Sabin Nsanzimana tidak akan pernah lupa malam itu.
13 Maret tahun lalu, saat kasus pertama COVID terkonfirmasi di Rwanda.
"Tim saya menghubungi untuk mengecek dan memastikan kasus pertama itu," katanya.
Dokter sekaligus epidemiolog itu adalah Dirjen Pusat Biomedis Rwanda, yang memimpin penanganan COVID di Rwanda.
BACA JUGA: Positif Covid-19, Ussy Sulistiawaty: Badan Kayak Ditarik ke Bawah
"Meskipun kami pernah mengetes wabah lain seperti virus Ebola di laboratorium kami, virus corona ini berbeda karena kepanikan yang ditimbulkannya di seluruh dunia," kata Dr Sabin.
"Kami harus mengetes sampel tersebut sampai tiga kali hanya untuk benar-benar memastikan hasilnya."
BACA JUGA: Ussy Sulistiawaty Menangis Saat Dinyatakan Positif Covid-19
Tapi karena satu kasus itu, negara yang ada di Afika tengah ini memutuskan untuk lockdown. Kesuksesan penanganan COVID di Afrika
Secara internasional, Rwanda termasuk di antara negara-negara Afrika, yang terkenal dengan kisah suksesnya dalam penanganan COVID.
Rwanda mencatat 314 kematian dalam penghitungan terakhir.
Pada bulan Desember lalu, jumlahnya sebenarnya hanya sepertiga dari angka tersebut, tetapi musim liburan telah membuat angka kasus naik dengan cepat.
Bandingkan dengan lebih dari setengah juta kematian di Amerika Serikat, yang juga hampir semua aspek pandemi telah dipolitisasi, mulai dari pemakaian masker sampai penanganan 'lockdown'.
Mengapa Rwanda, salah satu negara termiskin di dunia, yang memiliki sejarah genosida yang brutal, berhasil menangani COVID, sementara negara-negara yang kaya, seperti Amerika Serikat bahkan gagal menyelamatkan nyawa atau memicu teori konspirasi virus corona?
"Pengertian demokrasi Barat telah gagal total dan COVID adalah buktinya," kata Agnes Binagwaho, mantan menteri kesehatan Rwanda.
"Negara-negara di mana ada orang yang mengatakan tidak perlu menggunakan masker, itu adalah kebohongan. Mereka tahu itu, sains telah membuktikannya, tetapi mereka tetap mengatakannya karena kepentingan politik mereka, untuk egoisme mereka."
"Politik adalah senjata pembunuhnya.
"Demokrasi harus berpusat pada rakyat, bukan egosentris." Kesehatan yang utama, ekonomi akan mengikuti
Tahun lalu, setiap orang Rwanda yang didiagnosis positif COVID dibawa ke pusat perawatan untuk pemantauan.
"Langkah tersebut telah membantu menjaga jumlah kematian ada pada tingkat yang terendah," kata Dr Sabin.
Ia juga mengatakan hanya ada dua orang petugas kesehatan yang terinfeksi di Rwanda.
Pengerahan delapan robot juga memainkan peran kecil dalam upaya Rwanda untuk mengendalikan virus dan melindungi petugas kesehatan.
Robot-robot ini membantu mengukur tanda-tanda vital dari pasien yang terinfeksi, menghidangkan makanan kepada mereka, dan membersihkan rumah sakit.
"Kami masih memiliki robot-robot ini di bandara untuk mengecek temperatur mereka dan memindai apakah orang-orang memakai masker." Sistem kesehatan yang dihancurkan genosida
Dr Sabin mengatakan kepercayaan masyarakat pada saran dari pihak berwenang dan ilmuwan telah menjadi faktor penting dalam mengekang virus corona.
"Kepercayaan sangatlah penting, dan Anda tidak dapat membangun kepercayaan di tengah pandemi."
Tapi Rwanda adalah negara di mana kepercayaan pernah benar-benar hancur.
Pada tahun 1994, genosida Rwanda menyebabkan ketegangan yang meningkat antara suku mayoritas Hutu dan populasi minoritas Tutsi.
Hutu menghadapi Tutsi dengan parang.
Menurut PBB, ada 1 juta orang dibantai hanya dalam 100 hari.
Banyak korban selamat yang masih memiliki bekas luka parang di leher mereka.
Mantan pemimpin Front Patriotik Rwanda, Paul Kagame, telah menjadi Presiden Rwanda sejak tahun 2000. Ia menjabat sebagai wakil presiden setelah genosida.
Paul juga dipuji karena membawa stabilitas ke negara itu dan untuk sejumlah catatan pembangunan.
Tetapi beberapa pihak menggambarkan Paul sebagai "diktator yang baik hati" dan prihatin pada penindasan serius terhadap perbedaan pandangan dan pendapat.
Pendekatan Rwanda terhadap strategi pandemi juga menuai kritik yang signifikan dari kelompok-kelompok seperti Human Rights Watch, yang mengutuk "taktik otoriter pemerintah untuk menegakkan langkah-langkah kesehatan masyarakat". Membangun kembali kepercayaan
Dr Agnes membantu membangun kembali sistem kesehatan dari nol saat dia berada di bawah kabinet pimpinan Presiden Paul Kagame sampai tahun 2016.
"[Petugas kesehatan] telah dibunuh, atau mereka meninggalkan negara ini karena mereka takut akan dibunih, atau karena mereka adalah pembunuh," katanya.
Tujuannya adalah memberikan layanan kesehatan dari, untuk, dan oleh masyarakat.
Petugas kesehatan dipilih oleh warga setempat di seluruh negeri, dan kepercayaan yang mereka peroleh telah menjadi kunci dari kesuksesan Rwanda dalam manjemen pandemi.
"Para tenaga kesehatan dari komunitas itu sangat krusial," kata Agnes yang sekarang menjabat sebagai vice-chancellor di University of Global Health Equity.
Tingkat vaksinasi anak-anak Rwanda hampir universal, kematian bayi menurun, dan harapan hidup meningkat.
Di Australia, kegagalan untuk mengekang wabah COVID di Victoria salah satunya disebabkan oleh sistem kesehatan masyarakat yang kekurangan sumber daya manusia dan terlalu terpusat setelah mengalami pemotongan anggaran selama beberapa dekade.
Rwanda memiliki sistem kesehatan yang lebih terdistribusi dengan beberapa kesamaan dengan model "distrik kesehatan lokal" yang berhasil digunakan di New South Wales untuk membantu mengekang wabah.
Tim berbasis komunitasnya melakukan tes COVID, membantu pelacakan kontak dan mendukung mereka yang terinfeksi - yang merupakan layanan gratis untuk orang Rwanda.
Dr Sabin Nsanzimana mengatakan komunikasi yang cepat dari data yang terbaru dan basis sains, serta solidaritas di antara petugas kesehatan, telah menjadi kunci penanganan di Rwanda.
"Saya bisa berbicara dengan para dokter atau kepala rumah sakit dalam waktu satu jam dan kami sudah bisa menyepakati sesuatu."
"Mungkin di negara-negara besar yang memiliki sistem dan struktur kesehatan yang lebih rumit, hal itu bisa menjadi tantangan tersendiri." Bertindak cepat
Pada awal Januari tahun lalu, hampir dua bulan sebelum Organisasi Kesehatan Dunia secara resmi menyatakan pandemi global, Rwanda sudah menghentikan pesawat dengan tujuan Tiongkok.
Negara lain gagal bertindak gesit sehingga virus tersebut bisa menyebar tanpa hambatan.
"Jika negara seserius Tiongkok mengatakan hati-hati - dan itu ada di situs web mereka; soal besar, kecepatan, dan penyebaran virus," kata Dr Binagwaho.
"Kami mengambil tindakan cepat karena dengan tingkat perjalanan dan kedatangan turis ke sini, kami berisiko.
"Dunia memiliki cukup informasi untuk bertindak sejalan dengan sains."
Rwanda memiliki populasi yang relatif muda dan dinamis, dan berbatasan dengan Tanzania, Burundi, Republik Demokratik Kongo, dan Uganda.
Adalah para pengemudi truk yang telah membawa virus corona ke wilayah Afrika Timur dan Rwanda telah bekerja sama dengan negara-negara tetangganya untuk memitigasi risiko tersebut.
"Ini bukan tugas yang mudah," kata Dr Sabin.
"Anda harus membangun laboratorium berjalan di perbatasan yang hasilnya bisa dilihat tanpa orang-orang harus menunggu berhari-hari."
"Kami sekarang bisa memberikan hasil tes dalam kurun waktu enam sampai sembilan jam."
Di masa awal pandemi, hanya ada satu laboratorium dan enam orang di seluruh negara ini yang terlatih untuk menangani tes PCR.
"Hanya dalam beberapa bulan ... kami mampu meningkatkan kapasitas tes dan membuka 12 laboratorium PCR di seluruh negara. Setiap provinsi punya satu laboratorium."
Dari 200 tes per hari pada Maret tahun lalu, mereka kini telah melakukan lebih dari 10.000 tes dalam sehari.
Dr Sabin mengatakan, perkembangan terbaru mengenai tes rapid antigen yang secepat dan sepraktis tes kehamilan juga telah membuat banyak perbedaan. Apakah 'lockdown' membuat orang kelaparan?
Diperkirakan 55 persen orang Rwanda hidup dalam kemiskinan, meskipun angka yang dilaporkan juga bervariasi.
Ketika pemerintah memberlakukan 'lockdown', orang-orang benar-benar berisiko kelaparan jika mereka tidak diizinkan meninggalkan rumah untuk berbelanja makanan atau untuk bekerja.
Di banyak negara Barat, kesehatan masyarakat dipertentangkan dengan ekonomi, memicu perdebatan sengit tentang strategi lockdown.
Ini tidak terjadi di Rwanda, kata Dr Sabin.
“Kalau masyarakat bisa lebih sehat, jika sistem kesehatan kuat, maka perekonomian akan lebih kuat, bukan sebaliknya.
"Itulah prinsip yang kami miliki sejak awal dari kepemimpinan kami."
Kepala desa diminta untuk mengidentifikasi orang-orang di komunitas mereka yang paling berisiko, dan mereka menerima dana dari pemerintah untuk menyediakan pasokan makanan.
"Itu berarti hal terburuk yang dapat terjadi pada Anda adalah mati," kata Dr Binagwaho.
"Hal yang kedua adalah menjadi sakit.
"Menjadi sedikit lebih miskin karena kamu menyelamatkan dirimu, ini sebenarnya bukan hal yang dramatis."
"Telah terbukti bahwa [di] negara-negara yang tidak mempedulikan mereka yang rentan… Anda tidak akan menghormati lockdown untuk menyelamatkan orang-orang yang lebih kaya dari Anda."
Seperti Australia, pemerintah Rwanda memberlakukan jaring pengaman finansial, termasuk membekukan kewajiban membayar angsuran ke bank dan menghentikan penggusuran penyewa properti oleh pemilik.
"Jika Anda ingin orang mematuhi dan melindungi diri mereka sendiri, keluarga mereka, komunitas mereka, dan seluruh bangsa, Anda perlu menyediakan perawatan dasar," kata Dr Sabin.
Skema asuransi kesehatan yang berbasis komunitas juga melindungi hampir semua orang Rwanda.
"Pendekatan kesetaraan yang sistematis membuat semua orang bekerja sama dalam semangat solidaritas."
"Demikiankah bagaimana dengan sedikit uang, kami yang kurang kaya jika dibandingkan tetangga kami di Tanzania dan Kenya, bisa memiliki hasil yang lebih baik dalam mengelola COVID-19," katanya. Mengapa nasionalisme vaksin Barat mungkin menghambat kesuksesan
Tetapi bahkan dengan hasil yang mengesankan seperti itu, satu-satunya jalan keluar dari pandemi ini adalah memastikan akses global ke vaksinasi.
Ketika negara-negara bersaing untuk mendapatkan pasokan dan menyuntikkan vaksin, nasionalisme vaksin muncul dan menunda akses ke negara-negara Afrika.
Di bawah inisiatif COVAX, Rwanda menerima pengiriman pertama hampir 350.000 dosis vaksin AstraZeneca-Oxford pada awal Maret.
Dalam kurun waktu sembilan hari, sekitar seperempat juta orang sudah divaksinasi.
Helikopter-helikopter milik militer angkatan darat dikerahkan untuk mendistribusikan dosis sampai ke tempat-tempat yang paling terpencil.
Orang-orang yang paling rentan terinfeksi atau rentan meninggal dunia telah diprioritaskan, tetapi masih perlu menunggu untuk melihat apakah Rwanda akan menerima cukup vaksinasi untuk seluruh populasi.
Negara-negara Afrika sering direkrut oleh perusahaan farmasi untuk menjadi kelinci percobaan dalam uji coba obat-obatan, seperti yang mereka jalani untuk vaksin Oxford/AstraZeneca COVID-19, tetapi terlalu sering ini bukan berarti mereka mendapat akses yang tepat waktu ke obat yang dihasilkan.
Dr Agnes Binagwaho yakin negara Barat, yang pajaknya berkontribusi pada pengembangan vaksin COVID, juga akan mengalami kerugian kecuali vaksin didistribusikan secara luas dan adil.
"Perusahaan farmasi besar telah menggunakan uang orang-orang untuk mengembangkan sesuatu yang tidak melindungi mereka ... Farmasi besar memutuskan untuk mempertahankan keuntungan.
"Ini adalah upaya global, ini bukan hanya farmasi besar, ini adalah pajak Anda, uang Anda, dan untuk dilindungi ... orang-orang di seluruh dunia harus divaksinasi, sehingga kita bisa menghasilkan kemajuan dalam mewujudkan herd immunity."
Dr Sabin Nsanzimana menunjukkan keberhasilan Afrika dalam memproduksi obat anti-retroviral untuk pengobatan HIV, dan juga ingin melihat produksi lokal vaksin COVID.
"Itu adalah sesuatu yang harus diprioritaskan dalam konteks Afrika," katanya.
"Ini adalah situasi yang sama-sama menguntungkan, karena kita menghadapi musuh bersama.
"Mencegah [virus] datang kepada Anda atau mencegah [penyebaran] dari Anda kepada orang lain adalah cara terbaik kita dapat mengakhiri situasi ini secara global."
Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari .
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dear Perantau Minang, Ada Pesan dari Pak Doni Monardo