Australia menghadapi krisis dalam pengajaran bahasa-bahasa Asia di tingkat universitas, demikian pendapat Asosiasi Studi Asia di Australia (ASAA) dengan penutupan empat jurusan bahasa baru-baru ini.

Salah satunya adalah program pengajaran bahasa Indonesia di .

BACA JUGA: Manajer Lahan Pertanian di Australia Dihukum Penjara karena Manfaatkan Pekerja Gelap

Penutupan program bahasa tidak hanya akan mempengaruhi mahasiswa di Australia yang sedang atau hendak mengambil Bahasa Indonesia, namun juga dirasakan oleh para lulusannya.

Seperti yang dialami, Roisin Greaney yang lulus dari program Bahasa Indonesia di La Trobe University tahun lalu.

BACA JUGA: Siklon Seroja Sebabkan Banjir dan Longsor di Indonesia, Badai di Australia Barat

Ia khawatir ilmu bahasa Indonesia yang dimilikinya tidak akan bisa digunakan dalam mencari pekerjaan di Australia.

Sekarang ia mengajar bahasa di sekolah, tapi bukan untuk pelajaran bahasa Indonesia, melainkan bahasa Inggris.

BACA JUGA: Mahkamah Agung Australia Tolak Argumentasi Terdakwa Teroris Soal Kedudukan Hukum Suami-Istri

"Saya sebenarnya memiliki kualifikasi untuk mengajar bahasa Indonesia. Namun sekarang tidak banyak sekolah mengajarkan bahasa Indonesia dan karenanya tidak memerlukan guru," kata Roisin kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

"Sekarang saya sedang mempertimbangkan untuk kembali ke universitas untuk belajar subjek lain, karena saya tidak melihat kemungkinan guru bahasa Indonesia akan banyak dicari sekolah di masa depan."

Roisin juga mengatakan kecewa dengan penutupan program bahasa Indonesia di La Trobe, karena akan berdampak pada siswa di sekolah menengah yang memiliki pilihan lebih sedikit untuk belajar bahasa di universitas.

Lembaga ASAA mengatakan sudah ada beberapa peringatan penutupan program bahasa dalam enam bulan terakhir.

"Empat program bahasa sudah ditutup atau akan ditutup di akhir tahun akademik 2021," demikian pernyataan Presiden ASAA, Associate Professor Kate McGregor, pekan ini.

Menurut ASAA, dua diantara program yang akan ditutup tersebut adalah program bahasa Indonesia di University of Western Sydney dan La Tobe University di Melbourne.

"Meski ada protes tahun lalu, University of Western Sydney menutup program bahasa Indonesianya mulai awal tahun."

"Setelah berbulan-bulan perjuangan dan lobi terhadap Departemen Pendidikan, yang memiliki kuasa untuk menghentikan penutupan program, Swinburne University [Melbourne] menutup program Tiongkok dan Mandarin.

"Dan yang paling akhir, setelah menunda keputusan tahun lalu, La Trobe University sekarang mengukuhkan akan menghentikan program bahasa Indonesia di akhir tahun 2021," kata Kate.

Penutupan program bahasa Indonesia di University of  Western Sydney and La Trobe University akan berpotensi mempercepat hilangnya pengajaran bahasa Indonesia di seluruh Australia, menurut Kate.

"Di tahun 2021, bahasa Indonesia hanya akan diajarkan di 12 universitas di Australia, turun dari 24 universitas belasan tahun lalu. 

"Seluruh Australia akan kehilangan kesempatan bagi para lulusan universitas untuk mengenal negeri berpenduduk 270 juta, yang secara internasional semakin penting dan juga secara strategis penting juga bagi Australia," tambah Kate, yang juga pengajar di University of Melbourne dan dikenal sebagai pakar militer Indonesia.

Kate mengatakan pandemi COVID-19 semakin menambah kesulitan pendanaan program bahasa bagi banyak perguruan tinggi di Australia.

"Namun kami melihat selama bertahun-tahun pengajaran bahasa Asia tidak mendapat perhatian serius dari pihak universitas maupun dari pemerintah Australia," ujarnya.

Medapatkan Keuntungan belajar bahasa selain Inggris di Australia dirasakan oleh Hammad Shahin, yang sekarang berada di tahun keempat jurusan Hukum dan Hubungan Internasional di La Trobe. Ia juga belajar untuk mendapatkan Diploma dalam Bahasa Indonesia.

Shahin yang berlatar belakang etnis Suriah dan Lebanon mengatakan ia pernah belajar bahasa Italia sampai Kelas 9.

"Setelah itu saya berhenti, karena saya tidak melihat relevansi belajar Italia kalau saya ingin melanjutkan di bidang hukum," kata Hammad kepada ABC Indonesia.

Perkenalannya dengan Indonesia baru terjadi di tahun 2018, setelah ia mengikuti mata kuliah pengantar mengenai Asia yang membahas Jepang dan Indonesia, yang diajarkan oleh Dirk Thomsa, dosen La Trobe yang juga banyak melakukan penelitian mengenai Indonesia.

"Dari situ baru mata saya terbuka dengan berbagai aspek budaya, masyarakat dan pemerintah Indonesia. Saya semakin tertarik dan juga dalam waktu bersamaan menyadari betapa tidak tahunya saya dengan negara tetangga paling dekat dengan Australia ini."

Hammad mulai belajar program Diploma di tahun 2019 dan kemudian mendapatkan kesempatan mengunjungi Pulau Batam selama satu minggu dalam program pertukaran mahasiswa informal bernama "Sahabat Kepri'.

Perjalanan ke Indonesia itu semakin memperkuat tekadnya untuk belajar lebih serius soal budaya dan bahasa Indoensia.

Karenanya dia mengajukan diri untuk mendapatkan beasiswa New Colombo Plan yang ditawarkan oleh pemerintah Australia bagi mahasiswa untuk belajar di negara-negara Asia.

Sekarang dia mendapatkan beasiswa yang akan digunakan untuk belajar di Universitas Parahyangan di Bandung dan juga di Singapura selama 18 bulan.

"Saya yakin sekali, saya tidak akan mendapatkan beasiswa ini kalau bukan karena program bahasa Indonesia yang saya ikuti," katanya lagi.

Penelitian mendalam soal bahasa juga menurun

Dalam perbincangannya dengan ABC Indonesia, Associate Professor Kate McGregor mengatakan selama 20 tahun terakhir jumlah mahasiswa S2 dan S3 asal Australia yang melakukan penelitian mendalam mengenai bahasa Asia semakin menurun.

Padahal Australia sebelumnya dikenal secara global sebagai negara yang paling banyak melakukan hal tersebut.

Dia juga mengatakan kemajuan teknologi untuk membantu memahami bahasa asing tidak bisa menggantikan faktor manusia untuk menguasai kemampuan bahasa yang lebih kompleks.

"Tidak ada mesin atau app yang bisa mengajar kemampuan berbahasa yang mendalam," ujarnya.

"Pengajaran program bahasa bukan sekedar mengajar kemampuan berbahasa, namun juga konteks di seputar bahasa tersebut, sehingga mahasiswa memiliki pemahaman mendalam mengenai satu budaya juga," katanya lagi.

Menurut Kate, saat ini memang ada perasaan "arogan" di kalangan warga Australia bahwa mereka tidak memerlukan bahasa lain.

"Saya juga melihat banyak kesalahan ada di tangan pemerintah dan apa yang disampaikan ke umum. Beberapa pemimpin universitas juga kemudian memperkuat pemikiran tersebut. Jadi perlu ada perubahan budaya besar."

Meski masih ada berbagai universitas yang menawarkan program Bahasa Indonesia di Australia, menurut Roisin,  variasi lokasi juga penting karena syarat masuk universitas dan uang kuliahnya berbeda-beda.

"Beberapa universitas lain yang menawarkan program bahasa Indonesia lebih susah masuknya. Juga uang kuliahnya lebih mahal, sehingga tidak selalu menjadi pilihan bagi para mahasiswa," kata Roisin.

Roisin mengatakan ia merasa beruntung bisa belajar di La Trobe dan bisa menyelesaikanya berkat dorongan Linda Sukamta, kepala program bahasa Indonesia di sana.

"Saya pernah mempertimbangkan untuk berhenti dari universitas  namun program bahasa Indonesia yang dikelola Linda Sukamta sangat menyeluruh dan menyenangkan.

"Itulah yang membantu saya menyelesaikan pendidikan universitas saya." katanya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tidak Ada Kepastian Kapan Perbatasan Australia Akan Dibuka Kembali, Apalagi Vaksinasi Tidak Sesuai Target

Berita Terkait