TESLA Manaf mulai masuk pentas musik dunia. Konsistensinya pada musik non-mainstream, dengan nada yang rumit beraliran progresif berbalut jazz dan fusion rock, telah membawa Tesla dikenal dunia.
-------------------------
Tesla Manaf tinggal di kamar kos sederhana di Jl Ir Juanda, Dago, Bandung. Tapi, kamar berukuran 3,5 x 3,5 meter itu menjadi saksi hidup Tesla dalam merintis karir sebagai seniman musik.
’’Dari 10 tahun lalu, saat saya masuk kuliah, kamar saya ya di sini,’’ kata Tesla saat ditemui Jawa Pos (induk Jawa Pos), Selasa (10/3).
BACA JUGA: Bos Madu, Setiap Tahun Berangkatkan 10 Karyawan ke Tanah Suci
Meski tidak berubah sejak 2005, kamar Tesla kini dipenuhi peralatan musik. Setidaknya, ada satu gitar elektrik, satu gitar akustik, satu cello, satu organ, dan seperangkat komputer lengkap dengan sound mixing di sudut kamar.
’’Ini saya beli satu per satu dari honor manggung,’’ ungkap lulusan Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Padjadjaran, itu.
BACA JUGA: Geliat Negeri Tulehu setelah Dinobatkan sebagai Kampung Sepak Bola
Tidak banyak yang tahu bahwa dari kamar kos-kosan itulah telah lahir musisi internasional. Ya, Tesla tercatat telah mengeluarkan satu album internasional lewat studio asal New York, Moonjune Records. Dia juga sudah tiga edisi terakhir mengisi salah satu stage di Java Jazz Festival, ajang musik jazz terbesar di Indonesia saat ini.
Tesla mengakui bahwa dirinya tidak terlalu tenar di belantika musik Indonesia. ’’Musik saya memang terlalu rumit sehingga mungkin tidak banyak yang suka. Saya memilih aliran yang tidak biasa dan sangat segmented,’’ ujar lajang 27 tahun tersebut.
BACA JUGA: Gajah Sumatera Terancam Punah, Diburu Manusia, Diserang Virus
Keahlian bermusik Tesla itu turun dari sang ayah, Imam Aditya Effendi. Imam-lah yang mengajari Tesla bermain musik genre fusion rock yang dipadu musik klasik.
’’Waktu muda, ayah saya ikut kakek dan lama tinggal di Belanda. Di sanalah ayah kena banyak influence musik yang lagi ngetren saat itu,’’ kata Tesla.
Musik dengan nada yang rumit dan detail seperti Mahavisnu Orchestra, Gentle Giant, Emerson Lake and Palmer (ELP), termasuk aliran musik klasik dari Debussy, Bela Bartok, dan Krzysztof Penderecki adalah kesukaan sang ayah. Sejumlah piringan hitam album dari kelompok-kelompok musik itu dibawa pulang Imam dari Belanda ke Indonesia.
’’Dari situlah, sejak umur 4 tahun, saya terbiasa mendengarkan musik semacam itu,’’ ujarnya lantas tertawa.
Bukan hanya sang ayah, ibu Tesla, Tuti Effendi, juga penggemar musik pop era 70-an dan 80-an. Begitu pula kakaknya yang suka musik pure metal atau death metal. Semua jenis musik itulah yang mewarnai Tesla sat masa kecil.
’’Kalau mama muter Madonna di dapur, di ruang tengah, ayah muter musik klasik. Sedangkan di kamar, kakak muter death metal. Jadi, masuk ruangan mana, pasti suaranya berbeda,’’ kisahnya.
Hal itulah yang memacu Tesla untuk belajar alat musik. Alat musik pertama yang dipelajarinya adalah gitar saat dirinya menginjak usia 9 tahun. Tesla pada awalnya belajar sendiri, lalu ikut kelas musik di Yamaha Music School.
Awalnya, Tesla senang musik klasik. Bahkan, saking senangnya, dia sampai lupa sekolah. Dia sering membolos agar bisa berlatih gitar. Dia ketagihan pada musik klasik sehingga tidak pernah melewatkan setiap kompetisi atau konser yang diadakan Yamaha. Dia pun sering menang.
Menurut Tesla, musik klasik menuntut perfeksionisitas si musisi. Karena itulah, seseorang tidak bisa begitu saja mengalihkan perhatian saat mendalami musik klasik. ’’Menghafalkan partiturnya saja lumayan berat. Bahkan sampai sekarang masih susah.’’
Baru setelah menginjak kuliah, Tesla merasa bosan musik klasik. Dia mulai mengalihkan perhatian pada musik jazz dan fusion rock. ’’Ada teman main jazz. Ada chord-chord-nya, tapi juga ada angka 6 dan angka 9. Ini apa kok aneh banget? Saya lalu memilih belajar ke sumbernya,’’ katanya.
Saat kuliah itu, Tesla seakan mendapat spirit baru untuk lebih mendalami musik. Dasarnya adalah semangat yang tidak mau kalah dari temannya. Karena itu, dia berlatih mati-matian agar bisa lebih hebat daripada temannya. Sampai tidak disangka, ratusan lagu telah dilahapnya.
Setelah tiga tahun kuliah, barulah Tesla berpikir untuk menyebarkan lagu-lagu karyanya itu untuk didengar banyak orang. Caranya, mengunggahnya melalui SoundCloud. Ketika itu, media sosial seperti SoundCloud belum terlalu heboh dikenal banyak orang seperti sekarang.
’’Saya pilih lagu yang saya suka. Tapi, banyak orang yang mengejek. Ngapain masukin musik kayak gitu? Gak jelas,’’ ujarnya.
Tapi, Tesla cuek dengan segala cemoohan tersebut. Dia tetap konsisten memasukkan satu demi satu lagu ciptaannya ke SoundCloud. Hasilnya tidak sia-sia. Pada 2012, ada seseorang yang melirik lagu-lagu yang di-upload Tesla itu.
’’Ternyata, orang tersebut adalah talent scout dari studio rekaman di New York (Moonjune Records, Red). Dia ingin mendengarkan lagu-lagu saya yang lain.’’
Hanya berselang satu bulan, Moonjune Records kembali menghubungi Tesla melalui Facebook. Betapa kagetnya, Moonjune menawari Tesla kontrak untuk dua album. ”Tapi, saya nggak harus ke Amerika. Mereka kirim kontraknya, saya kirim balik, simpel banget,” ujarnya.
Pada 2013 Tesla fokus untuk membuat materi album internasional pertamanya. Delapan track lagu dia ciptakan. Album perdana internasionalnya itu memiliki cover judul Tesla Manaf. Teaser lagu Tesla tersebut bisa dinikmati di situs resmi Moonjune Record.
Jika ditilik di situs itu, Tesla adalah musisi Indonesia ketiga yang dikontrak Moonjune, menyamai pencapaian Tohpati dan Dewa Budjana.
”Waktu rilis album perdana Desember tahun lalu, saya nggak bisa datang karena mau menabung dulu, untuk persiapan konser di AS September nanti,” ujarnya.
Ya, Tesla akan menjalani konser di empat kota di Negeri Paman Sam. Salah satu kota yang dituju adalah New York yang menjadi basis Moonjune Records. Tiga kota yang lain, dia tak mau menyebutkan. ”Yang pasti, saya akan konser lima sampai enam kali di empat kota itu,” ujarnya sembari tersenyum.
Sebelum ini Tesla melahirkan tiga album indie. Album perdana pada 2010 meluncur dengan judul Grace and Tesla. Di album itu dia berkolaborasi dengan Grace Sahertian. Setahun kemudian album DIG This hasil kolaborasi bersama keyboardist Ivan Jonathan lahir.
Puncaknya di album ketiga dengan judul Its All Yours. Ini adalah album instrumental Tesla hasil kolaborasinya dengan Mahotra Ganesha Group, unit kesenian tradisional Institut Teknologi Bandung (ITB).
Di album ketiga itulah, fondasi Tesla sebagai seniman musik mulai terlihat. ”Karena semua saya producing sendiri,” ujar Tesla yang lulus kuliah pada 2011, tapi ijazahnya tak pernah diambil itu.
Di balik usahanya di bidang musik yang kini mulai meniti ke puncak, ada satu hal yang masih mengganjal di hati Tesla. Ternyata kedua orang tua Tesla sampai saat ini tidak pernah merestui keputusan Tesla menekuni jalur musik. Orang tua Tesla menginginkan anak bungsunya itu berkarir di dunia bisnis, sesuai latar belakang pendidikannya.
”Meski saya berangkat dari keluarga yang musikal, ternyata saya nggak pernah direstui berkarir di musik,” keluhnya.
Perbedaan prinsip itulah yang membuat Tesla tidak pernah bertemu orang tuanya selama tiga tahun terakhir. Meski jarak Bandung dan Bekasi, rumah orang tuanya, tidak terlalu jauh, Tesla memilih mengisolasi diri untuk menekuni jalan hidup sebagai seniman musik.
Meski begitu, tak berarti Tesla tidak menyayangi orang tuanya. Tesla mengaku ingin membuktikan bahwa jalan hidupnya sudah benar. Berbagai usaha yang dia lakukan saat ini adalah upaya untuk meyakinkan orang tuanya.
”Saya ingin membuat mama-papa bangga dengan cara saya sendiri. Kalau dengan cara mereka, mungkin saya sudah jadi pegawai bank,” tandas dia sembari tertawa. (*/c5/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menegangkan, Menembus Penjagaan Superketat Nusakambangan
Redaktur : Tim Redaksi