Kisah Trio Alumnus UI Tentang Menumpas Bandar, Menyongsong Fajar

Sabtu, 29 Januari 2022 – 03:50 WIB
Tiga alumnus Jurusan Ilmu Sejarah FIB UI, Ardi Subandri, Suradi, dan Toto Widyarsono menerbitkan buku berjudul “Menumpas Bandar Menyongsong Fajar: Sejarah Penanganan Narkotika di Indonesia”. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Awal Januari lalu menjadi saat kelam bagi musisi Adito Pramono. Pesohor yang dikenal  lewat sejumlah film layar lebar ini harus berurusan dengan polisi karena terjerat Narkoba.

Bukan hanya Ardito, komedian Fico Fachriza juga tersandung kasus serupa. Sebelumnya sejumlah nama publik figur terjerembab dalam lubang narkoba ini.

BACA JUGA: Ungkap Jaringan Narkotika Internasional, Polisi Sita 13 Kg Sabu-sabu, 10 Ribu Ekstasi

Dengan penangkapan itu, jelas karier mereka sangat terganggu. Ini pelajaran berharga bagi para artis yang sayangnya kerap dilupakan, sehingga kasus serupa terulang pada sosok lain.

Dari sisi dampak, jelas narkoba sangat berbahaya. Penyalahgunaan zat tersebut bisa menyebabkan keseimbangan elektrolit berkurang.

BACA JUGA: Kombes Riko Dicopot jadi Kapoltabes Medan, Bukan Gegara Terima Suap Bandar Narkoba

Akibatnya badan kekurangan cairan. Jika efek ini terus terjadi, tubuh akan kejang-kejang, muncul halusinasi, perilaku lebih agresif, dan rasa sesak pada bagian dada.

Halusinasi menjadi salah satu efek yang sering dialami oleh pengguna narkoba seperti ganja.

BACA JUGA: Bandara Halim Tutup Sementara, Citilink Alihkan Operasional Penerbangan ke Soetta

Pemakai yang menggunakan obat-obatan tersebut dalam dosis yang berlebih, efeknya justru membuat tubuh terlalu rileks sehingga kesadaran berkurang drastis.

Beberapa kasus si pemakai tidur terus dan tidak bangun-bangun. Dampak narkoba yang paling buruk terjadi jika si pemakai menggunakan obat-obatan tersebut dalam dosis yang tinggi atau yang dikenal dengan overdosis. Ujungnya, bahaya yang fatal adalah kematian.

Dari sisi potensi kerugian, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebut negara mengalami kerugian sebesar Rp 84 triliun setiap tahun, akibat narkoba.

Deputi Pencegahan BNN Sufyan Syarif pernah mengungkapkan hal ini beberapa waktu lalu.

Dia menyebut sejumlah tantangan masih dihadapi pihaknya dalam menekan maraknya peredaran narkoba, mulai dari letak geofrafis Indonesia, jumlah penduduk, hingga budaya diskriminasi terhadap pengguna yang menjadi korban bujukan oknum tak bertanggung jawab.

Narkoba dengan beragam jenisnya bukan kali ini saja melanda negeri kita, tetapi jauh di masa lampu, sejak masa penjajahan Belanda, yang dikenal dengan Opium.

Namun, saat ini, sesuai Laporan PBB, Indonesia termasuk negara dengan jumlah pemakai Narkoba yang cukup tinggi dan jaringan pengedar serta bandar yang perlu diantisipasi.

Bagaiaman lika-liku dan perjalanan panjang tentang Opium yang belakangan lebih dikenal sebagai Narkoba ini, telah terbit buku baru dengan judul “Menumpas Bandar Menyongsong Fajar: Sejarah Penanganan Narkotika di Indonesia”.

Buku yang diterbitkan Prenada, Jakarta, Desember 2021 ini ditulis oleh tiga alumnus Jurusan Ilmu Sejarah FIB UI, Ardi Subandri, Suradi, dan Toto Widyarsono.

Buku setebal 196 halaman ini merangkum sejarah panjang Narkoba, dan dampak penyalahgunaannya.

Buku tersebut juga membahas perkembangan kelembagaan yang menangani pemberantasan Narkoba dan bandar-bandarnya hingga terbentuk apa yang dikenal dengan Badan Narkotika Nasional (BNN).

Selain itu ada sebelas tokoh yang mengungkapkan testimoninya soal penanganan Narkotika. 

Dikuasai Koloni Belanda

Sejarah narkotika di Indonesia dimulai ketika diperkenalkan Opium di Jawa yang merupakan sekumpulan alkaloid yang disarikan dari tanaman Papaver Somniferum.

Senyawa yang digolongkan dalam obat narkotik ini terkenal dengan efek ketergantungan yang ditimbulkannya.

Pada awal abad ke-17 VOC (Verenigde Oost India Company) membeli bahan mentah opium di pantai barat India; tetapi baru pada tahun 1659 secara langsung mengimport dari Bengal. Perdagangan ini sangat menguntungkan.

Akan tetapi pada abad 19 monopoli opium di Jawa dikuasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada saat itulah mulai diberlakukan opium pach (pajak opium).

Para agen pemegang lisensi (pachter) di Jawa dan daerah lainnya harus membayar pajak penjualan opium keada pemerintah Kolonial Belanda, demikian juga Kesultanan Lingga (Riau) yang berada di bawah pengawasan Belanda memperoleh pendapatan besar dari perkebunan opium.

Di Jawa perdagangan opium terbilang sangat unik, sehingga menimbulkan terjadinya “black market opium”, di tempat inilah opium diperjualbelikan secara tidak legal melalui para pedagang Cina dan pegawai Pribumi yang bekerja pada Pemerintah Kolonial.

Di kota-kota besar dijumpai pula “rumah candu” untuk menikmati opium dengan cara dihisap yang dilakukan secara legal. Bahkan di Batavia dan beberapa kota lain di Jawa terdapat pabrik opium yang memproduksi dan menjadi pusat distribusi candu.

Pada masa Perang Kemerdekaan, fungsi opium sangat menunjang perekonomian perang, terutama untuk keperluan persenjataan dan logistik perang.

Pada tahun 1960-an, narkoba sedikit demi sedikit mulai masuk dalam pasar Indonesia, karena letak geografis negara kita yang berada di antara dua benua, yaitu Asia dan Australia.

Persilangan dua benua ini merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang ramai serta potensial.

Semula Indonesia bukan merupakan target wilayah pemasaran narkoba, melainkan hanya menjadi wilayah transit.

Namun, karena Indonesia terus-menerus dijadikan daerah transit di mana kian hari para pengedar giat mempelajari seluk beluk maupun karakteristik pertumbuhan penduduk di Indonesia, maka pada gilirannya narkoba yang masuk dalam kategori barang ilegal singgah di kalangan penduduk, khususnya para remaja.

Pembahasan dilanjutkan dalam bab-bab selanjutnya. Bagian isi juga menguraikan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi peredaran narkoba di Indonesia.

Ada faktor yang secara langsung mempengaruhi dan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi tetapi mempunyai andil kuat dalam terciptanya kondisi yang memberikan peluang untuk menyalahgunakan narkoba.

Faktor yang masuk dalam kategori pertama mempengaruhi penyalahgunaan narkoba antara lain sebagai berikut. Bahwa perdagangan atau peredaran narkoba merupakan bisnis besar yang mampu menghasilkan uang secara cepat.

Adanya efek ketergantungan (adiksi) terhadap orang yang menggunakan narkoba sehingga jika seseorang mulai menyalahgunakan pemakaian narkoba maka ia akan menggunakannya secara berkelanjutan.

Indonesia sudah masuk sindikat jaringan pengedar gelap narkoba yang berasal dari Segitiga Emas, Bulan Sabit Emas dan Amerika Latin.

Kemudian faktor yang termasuk dalam kategori kedua. Pertama, letak geografi Indonesia yang selain di jalur persimpangan juga terdiri dari ribuan pulau dengan banyak pelabuhan laut yang menyulitkan pengawasan secara intens.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menguntungkan pihak pengedar, sebaliknya mempersulit deteksi dari aparat keamanan. Hal lain menyangkut penegakan hukum, agama, pendidikan dan budaya.

Melalui buku ini, Tim Penulis bukan saja menyajikan perjalanan Narkotika sejal lama, tetapi mengingatkan betapa bahayanya jika penanganan sindikat dan bandar tidak dilakukan secara efektif dan koordinatif dengan lembaga-lembaga terkait.(fri/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Bandar Narkoba   Alumnus UI   UI   Suradi   Narkotika   BNN  

Terpopuler