Kisah Veteran 93 Tahun, Lawan Perintah Jenderal Ahmad Yani Demi Sahabat

Kamis, 17 Agustus 2017 – 06:40 WIB
Veteran TNI AD Serda Rafael Kopong Komis Rianghepat. Foto: Natalia Fatimah Laurens/JPNN

jpnn.com - "Kami waktu itu tidak pikir pulang hidup-hidup. Kami pikirkan bagaimana usir ini Belanda, supaya kita tidak menderita dijajah terus. Masuk keluar hutan pakai bambu runcing lawan senjata bagus. Tapi kami tidak ada yang takut!"

 

BACA JUGA: Selamat! 9000 Napi Dapat Remisi HUT Kemerdekaan RI

NATALIA FATIMAH LAURENS, ADONARA

RAMBUT sudah memutih, deretan gigi tak lagi terlihat, tapi semangat juang masih terlihat di wajah veteran TNI AD Serda Rafael Kopong Komis Rianghepat.

BACA JUGA: Unik, Makna Penting Jokowi-JK Mengenakan Pakaian Adat

Kakek berusia 93 tahun asal Desa Kelu, Pulau Adonara, Flores Timur, NTT ini adalah salah satu saksi hidup perjuangan para pejuang bangsa sekaligus pelaku sejarah yang turut berusaha meraih kemerdekaan yang bisa dikecap anak cucunya hingga hari ini.

Usianya yang sudah dimakan waktu tak membuat Kakek Komis, sapaan akrabnya, melupakan perjalanan panjangnya bergabung bersama pasukan tentara Indonesia untuk ikut berperang melawan penjajah.

BACA JUGA: Tahun 2018, Indonesia-Sentris Menjadi Desain Besar Pemerintah

Kisah ini pun diceritakannya pada anak cucu,buyut dan generasi muda di kampungnya.

"Tadinya kami ini petani, kerja kebun. Tapi ada yang cari dan ajak kami untuk ikut perang berjuang jadi kami tinggalkan kebun, keluarga semua ikut ke Jawa naik kapal," tutur Kakek Komis pada JPNN.

Sekitar tahun 1940an, Komis pergi bersama dua teman dari kampungnya untuk ke Pulau Jawa. Tempat yang mereka tuju salah satunya adalah Rembang, Jawa Tengah.

Mereka juga sempat dilatih oleh para pemimpin sesama warga Indonesia yang bekerja di KNIL alias Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Komis dan rekan-rekannya kemudian ikut berperang bersama pasukan lainnya.

Dia terlibat dalam perang di Agresi Militer Belanda, perang Ambarawa, dan perebutan kembali Kota Yogyakarta.

"Dulu itu mana ada transportasi. Pulau Jawa masih hutan semua. Saya dan teman-teman jalan kaki keluar masuk hutan dari Solo sampai Yogyakarta. Apa saja kami makan di hutan supaya bertahan hidup," imbuhnya.

 

Komis beberapa kali ikut perang di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani yang sangat dia banggakan.

Dia belajar memegang senjata dari Jenderal Yani (panggilan anak buah untuk Ahmad Yani).

Beberapa kali dia ikut berkeliling bahkan hingga keluar Pulau Jawa untuk berperang bersama Jenderal Yani dan Jenderal Soedirman.

Satu kenangan yang paling diingatnya adalah ketika terlibat perang dan harus kehilangan sahabatnya yang sama-sama datang dari Pulau Adonara.

Saat itu, Jenderal Yani memintanya untuk meninggalkan jenazah sahabatnya di medan perang karena mereka masih harus berjalan kaki cukup jauh dan masuk ke hutan.

Tapi Serda Komis muda menolak mentah-mentah instruksi sang jenderal.

"Beliau katakan tinggalkan temanmu di sini. Tapi saya tolak. Saya tetap gendong teman saya itu biarpun sudah jadi mayat. Saya bilang 'kami berdua datang sama-sama untuk berjuang. Saya pulang dia juga harus pulang. Kami harus bersama-sama. Saya harus bawa kembali mayatnya dan menguburnya di tempat seharusnya. Akhirnya Jenderal Yani persilakan saya pikul mayat teman saya dibantu rekan lainnya sepanjang jalan," cerita Kakek Komis dengan mata berkaca-kaca.

Sepanjang jalan membawa jenazah sahabatnya Komis sempat beberapa kali menangis.

Tapi dia meyakini sahabatnya puas tidak tewas sia-sia, tapi demi memperjuangkan bangsa.

"Kami ada tiga orang yang sekampung. Satu meninggal, tinggal kami dua orang. Kami selalu sama-sama," katanya.

Menjadi seorang pejuang juga membuat Kakek Komis mau tak mau harus mengesampingkan kehidupan keluarganya.

Dia mengaku saat berperang, juga merasa bersalah karena harus meninggalkan istri dan anak-anaknya di Rembang.

Apalagi, sang istri Susana Solot Bura harus menunggunya di Rembang untuk waktu lama karena dia keliling Indonesia ikut bersama pasukan lainnya.

"Saya ikut perang dan berada di luar Flores itu sekitar 35 tahun. Kasihan istri dia sendiri jaga anak-anak di Rembang. Sampai pernah ada kabar yang mengatakan saya meninggal di perang dan dia menangis histeris. Ternyata kabar itu salah karena saya sebenarnya masih hidup," kata Komis tersenyum tipis sambil mengenang istri tercinta yang telah lebih dulu dipanggil Yang Esa.

Beruntung, sang istri telaten membesarkan anak-anaknya meski tanpa didampingi. Dia hanya bisa mengirimkan uang untuk keluarganya bertahan hidup di Rembang.

Ayah dari delapan anak ini masih mengingat dengan jelas, saat itu gajinya sebagai tentara adalah Rp 15 sen.

Beruntung sebagian besar kehidupan dia untuk makan dan minum mendapat bantuan dari pasukan, sehingga gajinya bisa disisakan untuk keluarganya.

"Kalau kami selesai menyerang tempat pasukan Belanda, kami senang sekali karena bisa ambil senjata dan makanan mereka. Banyak sekali makanan mereka," katanya lagi sambil tertawa.

Komis mengakui, dia juga sudah berulang kali terkena tembakan saat perang.

Namun, Tuhan masih melindunginya hingga saat ini dan membiarkannya menceritakan sejarah untuk para penerusnya.

Setelah Indonesia dinyatakan merdeka 72 tahun lalu, beberapa tahun kemudian Kakek Komis dan keluarga memilih kembali tanah kelahirannya di Adonara.

Komis melanjutkan hidupnya sambil bertani dan membesarkan anak-anaknya dengan didikan semi militer. Maklum tentara, ketegasan dan kedisplinan adalah bagian dari hidupnya.

Meski sudah tidak jadi menjadi tentara, Kakek Komis masih menjalankan sikap hidup disiplin.

Dia selalu tepat waktu untuk jam makan, mandi pagi dan sore. Terlambat sedikit dianggapnya sebagai kesalahan. Beruntung dia tidak memberi hukuman untuk orang yang terlambat.

Hingga kini, Kakek Komis juga masih cukup mengingat dengan jelas masa perjuangan melawan Belanda.

Dia bahkan menjadi "guru sejarah" bagi siswa-siswi di kampungnya. Hampir setiap pukul 06.00 pagi, Kakek Komis selalu dihampiri para murid SD di kampungnya yang akan mengerjakan tugas pelajaran Sejarah.

Mereka datang untuk mendengarkannya secara langsung bercerita sejarah perang merebut kemerdekaan.

"Anak-anak harus belajar sejarah, agar mereka tahu pejuang-pejuang negara ini adalah orang-orang yang berani mati. Kalian memang tidak lagi berperang saat ini, tapi kalian harus belajar sungguh-sungguh untuk isi hasil perjuangan kami. Jangan sampai kita jadi orang bodoh, nanti kita dijajah terus," tegasnya penuh semangat.

Hampir setiap hari pesan itu yang selalu disampaikannya pada cucu dan murid-murid yang mendengarkan kisahnya.

Setiap HUT Kemerdekaan RI, Serda (purn) Komis selalu mengikuti upacara bendera di kampungnya dengan memakai seragam veteran.

"Seragam saya yang dulu sudah rusak jadi beli baru, seragam veteran,"

Kini, karena usia yang telah renta, Kakek Komis sudah sulit berjalan jauh. Dia hanya bisa duduk di depan teras rumahnya dan tidak bisa lagi mengikuti upacara 17 Agustus.

Namun, ingatannya terhadap perjuangan bangsa ini belum luntur oleh waktu.

Belakangan dia memang sudah mulai melupakan nama sejumlah orang di sekitarnya karena usia yang sudah makin tua.

Tapi dia tidak pernah lupa  kisahnya saat perang dan pada cinta sejatinya, Susana yang mendampinginya melewati masa kelam bangsa ini.

"Tidak sia-sia saya menikahi ibu (Susana) dia kuat walau saya sering tinggalkan karena perang. Dia juga sering kasih makan anak-anak tentara yang lain. Siapa saja tentara yang datang ke rumah dia bantu. Dia juga berjuang sama seperti saya,".

Senyum dan mata yang berkaca-kaca mengakhiri cerita Kakek Komis tentang perjuangannya bersama para pejuang  bangsa Indonesia lainnya.

Kisah itu akan dia simpan sampai akhir hayat nanti. (flo/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Misteri Paku Payung dan Garis di Lapangan Upacara Istana Negara


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler