Kisah Wayan Mertayani yang Menjuarai Lomba Foto Internasional berkat Kamera Pinjaman

Hidup Masih Pas-pasan Meski Panen Sanjungan

Rabu, 02 Maret 2011 – 07:10 WIB
Mertayani dan foto karyanya yang menjadi juara. Foto: Chairul Amri /Radar Bali

Kisah Wayan Mertayani patut diacungi jempolMeski tak punya kamera, gadis 16 tahun asal Karangasem, Bali, itu berhasil menjuarai lomba foto internasional di Belanda

BACA JUGA: Gadaikan Motor hingga Buka Facebook untuk Nasi Bungkus

Mei tahun lalu, dia bahkan diundang ke Negeri Kincir Angin tersebut
Kini, Wayan sedang menunggu hadiah uang yang dijanjikan dengan harapan bisa mengurangi kemiskinan keluarganya

BACA JUGA: Sacramento; Ketika Sebuah Kota Terancam Kehilangan Tim NBA (2-Habis)


---------------------------------------------
 CHAIRUL AMRI S., Karangasem
---------------------------------------------
Siang itu, langit di atas Pantai Bias Lantang tampak mendung
Meski demikian, pantai di Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, tersebut terlihat indah dipandang

BACA JUGA: Sacramento; Ketika Sebuah Kota Terancam Kehilangan Tim NBA (1)

Di pinggir pantai itu, terdapat sebuah rumah sangat sederhana, berukuran sekitar 3 x 4 meterSemua dinding rumah tersebut terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan beratap seng

Itulah rumah Wayan MertayaniSehari-hari, gadis 16 tahun tersebut tinggal bersama ibunya, Ni Nengah Kirep, 45, dan adiknya, Ni Nengah Jati, 13Untuk menyambung hidup, Kirep beternak ayam yang jumlahnya hanya belasan ekorSelain itu, dia menjadi pemulung barang-barang bekasKetika Radar Bali (Jawa Pos Group) berkunjung ke rumahnya siang itu, Wayan sedang bersiap-siap berangkat sekolah"Saya sekarang kelas satu SMA," kata Wayan yang akrab disapa Sepi itu karena lahir pas hari raya Nyepi

Melihat kehidupan sehari-hari Wayan yang jauh dari kesan berkecukupan, mungkin tak akan pernah ada yang mengira bahwa gadis berwajah manis tersebut menjadi juara lomba foto internasional di BelandaTapi, itulah yang terjadi

Bagaimana ceritanya? Semua itu bermula ketika Wayan berkenalan dengan Mrs Dolly Amarhoseija, turis asal Belanda, Juli 2009Dari perkenalan tersebut, hubungan mereka kian akrabWayan yang sejak kecil bercita-cita menjadi wartawan tertarik pada kamera milik Dolly

Oleh Dolly, Wayan diajari cara memotretSelanjutnya, kamera digital itu dipinjamkan Dolly kepada WayanBetapa gembiranya Wayan saat ituBerbekal kamera pinjaman milik Dolly, Wayan memotret sejumlah objek di sekitar rumahnya

Di antara belasan objek yang dibidik Wayan, ada salah satu objek yang menarik perhatian Dolly yang memang menekuni bidang fotografi tersebutObjek itu adalah potret pohon ubi karet dengan dahan tanpa daun yang tumbuh di depan rumah WayanSeekor ayam bertengger di salah satu dahan tanpa daun ituAda juga handuk merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya

Karena dianggap bagus, atas seizin Wayan, foto tersebut dikirim Dolly ke Belanda untuk mengikuti lomba foto internasional 2009 yang dihelat Yayasan Anne FrankTak disangka-sangka, hasil jepretan Wayan dengan objek pohon ubi karet dan ayam itu ternyata memikat 12 fotografer dunia dari World Press Photo yang menjadi juri dalam ajang lomba tersebutObjek yang dibidik Wayan itu pun akhirnya ditetapkan sebagai juara karena dianggap sangat tepat dengan tema dalam lomba tersebut: Apa Harapan Terbesarmu?.

Kabar membanggakan itu diterima Wayan akhir Desember 2009 melalui MerryDia adalah pemilik vila Sinar Cinta di Karangasem, Bali, yang juga teman DollyAtas prestasi tersebut, Wayan diundang ke Belanda pada 3 Mei lalu untuk menerima langsung hadiahYakni, kamera saku digital, laptop, serta uang Rp 40 juta

Mengapa membidik ayam yang sedang bertengger di pohon ubi karet itu? "Ayam itu adalah simbol diri dan kehidupan keluarga kamiAyam itu kalau panas kepanasan dan kalau hujan kehujananSama seperti saya," jawab WayanLebih lanjut, dia menceritakan, meski punya rumah, rumah yang dia tinggali itu tak ideal disebut rumah"Karena atapnya seng, kalau panas kami kepanasanKalau hujan, kami kehujananSebab, atapnya banyak yang bocor," ceritanya

Ketika ditanya, apakah ada yang berubah setelah dia berhasil meraih juara bergengsi itu" Wayan hanya tersenyum"Nggak ada yang berubahSama saja seperti duluKami masih tinggal di gubuk iniKalau pun ada yang berubah, ya, saya banjir sanjungan, he" he" he?," kata Wayan dibarengi tawanya yang renyahTerutama sanjungan dari teman-teman sekolah dan bapak/ibu gurunya

Wayan mengakui, sejak dia mendapatkan penghargaan dari Yayasan Anne Frank, pandangan orang terhadap keluarganya berubahDulu, baik dia maupun ibunya kerap menuai cibiran dari sebagian wargaMeski demikian, apa yang pernah dia raih, rupanya tak membuat Wayan besar kepalaDia masih tetap menjalani hidupnya seperti sebelum mendapatkan penghargaan"Tentu saya bersyukurTapi, saya juga tidak mau berlebihan," kata penggemar berat novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ini

Wayan mengatakan, hidup keluarganya memang masih jauh dari berkecukupanAyahnya meninggal, sejak Wayan masih balitaUntuk menyambung hidup, ibu Wayan bekerja serabutanSelain beternak ayam dan menjadi pemulung, sang ibu, Kirep, juga berjualan makanan di tepi pantaiTapi, untuk aktivitas ini, Kirep mengaku terpaksa berhentiItu karena sebulan terakhir ini kesehatannya terganggu"Ibu saya terkena gangguan ginjalSebenarnya sejak 2003 laluTapi, akhir-akhir ini sering kumat," papar Wayan yang kisah hidupnya telah dibukukan dengan judul  Potret Terindah dari Bali ini

"Ginjal kanan saya kumat lagiKalau angkat yang berat-berat terasa sakit," ujar Kirep, yang siang itu mendampingi puteri sulungnyaDengan kondisi seperti itu, Kirep lebih banyak di rumahPagi hari dia hanya memulungSelesai itu, dia pun kembali ke rumah untuk memasak serta mengurus ternak ayam serta kambing yang dia gembalakan di pinggiran pantai.

Dari ternak-ternak itulah, keluarga Kirep melanjutkan hidupnyaKadang kala, dia terpaksa menjual kambing agar Wayan dan adiknya, Jati, bisa bersekolahTermasuk, untuk makan sehari-hari bagi keluarganya.

"Seminggu lalu, saya terpaksa menjual ayamLaku Rp 50 ribuKebetulan uang itu untuk biaya sekolah Wayan dan Jati," katanya"Tiga minggu lalu saya melepas satu ekor kambing untuk dijualSoalnya saya sudah bingung cari uang dapur dan uang untuk sekolah anak-anak saya," tambahnya, dengan kedua mata menerawang

Saat ini, Wayan sedang menunggu hadiah uang senilai Rp 40 juta yang menjadi haknya atas prestasi yang diperoleh di Belanda"Uang itu sedang diurus Bu Merry," kata Wayan, dengan mata berbinar penuh harapDia mengatakan, uang itu rencananya untuk membeli tanah, selanjutnya dibangun rumahSebab, rumah yang ditempati Wayan saat ini, bukan lah rumahnya sendiri"Rumah itu bukan milik kamiKami hanya disuruh menempati oleh orang yang kasihan dengan nasib kami," tutur Wayan

Dengan nada bergetar, Wayan menceritakan, bahwa semula dia tinggal di rumah kakek dari ayahnyaTapi, setelah sang ayah meninggal, tanpa alasan jelas, Kirep, Wayan dan adiknya  yang saat itu masih balita, diusir oleh keluarga sang kakekSelanjutnya, Wayan tinggal di rumah kakek dari ibunyaDi sini pun, nasib Wayan tak mujur

Tak berapa lama, Kirep, Wayan dan adiknya juga diusirBeruntung, dalam kondisi terkatung-katung itu, ada seorang yang ibaDia adalah pemilik lahan pengeringan garam yang terletak di pinggiran Pantai Bias Lantang, Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, Kabupaten KarangasemDi atas lahan itu, kebetulan ada rumah, dan Kirep diperbolehkan tinggal di sana bersama dua anaknya, sampai sekarang

Kisah pilu Wayan ini sudah dibukukan dengan judul Potret Terindah dari Bali yang disusun Pande Komang Suryanita"Saya sangat berharap mendapat royalti dari buku ituRencananya akan kami buat tambahan membeli tanah dan membangun rumah," katanya.(jpnn/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Calon Bintang Harus Tidur Siang, Main Bola Maksimal 1,5 Jam


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler