Kita Berusaha Selamatkan Suara

Minggu, 09 Maret 2014 – 20:06 WIB
Komisioner KPU, Sigit Pamungkas. Foto: Ken Girsang/JPNN.com

jpnn.com - MUNCUL polemik terkait keabsahan hasil pemilu legislatif 9 April 2014 mendatang jika angka golput mencapai lebih 50 persen.

Ada yang berpendapat, hasil pemilu tidak sah jika mayoritas pemilih tidak menggunakan haknya. Satu kubu lain mengatakan, hasil pemilu tetap sah, namun berdampak pada legitimasi eksekutif dan legislatif hasil pemilu.

BACA JUGA: Antisipasi Kerawanan Kontestasi

Kubu yang pertama, dengan dalih Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, Pasal 232, tingginya angka golput bisa mendorong dilakukannya pemilu susulan. Kubu yang kedua, dengan mengacu UU yang sama, menyebut pemilu susulan hanya dapat dilaksanakan jika sebagian atau seluruh daerah pemilihan mengalami bencana alam, gangguan keamanan atau gangguan lainnya.

Lantas bagaimana pandangan Komisioner KPU terkait hal ini? Berikut petikan wawancara wartawan JPNN Ken Girsang dengan Komisioner KPU yang membidangi Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Sumber Daya Manusia (SDM), Sigit Pamungkas, di Jakarta, kemarin (8/3).

BACA JUGA: Saya Ingin Jadi Presiden Satpam

Apa komentar Anda menanggapi pendapat jika angka golput lebih dari 50 persen pemilu perlu diulang?

Legitimasi pemilu tidak pernah diukur dari tingkat partisipasi. Tinggi atau rendah, legitimasi hasil pemilu tetap sah. Yang menggangu legitimasi pemilu biasanya kecurangan, manipulasi. Di banyak negara itu (persentase golput) bukan variabel sah tidak sahnya pemilu. Demikian juga di Indonesia.

BACA JUGA: Intip Hakim Selingkuh dengan Kamera Video

Langkah meningkatkan angka partisipasi?

Partisipasi masyarakat penanggung jawab utama parpol. Karena mereka yang memiliki kewajiban, tanggung jawab untuk memeroleh dukungan dari masyarakat. KPU dalam konteks ini menjadi pendamping, mendorong partisipasi tinggi. Di KPU yang kita lakukan memberi informasi kepemiluan, juga beri edukasi politik. Kalau informasi, KPU manfaatkan semua media yang menghubungkan pemilih untuk memerolah informasi. Kalau edukasi, KPU kerja sama dengan masyarakat sipil, supaya turut mengembangkan sosialisasi partisipatif.
Saat bersamaan, KPU juga membentuk relawan demokrasi yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan membidik lima segmen. Yaitu segmen pemilih perempuan, pemilih pemula, penyandang disabilitas, kelompok marjinal dan kelompok agama.

Sosialisasi sudah maksimal?

Untuk media (kampanye) lewat panggung budaya, itu sudah sejak 2013 kita lakukan. Relawan demokrasi yang sifatnya masuk ke masyarakat kita mulai awal 2014. Berkaitan dengan media massa kita lanjut di 2014. Kita optimalkan segenap upaya-upaya yang ada. Sebagian kerja partai dan parpol, juga relatif menunjukkan hasil. Beberapa survei memerlihatkan angka minat masyarakat ikut pemilu kini mencapai 80-90 persen. Setidaknya ada tiga lembaga survei yang mengatakan itu. Hal ini modal bagus yang perlu dijaga KPU dan dan partai politik.

Di sejumlah daerah pada pelaksanaan pilkada, tingkat partisipasi pemilih rendah, di bawah 50 persen. Ada langkah khusus yang dilakukan KPU terhadap daerah-daerah ini?

Politik pilkada dan legislatif berbeda. Aktor yang menggerakkan pemilih lebih banyak pada pemilu legislatif. Selain itu SDM yang dikerahkan juga lebih masif. Jadi tidak bisa serta merta partisipasi pilkada yang rendah, terkonfirmasi pada pemilu legislatif. Meski demikian itu (tingkat partisipasi sejumlah pilkada rendah) menjadi warning bagi KPU dan parpol bersama-sama mendorong partisipasi.

Punya peta daerah rawan golput?

Golput itu sebenarnya lebih menunjukkan prilaku kelas sosial. Jadi bukan geografis. Yang relatif golput dalam banyak pengamatan, itu lebih pada kelas menengah dan terdidik. Kelompok ini kelompok rasional yang melek politik sebenarnya. Mereka inilah yang selama ini diindikasikan tidak menggunakan hak pilih.

Kalau yang golput dari kelompok masyrakat terdidik, sosialisasi tentunya sulit dong?

Itu kan tergantung cara partai. Karena yang paling bekepentingan agar masyarakat berpatisipasi itu adalah mereka (parpol). Tapi KPU juga melakukan langkah-langkah. Antara lain mengemas sosialiasi dengan cara-cara yang menarik. Misalnya hadir pada tempat-tempat di mana mereka biasanya berkumpul. Seperti kita melakukan sosialasi di mal-mal, sosialiasi dengan cara yang lebih santai, dengam gaya bahasa yang tidak lagi birokratif, jadi kita upayakan pemilu 2014 ini menunjukkan gejala yang positif dengan sosialisasi masif.

Kita juga berusaha menggandeng komunitas-komunitas untuk membangun kesadaran pemilih tidak sekadar menggunakan hak pilih, tapi menggunakannya dengan baik. Sebab datang untuk memilih saja tidak cukup. Akan lebih optimal ketika mereka datang dan menggunakan hak pilihnya dengan cerdas. Itu akan menghasilkan lingkungan politik yang sehat untuk pelaksanaan pemerintahan ke depan.

KPU menargetkan 75 persen pemilih pada pemilu kali ini. Apakah karena yakin yang 25 persen pasti golput?

Target itu hanya upaya, itu target minimal 75 persen. Sedangkan yang kita upayakan melampaui itu. Kita ingin 80 atau 90 persen. Kelas menengah kita itu (kemungkinan masyarakat yang akan golput) kecil, tapi mereka punya efek memengaruhi masyarakat secara luas. Ini yang berusaha kita minimalisir, bagaimana pengaruh itu tidak meluas, sekaligus kita merangkul kelas menengah.

Terobosan lain yang dilakukan KPU sehingga pemilu lebih berkualitas?

Selama ini banyak pilihan pemilih, tidak bisa dikonversi ke dalam jumlah kursi. Atau pilihannya dianggap tidak sah. Itu (pada pemilu 2009 lalu) jumlahnya mencapai 14 persen dari total pemilih. Karena itu KPU mengambil kebijakan bagaimana suara rakyat bisa diselamatkan faktor-faktor administratif. Caranya, sekarang kebijakannya pemilih melakukan coblos, tidak lagi contreng.

Mengapa bisa dikatakan itu sebuah terobosan?

Karena coblosan yang lebih dari satu kali jika bisa diidentifikasi untuk siapa suara tersebut, maka tetap dianggap sah. Contoh ada pemilih mencoblos nama caleg dari partai mangga, misalnya Kania, dicoblos lebih dari sekali, maka suara sah pada calon. Kalau ada varian dalam satu parpol dicoblos dua kali (dicoblos dua nama caleg yang berbeda), suara sah. Tapi peruntukan suaranya untuk parpol.

Ada situasi juga pemilih mencoblos ruang yang tidak ada nama calon. Maka suara dianggap sah dan suara diberikan kepada parpol. Jadi pada prinsipnya ketika pemilih menggunakan hak pilih, dan itu bisa diidentifikasi peruntukannya untuk siapa, itu sah. Kalau bisa diindentifikasi untuk salah satu calon, maka suara sah untuk calon.

Apakah juga berlaku untuk calon DPD?

Untuk DPD, prinsipnya sama. Konsepnya lebih sederhana, kalau mencoblos pada kolom nomor dan tanda gambar calon, maka sah. Kalau mencoblos namanya, maka itu sah. Kalau dua kali di gambar dan nama, itu sah. Kalau dua kali di tanda gambar, itu sah.Jadi kita berusaha menyelamatkan suara pemilu. Kalau dicoblos di luar batas gambar yang bisa diidentifikasi, baru suara tersebut tidak sah. Tapi mencoblos harus menggunakan alat yang disediakan, kalau pakai rokok, misalnya, tidak tidak sah.

Kalau ada caleg yang sudah meninggal dunia namun namanya masih ada, dan ada masyarakat yang mencoblos, suaranya sah. Tapi nanti diumumkan. Suaranya untuk partai. Nah lalau pemilih mencoblos lebih dari dua nama (yang satunya sudah meninggal dunia) maka suara akan diberikan pada yang satunya. ***

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kurir Narkoba tak Gampang Ngoceh


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler