KKB Terus Bergejolak, Senator Papua Barat: 3 Persoalan Lama Harus Segera Disikapi

Senin, 06 September 2021 – 17:05 WIB
Wakil Ketua I DPD RI yang juga Senator asal Papua Barat, Filep Wamafma. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua I DPD RI, Filep Wamafma menguraikan tiga persoalan lama menyikapi persoalan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua yang terus melancarkan aksinya.

Aksi terbaru terjadi Kamis (2/9) dini hari di Posramil Kisor, Maybrat, Papua Barat, yang menewaskan 4 prajurit TNI.

BACA JUGA: Senator Filep Wamafma Dukung Bupati Sorong Lawan Mafia Sawit

Menurut Senator Papua Barat Filep Wamafma, aksi KKB berkaitan dengan pelanggaran HAM di masa lalu.

Selain itu, adanya perbedaan pemahaman ideologi dan penanganan pengaduan masyarakat Papua terkait pelanggaran HAM.

BACA JUGA: Sentil Luhut, Filep: Rakyat Papua Butuh Jawaban, Bukan Somasi

“Sejak Papua berintegrasi dengan Indonesia dan pada saat Orde Baru dengan daerah operasi militer di zaman Presiden Soeharto, sampai saat ini tidak ada keinginan pemerintah untuk menyelesaikan konflik tersebut yang merupakan warisan dari masa lalu dan diwariskan ke masa ini,” kata Filep Wamafma.

Selain itu, lanjut Filep, pemahaman ideologi dikarenakan perbedaan pendapat terhadap sejarah integrasi yang tumbuh subur di tengah rakyat Papua diikuti dengan sejarah konflik senjata pada saat 1960-an, juga turut andil.

BACA JUGA: DPR Pertanyakan Kewenangan DPD Usulkan RUU BUMDes, Senator Filep Ingatkan Putusan MK

"Ketiga, perlawanan masyarakat terhadap pemerintah melalui Komnas HAM, jika terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dilakukan melalui proses pengadilan,” jelasnya.

Tokoh intelektual Papua ini menyampaikan, sejauh ini belum ada kejelasan apakah institusi atau perorangan yang terlibat dalam pelanggaran HAM akan diproses pengadilan.

Sehingga kondisi ini menjadi sulit dan pada akhirnya diperjuangkan LSM maupun ketua adat karena belum ada upaya nyata pemerintah menyelesaikan masalah tersebut.

“Hal ini menjadi sulit karena perorangan tersebut melakukan tugas dari institusi dan perintah dari pemimpin di masa lalu. Hal ini terkait dengan siapa pemimpin yang menerapkan tugas tersebut," kata Filep.

"Jika pemerintah ini mau memproses hal itu maka jelas bisa diproses, tapi negara pasti akan melindungi karena hal itu dilakukan bukan berdasarkan perorangan tapi dilakukan atas nama institusi,” ungkapnya.

Menurutnya jejak sejarah kelam di masa lalu itu berlanjut kepada generasi saat ini.

Selain itu, kata Filep, hak warga dalam Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) saat 1969 lalu juga masih menimbulkan polemik karena terdapat lebih dari 600 ribu hak suara, tetapi nasib Papua hanya ditentukan 1.025 suara yang seluruhnya mendukung integrasi ke Indonesia.

“Hal inilah yang masih diperdebatkan sampai sekarang, apakah warga Papua ini diakui atau tidak oleh pemerintah. Sehingga terjadilah gejolak yang memanas. Buktinya adalah setiap 1 Desember, pasti dirayakan Hari Kemerdekaan Papua," kata Senator asal Papua Barat itu.

Menurut Filep, seharusnya pemerintah mengambil peran menyikapi persoalan ini.

"Pemerintah harus menunjukkan bukti bahwa Papua adalah bagian dari NKRI,” tegas Filep.

Filep menuturkan, Papua Barat masih memiliki keterbatasan dalam Sumber Daya Manusia (SDM), tetapi memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang luar biasa.

Seharusnya bekal tersebut membuat masyarakat Papua Barat dapat menikmati kesejahteraan.

Kenyataannya berbeda, Papua Barat masih termasuk dalam provinsi termiskin di Indonesia.

Langkah lainnya kata Filep, pemerintah seharusnya memberdayakan warga lokal Papua untuk bekerja di daerah masing-masing sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan warga lokal.

Terlebih, lanjut dia, warga Papua menganggap bahwa tanah adalah investasi mereka, tetapi pemerintah kerap melakuan perjanjian investasi yang justru kurang menguntungkan bagi pemilik tanah.

Seharusnya pihak pemerintah membagi keuntungannya secara adil menurut pembagiannya tanpa ada pihak yang dirugikan sama sekali.

“Warga Papua tidak merasakan keadilan dalam pekerjaan dan investasi tersebut. Hal seperti inilah yang membuat warga Papua melawan. Mereka melawan karena mereka memperjuangkan hak mereka. Namun pemerintah justru menganggap sebagai teroris atau KKB," ungkap Filep.

Seharusnya pemerintah hanya dapat menyatakan, bahwa di dalam Provinsi Papua terdapat beberapa kelompok atau oknum yang ingin melawan atau memerdekakan Papua.

"Jadi stigma teroris kurang pas untuk menerapkan hal tersebut,” jelasnya.

Filep menekankan, pemerintah dapat mencegah atau meredam gejolak kelompok yang dianggap teroris dengan melakukan beberapa metode pendekatan seperti pendekatan secara budaya, ideologi, dan hal-hal lainnya.

Presiden yang melakukan beberapa pendekatan hal tersebut hanya terdapat pada era Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Menurut Filep, dalam membangun Papua, pemerintah dapat mencontoh bagaimana pemerintahan Presiden Gus Dur menerapkan pendekatan melalui pemahaman suku, budaya, dan agama, bukan melalui pengiriman pasukan TNI dan Polri.

“Hal ini juga yang sering atau kerap diceritakan oleh para orang tua ke pada anaknya, hampir seluruh warga di pedalaman Papua pasti pernah mendengar cerita itu dari orang tuanya mengenai kekerasan yang sedemikian rupa,” kata Filep.

Selain itu, ia mengatakan banyaknya pos-pos penjagaan di setiap daerah dapat membuat warga merasa ketakutan dan ketidaknyamanan.

Warga Papua ini hanya warga biasa yang bukan anggota OPM.

"Ketakutan warga dapat dipahami mengingat SDM warga Papua di sana masih rendah, terlebih jika mendapatkan intimidasi dari para anggota militer seperti diperketatnya larangan beraktivitas," pungkasnya. (mar1/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Orang Asli Papua Termarginal di BP Tangguh, Senator Filep Wamafma Merespons Begini


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Tim Redaksi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler