Klaim Kerugian Negara Rp 3 Triliun, Petrus: Kajati NTT Jangan Bohongi Publik

Kamis, 14 Januari 2021 – 15:35 WIB
Petrus Selestinus. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Selama 5 (lima) bulan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, dalam kasus klaim pemilikan lahan Toro Lema, Batu Kalo, Labuan Bajo, Mangarai Barat NTT sebagai milik Pemda Manggarai Barat, Kejaksaan Tinggi NTT, belum pernah menjelaskan kepada publik.

“Apa saja bukti alas Hak Pemda Manggarai Barat? Apa dasar perhitungannya dan Lembaga Pemeriksa Keuangan mana yang menghitung kerugian negara dengan angka fantastik sebesar Rp3 triliun itu,” kata Petrus Selestinus di Jakarta, Kamis (14/1/2021).

BACA JUGA: Soroti Kasus Tanah Toro Lema di Labuan Bajo NTT, Ketua Presidium KRF: Kajati NTT Bikin Kegaduhan

Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari sumber yang layak dipercaya, menurut Petrus, diperoleh fakta bahwa belum ada perbuatan hukum di hadapan PPAT untuk Peralihan Hak Atas Tanah 30 Ha di Toro Lema kepada Pemda Mabar.

“Oleh karena itu, belum ada legal standing bagi Pemda Mabar dinyatakan sebagai pemilik lahan seluas 30 Ha di Toro Lema, Batu Kalo apalagi kerugian Negara,” tegas Petrus yang juga Advokat Peradi ini.

BACA JUGA: Polri Diminta Segera Keluarkan Red Notice untuk Tangkap Buronan Kasus Mafia Tanah

Lebih lanjut, Petrus mengatakan pada kenyataannya belum ada perbuatan hukum berupa Peralihan Hak yang sah, apakah Akta Jual-Beli, Akta Hibah atau Akta apapun lainnya yang dibuat di hadapan PPAT, maka proses pemilikan hak atas nama Pemda Mabar terkendala untuk mendapatkan SHM atau SHGB atau SHP pada Kantor Pertanahan Mabar.

“Karena itu tidak ada alasan sedikitpun bagi siapapun termasuk Pemda Mabar mengklain lahan 30 Ha sebagai milik Pemda Mabar atau dirugikan setara Rp3 triliun,” kata Petrus lagi.

BACA JUGA: Catatan Tajam Kepada DPR Tentang Rekam Jejak Calon Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo

Petrus menilai upaya Kejaksaan Tinggi NTT, sangat prematur membawa kasus ini menjadi Tindak Pidana Korupsi dan terlalu berani menentukan secara sepihak adanya kerugian negara.

“Ini jelas tindakan bodoh, karena kekuasaan negara yang begitu besar, digunakan pada hal-hal privat yang seharusnya pada fungsi Jaksa selaku Pengacara Negara, dengan terlebih dahulu memperkuat status hak pemilikan Pemda Mabar melalui upaya hukum Gugatan Perdata, bukan dengan instrumen Tindak Pidana Korupsi,” tegas Petrus.

Mencampuradukkan Wewenang

Petrus menilai langkah Kajati NTT tersebut sebagai sikap tidak jujur, membohongi, membodohi dan memberi harapan untuk sebuah "pepesan kosong" (fiksi), tidak saja kepada masyarakat NTT tetapi juga kepada Jaksa Agung sebagai atasannya.

“Seakan-akan Kepala Kejaksaan Tinggi NTT Dr. Yulianto, SH. MH ini sosok yang hebat dan peduli terhadap nasib rakyat kecil, padahal banyak kasus korupsi besar lainnya di NTT mangkrak dan tidak tertangani selama bertahun-tahun dan diwariskan lagi kepada Kajati berikutnya,” kata Petrus.

Lebih lanjut, Petrus mengatakan jika terdapat dugaan bahwasannya ada pihak lain menggunakan dokumen palsu dan mengalihkan hak atas lahan Toro Lema, Batu Kalo, dengan memalsu dan menggunakan dokumen palsu, maka kewenangan penyidikan atas dokumen palsu dan menggunakan dokumen palsu itu harus dibuktikan terlebih dahulu melalui mekanisme penyidikan Tindak Pidana Umum dan wewenang untuk itu berada pada Polri, Cq. Polda NTT atau Bareskrim Polri.

Oleh karena itu, tidak terdapat alasan hukum sedikitpun untuk mengkualifikasi peristiwa pemilikan lahan Toro Lema oleh pihak lain sebagai Tindak Pidana Korupsi dan mengklaim kerugian negara sebesar Rp3 triliun. Terlebih-lebih karena harga lahan 30 Ha di Toro Lema, Batu Kalo masih jauh dari nilai Rp3 triliun, juga karena lahan Toro Lema dimaksud belum jadi milik Pemda Mabar dan masih dalam status sengketa pemilikan.

Penanganan Korupsi Untuk Korupsi

Kejaksaan Tinggi NTT, tampak tetap memaksakan kehendak, memperbanyak jumlah saksi, memeriksa saksi hingga ratusan orang secara berulang ulang, konon ada saksi yang disuruh mengaku bersalah. Padahal penyidikan dengan pola memeras pengakuan bersalah dari saksi atau tersangka yang diperiksa, dilarang keras oleh KUHAP. 

Menurut Petrus, terdapat indikasi terjadi penyalahgunaan wewenang, dimana Dr. Yulianto dan tim penyidiknya sesungguhnya sedang menghambur-hamburkan uang negara sekadar ongkos pencitraan diri, dengan memperalat institusi Kejaksaan Tinggi NTT pada kasus Tindak Pidana Umum yang sepenuhnya merupakan wewenang Polri.

“Dicampuradukkan dengan instrumen penyidikan Tindak Pidana Korupsi sehingga Kejaksaan bisa masuk. Inilah yang disebut penanganan tindak pidana korupsi untuk dikorupsi lagi,” katanya.

Petrus secara tegas mengatakan pola kriminalisasi dimana Kasus Perdata dijadikan Pidana dan Kasus Pidana Umum dijadikan Pidana Khusus atau Korupsi, merupakan penyalahgunaan wewenang.

“Karena itu, Dr. Yulianto selaku Kepala Kejaksaan Tinggi NTT, sedang memburu rente atas nama negara, tetapi dikhawatirkan nantinya lahan Toro Lema bisa saja lepas dari mulut buaya tetapi akan masuk lagi ke mulut macan, karena salah memilih jalan,” katanta Petrus Selestinus.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler