Klaim Mandek, Cash Flow Kacau

Minggu, 23 Februari 2014 – 08:03 WIB

jpnn.com - JAKARTA – Seretnya pembayaran klaim rumah sakit (RS) melalui BPJS Kesehatan mulai berdampak serius. Satu per satu rumah sakit (RS) mulai mengeluhkan buruknya pencairan klaim dalam program kesehatan pemerintah.

Mulai program lama jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), jaminan kesehatan daerah (jamkesda), hingga program kesehatan terbaru, jaminan kesehatan nasional (JKN).

BACA JUGA: Sepakat Nasionalisasi Blok Mahakam

Di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat, misalnya, hingga kini seluruh klaim dari program-program kesehatan pemerintah itu belum tuntas diberikan. Dari jamkesmas, RSUD Tarakan baru menerima 60 persen dari seluruh klaim.

Untuk jamkesda, RS tersebut baru menerima sekitar 40 persen. Bahkan, untuk JKN, mereka belum menerima sama sekali dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

BACA JUGA: Ratusan RS Terancam Bangkrut

Menurut Direktur Utama RSUD Tarakan Koesmedi Prihanto, pihaknya mengalami kesulitan dalam operasi RS karena buruknya pencairan klaim itu. ’’Tentu sangat berpengaruh. Hampir 80 persen pasien kami adalah peserta program tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana pengaruhnya terhadap operasional kami,’’ ungkapnya.

Ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada) itu juga menyatakan, pihaknya bahkan harus mengutang kepada farmasi untuk pemenuhan obat pasien. Selain itu, Koesmedi berniat mengajukan permohonan bantuan kepada gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk dana segar.

BACA JUGA: Bupati Duga Broker CPNS Gentayangan di Daerah

Menurut Koesmedi, meski dana-dana mandek tersebut nanti keluar, RS tetap memerlukan dana segar dalam waktu cepat. Sebab, pihaknya harus memenuhi hak-hak pegawai dan pasien.

Bukan hanya RSUD Tarakan, hal serupa dikeluhkan rumah sakit lain yang bergabung dalam program kesehatan pemerintah. RSUD Kayuagung, Sumatera Selatan, juga mengalami kesulitan dalam operasi karena masalah pencairan klaim. Hingga kini tunggakan jamkesmas Rp 2,2 miliar belum dibayar.

Sementara itu, saat dikonfirmasi mengenai tunggakan jamkesmas yang belum dibayar tersebut, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Supriyantoro menegaskan bahwa pihaknya telah menghitung dana yang harus dikeluarkan. Dari jumlah keseluruhan sekitar Rp 2 triliun, yang telah diverifikasi mencapai Rp 1,3 triliun. Pengajuan dana pun telah diberikan kepada Kementerian Keuangan.

’’Sesuai hasil BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Red), sudah selesai diverifikasi sekitar Rp 1,3 triliun dan saat ini sedang diajukan ke Kemenkeu,’’ tulis Supriyantoro dalam pesan singkat.

Dia mengungkapkan, dana tersebut segera didistribusikan sesuai dengan data verifikasi BPKP begitu disetujui Kemenkeu. Sisanya diberikan begitu verifikasi selanjutnya selesai.

Dana jamkesmas terakhir diberikan pada akhir tahun lalu. Total dana yang diberikan, kata Supriyantoro, sekitar Rp 8 triliun, termasuk untuk klaim jaminan persalinan (jampersal) dan jaminan pelayanan talasemia (jampeltas).

Sebelumnya, pihaknya pernah menyatakan bahwa tunggakan tersebut tidak akan mengganggu operasi dalam JKN. Namun, kenyataannya, pihak RS juga sangat membutuhkan asupan dana tersebut terkait dengan membeludaknya pasien JKN.

Sebagaimana diberitakan (Jawa Pos, 22/2), pada bulan kedua pelaksanaan klaim melalui BPJS Kesehatan, di antara total 953 rumah sakit (RS) yang mengajukan klaim, baru enam rumah sakit yang telah dibayar. Enam RS itu adalah RS Medistra Jakarta, RS Angkatan Darat Bone Sulsel, RSUD Muara Dua OKU Sumsel, RS Metro, RS Harapan Bunda, dan RS AMC Metro.

Lamanya pembayaran klaim itu diduga terjadi karena BPJS tidak memiliki dana yang cukup. Sebab, target iuran Januari tidak bisa dipenuhi. Dana iuran yang berhasil dikumpulkan pada Januari tercatat Rp 2,5 triliun, sedangkan target iuran per tahun mencapai Rp 38 triliun atau sekitar Rp 3,16 triliun per bulan.

Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi menegaskan bahwa kondisi keuangan BPJS sangat baik. ’’Tidak benar itu. Likuiditas keuangan kami sangat baik,’’ ujarnya di Jakarta kemarin (22/2).

Menurut dia, target iuran yang ditetapkan per tahun tidak bisa dibagi 12 bulan untuk mendapat target per bulan. Sebab, fokus utama BPJS adalah jumlah peserta. BPJS menargetkan 121 juta peserta dengan pendapatan iuran sekitar Rp 38 triliun.

Irfan mengakui adanya beberapa iuran pada Januari yang belum masuk ke BPJS. Iuran itu berasal dari pemerintah daerah (pemda). Meski demikian, dia memastikan bahwa telatnya pembayaran tersebut tidak menjadi kendala. Sebab, pada bulan berikutnya, pemda membayar dobel.

’’Tidak bisa jika hanya dibagi 12 bulan seperti itu. Yang penting dilihat likuiditasnya. Dana itu pun (Rp 2,5 triliun) sanggup untuk membayar klaim,’’ katanya.

Dari klaim yang telah disetorkan rumah sakit, dia mengakui memang baru beberapa yang telah dibayar. Jumlah itu pun tidak lebih dari Rp 1,2 triliun. Menurut Irfan, sedikitnya klaim RS yang dibayar BPJS juga disebabkan kurang lengkapnya persyaratan pencairan klaim.

Dia mejelaskan, RS kebanyakan hanya menyetorkan setengah dari keseluruhan berkas klaim yang diwajibkan BPJS. Karena itu, BPJS tidak bisa membayar klaim. Padahal, lanjut dia, BPJS akan memberikan 50 persen dari jumlah klaim oleh RS, meski verifikasi belum tuntas.

’’Lengkapi dulu. Kalau berkas hanya diberikan tidak lengkap dalam 31 hari, bagaimana bisa diberikan" Jadi, tidak benar BPJS dianggap kurang dana atau menghambat cash flow mereka,’’ tuturnya.

Irfan menyatakan, pemberian separo klaim itu telah diatur dalam UU BPJS Kesehatan. Diharapkan, RS sudah mengantisipasi aturan tersebut sehingga nanti tidak mengalami kesulitan keuangan.

Selain kurang lengkapnya berkas, kata dia, lambatnya pencairan klaim disebabkan telatnya penyerahan berkas klaim itu. Menurut dia, RS lebih dulu menyelesaikan laporan klaim keuangan program sebelumnya, yakni jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas).

’’Klaim BPJS baru dikerjakan setelah itu. Nah, kemudian mereka terlambat memasukkannya. Paling lambat kan 15 hari. Kalau mereka baru menyetorkan beberapa hari lalu, tentu belum bisa diberikan,’’ tegasnya.

Dalam perjalanan BPJS Kesehatan selama hampir dua bulan ini, memang banyak persoalan yang muncul. Pemerintah dinilai kurang matang dalam mempersiapkan program kesehatan nasional tersebut.

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebagai pengawas jalannya BPJS Kesehatan beberapa waktu lalu melakukan survei terkait dengan keluhan masyarakat. ’’Banyak keluhan yang sudah kami terima, baik secara langsung dari laporan masyarakat maupun yang kami himpun dari pemberitaan mengenai BPJS Kesehatan,’’ ujar Ketua DJSN Chazali Situmorang.

Keluhan terbanyak, antara lain, tidak sinkronnya aturan yang diterapkan pemerintah pusat dan aturan di RS, banyaknya obat yang tidak ditanggung dalam pelayanan BPJS Kesehatan, serta pelayanan manual yang diterapkan dalam pelayanan kesehatan.

Chazali menjelaskan, masalah tersebut perlahan-lahan telah diperbaiki. Sinkronisasi peraturan berkali-kali dilakukan agar tidak terjadi miskomunikasi antara pusat dan daerah. Dia mengakui, pada awal penerapan, masih banyak RS yang dilaporkan tidak mau menerima pasien karena belum jelas kepesertaannya dalam BPJS Kesehatan. Hal itu kini dipastikan tidak akan terulang.

Sementara itu, mengenai tanggungan obat yang hanya diberikan selama lima hari oleh RS, Chazali menegaskan bahwa saat ini aturan itu telah diubah. Pasien yang membutuhkan obat setiap hari akan mendapat obat selama sebulan penuh.

’’Obat akan diberikan sebulan penuh, tidak lima hari lagi. Aturannya tetap, dalam paket Ina CBGs, rumah sakit hanya akan memberikan obat lima hari. Tapi, akan langsung ditambah sisanya untuk persediaan 30 hari. Nanti RS yang klaim ke BPJS Kesehatan karena memang tidak masuk paket. Jadi, BPJS yang akan membayar,’’ jelasnya.

Keluhan mengenai BPJS Kesehatan tidak hanya datang dari masyarakat. Dokter dan RS pun turut mengeluhkan aturan dalam program tersebut. Kecilnya jumlah iuran dan klaim menjadi keluhan utama mereka. Akibatnya, banyak rumah sakit swasta yang mengundurkan diri setelah bergabung dengan BPJS Kesehatan.

Untuk besaran iuran, kata Chazali, saat ini kecil kemungkinan bisa diubah. Sebab, untuk mengubah besaran iuran, diperlukan langkah panjang dan persetujuan DPR. Namun, kemungkinan itu bisa saja terjadi.

’’Akan kami lihat dulu. Evaluasi kan terus dilakukan. Tapi, kalau tiga bulan ganti, itu tidak memungkinkan. Mungkin jangka waktu enam bulan. Yang jelas, tiga bulan ini evaluasi akan benar-benar dilakukan dengan baik,’’ tegasnya. (mia/c5/kim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... ICW: Dugaan Suap Pilgub Jatim Cukup Bukti


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler