jpnn.com, JAKARTA - Ketentuan volume minimal 1 liter untuk air minum dalam kemasan (AMDK) plastik bukan hanya anjuran, tetapi kewajiban.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
BACA JUGA: Kepala BPOM Sampaikan Poin Penting Dalam Pengaturan Pelabelan AMDK
"(Aturan ini ada) karena ukuran yang kecil-kecil itu berpotensi besar menjadi polutan," kata Kepala Subdirektorat Tata Laksana produsen, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ujang Solihin Sidik, dalam sebuah webinar tentang penggunaan AMDK belum lama ini.
Ujang mengungkapkan bahwa AMDK plastik berukuran di bawah 1 liter sangat disulit dikumpulkan setelah dikonsumsi, sehingga sampah mudah tercecer dan mengotori lingkungan.
BACA JUGA: BPKN dan YLKI Belum Pernah Terima Aduan Terkait Kemasan AMDK
Berdasarkan data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun. Sebanyak 5 persennya, atau 3,2 juta ton, merupakan sampah plastik.
Dari jumlah 3,2 juta ton timbulan sampah plastik, produk AMDK bermerek menyumbang 226 ribu ton atau 7,06 persen. Sebanyak 46 ribu ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek merupakan sampah kemasan gelas plastik.
BACA JUGA: Sudahkan Konsumen Terlindungi Dari Penggunaan AMDK?
Menurut Ujang, AMDK gelas plastik yang menggunakan jenis material plastik (polypropylene) belum bisa diterima oleh industri daur ulang di Indonesia, baik gelasnya, penutup, sedotan, maupun pembungkus sedotannya.
Data Sustainable Waste Indonesia menyebutkan, tingkat daur ulang (recycle rate) sampah plastik di Indonesia baru 7 persen, dengan jenis plastik PET (yang digunakan untuk kemasan AMDK botol dan galon) mencapai 70 persen tingkat daur ulang.
Data ini menunjukkan, AMDK gelas plastik, termasuk penutup, sedotan, dan pembungkus sedotannya, menimbulkan masalah besar bagi lingkungan karena tak bernilai untuk didaur ulang.
Industri daur ulang pada gilirannya tidak memperoleh bahan baku yang dibutuhkan. Akibatnya, industri daur ulang terpaksa mengimpor bahan baku sampah plastik 750 ribu ton per tahun.
Ujang mengatakan, berdasarkan Peraturan Menteri KLHK, produsen memiliki tanggung jawab memilih desain produk yang bisa diguna ulang dan didaur ulang, termasuk untuk tidak lagi menggunakan kemasan di bawah 1 liter.
“Mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menarik kembali produk-produk mereka pascakonsumsi,” kata Ujang.
Dalam Peraturan Menteri KLHK, pemerintah menargetkan menurunkan timbulan sampah hingga 30 persen pada 2029. Jalan menuju target itu ditempuh dengan mengurangi timbulan sampah, memanfaatkan kembali, dan mendaur ulang.
Salah satu cara mengurangi timbulan sampah adalah membatasi penggunaan kemasan minuman bervolume kurang dari 1 liter serta melarang penggunaan saset, sedotan plastik, dan kantong plastik, yang berlaku pada 1 Januari 2030.
“Peraturan itu berlaku untuk semua level produsen, baik besar maupun kecil. Dalam implementasinya, target utamanya adalah perusahaan-perusahaan besar karena merekalah kontributor terbesar sampah plastik," jelas Ujang Solihin. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh