jpnn.com, JAKARTA - Bambu merupakan sumber daya alam yang keberadaannya sangat dekat dan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu dalam pengembangan bambu perlu pendekatan pemberdayaan masyarakat menjadi aspek penting.
Untuk menggerakkan pengembangan bambu, KLHK kembali menyelenggarakan diskusi pojok iklim secara virtual dengan mengangkat tema “Bambu Penggerak Ekonomi dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup" baru-baru ini.
Kegiatan itu dalam rangka meningkatkan sinergitas program-program pemerintah lintas sektor untuk bisa mewujudkan pengembangan bambu yang terintegrasi sehingga menjadikan bambu sebagai penggerak ekonomi rakyat.
BACA JUGA: Perjuangan Ibu Mahuni Jaga Pasar Ekspor Kerajinan Bambu, Omzet Rp 20 Juta Per Bulan
Wakil Menteri LHK Alue Dohong dalam sambutannya menyampaikan bambu di Indonesia tidak hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga bernilai ekologi, budaya, religi bahkan perjuangan.
Alue mengatakan bambu sangat strategis untuk dikembangkan menjadi sumber ekonomi baru sekaligus untuk perbaikan kualitas lingkungan hidup.
BACA JUGA: Petani Milenial Manfaatkan Akar Bambu jadi Zat Tumbuh
“Strategi dan Rencana Aksi Nasional Bambu telah disusun KLH untuk bisa dilihat kembali, diperbaharui dan disempurnakan. Pararel, kami kembangkan hulu, tengah dan hilirnya dengan terus mendorong kegiatan penanaman sebagai kontinuitas dari industri bambu tersebut," jelas Alue.
Pada diskusi pojok iklim ini, Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur NTT Josef Nae Soi menyampaikan kebijakan dan program pemerintah provinsi NTT dalam pengembangan bambu untuk penghijauan dan kemajuan ekonomi masyarakat.
Josef menjelaskan dari sudut budaya bambu berhubungan erat dengan tradisi dan ritual masyarakat. Selain itu, bambu menjadi lambang seorang yang bekerja keras.
Dia menerangkan dengan contoh seorang pemuda yang ingin melamar seorang gadis, harus bisa memotong bambu kering di tengah bambu basah.
Sementara itu, dari segi kebudayaan, bambu juga bisa dijadikan alat musik. Dari sudut ekologis, bambu bisa meningkatkan volume air bawah tanah, konservasi lahan dan perbaikan lingkungan.
Dari sudut ekonomis, bambu bisa dijadikan sebagai bahan bangunan, transportasi, kuliner, alat musik, alat-alat rumah tangga, dan bahkan pengobatan.
“Kebijakan Pengembangan Bambu oleh pemerintah provinsi NTT di antaranya memutuskan bambu sebagai salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Unggulan melalui Keputusan Gubernur No 404/KEP/HK/2018, menjadikan pengembangan bambu sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi NTT, menyiapkan anggaran, serta bekerja sama dengan multistakeholder," tambah Josef.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Yayasan Bambu Lestari Monica Tanuhandaru menyampaikan paparan tentang pengembangan desa bambu dalam mendukung industri bambu terintegrasi.
Dia menjelaskan model desa bambu yang dikembangkan adalah model agroforestri dengan memilih lokasi yang sudah memiliki bambu, lokasi yang bersebelahan dengan desa bambu atau lokasi yang baru mulai menanam dan sama sekali belum memiliki bambu.
“Proses yang paling penting adalah membuat peta jalan, bagaimana mencapai target 1000 desa bambu dan bagaimana menggerakan dana publik, baik dana Kementerian/sektoral, dana pemerintah daerah bahkan pemerintah desa. Kalau sudah menjadi program strategis dan mainstream, desa dapat mengalokasikan dana dengan memperkuat fasilitator desa melalui pengetahuan bambu, memasukan bambu dalam perencanaan desa, serta memasukan bambu sebagai bagian dari tugas mereka dengan ikut menanam dan memelihara bambu,” ujar Monica.
Selain itu, Peneliti Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang dan Inovasi KLHK, I. M. Sulastiningsih menyampaikan bahwa saat ini pemanfaatan bambu di Indonesia masih terbatas sehingga diversifikasi produk pengolahan bambu perlu ditingkatkan dengan menghasilkan produk rekayasa bambu berupa bambu lamina yang dapat digunakan sebagai bahan substitusi kayu.
“Pengembangan industri bambu lamina harus didukung oleh kebijakan pemerintah secara terpadu dalam menyediakan bahan baku secara berkesinambungan,” terang Sulastiningsih.
Kemudian, Ketua Kelompok Peneliti Etnobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wawan Sujarwo, menyampaikan mengenai peran bambu dalam Jasa Lingkungan dan Pelestarian Alam.
Menurutnya, bambu merupakan salah satu jenis tumbuhan yang paling toleran terhadap habitat, mampu tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi.
Potensi bambu dalam hal jasa lingkungan sangat menjanjikan, khususnya air dan karbon. Banyak komunitas masyarakat lokal yang mengakui bahwa menanam bambu sama halnya dengan menampung air.
Selain itu, sudah banyak kajian ilmiah yang membahas potensi hutan bambu untuk menyerap dan mengendapkan CO2.
Wawan menekankan perlunya menyatukan persepsi dari semua stakeholder (akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas, dan bahkan media) bahwa bambu sangat potensial dalam aspek jasa lingkungan.
Persamaan persepsi dapat dituangkan dalam bentuk regulasi untuk menunjang aksi nyata bahwa payment for ecosystem services harus dapat diimplementasikan di Indonesia dengan mekanisme yang tidak begitu rumit, sehingga pemilik hutan bambu baik itu masyarakat (petani, swasta) bahkan negara sekalipun dapat memperoleh bayaran dari nilai jasa lingkungan yang telah diberikan hutan bambu.
Dalam testimoninya mengenai Bambu Indonesia dahulu dan harapan masa depan, Sesepuh Bambu Indonesia, Abah Jatnika Nanggamiharja menyampaikan bahwa bambu adalah gambaran panjang umur dengan kelenturannya, suaranya, serta kemampuannya menghasilkan oksigen, menyimpan air, dan menahan tebing. Abah menggambarkan bahwa sejak lahir manusia menggunakan komponen bambu dalam kehidupan sehari-hari. Abah juga menjuluki Indonesia sebagai negara budaya bambu.
Sebagai penutup, Ketua Dewan Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Sarwono Kusumaatmadja menjelaskan bahwa banyak hal yang akan menjadi bahan kebijakan tentang pemanfaatan bambu.
Saat ini adalah waktu yang tepat di mana pemerintah sedang menyusun regulasi tentang ekonomi rendah karbon serta menyusun acuan untuk memberikan insentif bagi upaya-upaya rendah karbon.
Sarwono mengatakan bahwa yang dapat memberikan hasil lebih cepat salah satunya adalah bambu. Bambu merupakan kunci untuk menemukan kembali kemakmuran bersama.
Diskusi yang dipandu oleh Project Coordinator Kanoppi-2 Bamboo Agroforestry kerjasama ICRAF-ACIAR, Desy Ekawati ini dihadiri oleh 370 peserta yang terdiri dari Kementerian/Lembaga, organisasi non-pemerintah, perguruan tinggi, sektor privat dan individu. (jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia