jpnn.com - Kementerian Lingkungn Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut Danau Toba sebagai salah satu dari 15 danau prioritas nasional yang akan direhabilitasi dan dipulihkan. Pemerintah bahkan secara serius memikirkan rehabilitasi danau ini, hingga akhirnya pada 2016 pemerintah membentuk Badan Otorita Danau Toba dan berniat menjadikan Danau Toba sebagai destinasi wisata internasional seperti halnya Pulau Bali.
Usaha mengelola Danau Toba bukanlah perkara yang mudah, karena ada tujuh kabupaten mendiami kawasan tangkapan air danau ini, yaitu Kabupaten Simalungan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Dairi, Kabupateb Karo dan Kabupaten Samosir. Dengan kata lain, danau ini menjadi penopang hampir setengah kawasan Sumatera Utara. Tujuh bupati kawasan ini jugalah yang dahulu ikut menandatangai Rencana Aksi Penataan Danau Toba.
BACA JUGA: Terkait Pernyataan Greenpeace Soal Deforestasi, Begini Respons KLH
Masa Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo merasa perlu melakukan percepatan-percepatan pengelolaan dan perbaikan kawasan Danau Toba, termasuk dalam pengendalian dan pengelolaan pencemaran air di kawasan ini.
Pada Jumat (9/8) lalu, Komisi D DPRD Sumatera Utara, Bupati Karo Trakelin Brahmana, Bupati Simalungun, Kadis Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara, dan Ormas Horas Bangso Batak (HBB), serta WALHI Sumatera Utara, melakukan audiensi bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang diterima oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat Djati Witjaksono Hadi, Sekretaris Direktorat Jenderal PDASHL Yuliarto Joko Putranto, Direktur Pengendalian Pencemaran Air Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Luckmi Purwandari, Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan Darat (PKPD) Dirjen PDASHL Sakti Hadengganan H. dan Direktur Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi Dirjen Penegakkan Hukum LHK Sugeng Priyanto.
BACA JUGA: KLHK Bantah Tudingan Greenpeace Terkait Deforestasi Indonesia Buruk
BACA JUGA: KLHK Bantah Tudingan Greenpeace Terkait Deforestasi Indonesia Buruk
Dalam audiensi itu, Ketua HBB Luckmi menyatakan keinginan untuk diterapkannya “Zero Keramba Jaring Apung/Zero KJA” di kawasan Danau Toba.
BACA JUGA: Menteri Siti Nurbaya: Presiden Jokowi Menyayangi Masyarakat Hukum adat
Menurut Luckmi, pencemaran Danau Toba sesuai hasil penelitian KLHK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berasal dari rumah tangga, hotel, dan peternakan, dan ini merupakan tanggung jawab pemerintah daerah untuk melaksanakan pengendalian pencemaran tersebut.
"Sejak wacana rehabilitasi Danau Toba digaungkan, KLHK telah melakukaan pemetaan potensi kebutuhan pegelolaan limbah (IPAL), bahkan telah mengeluarkan perintah kepada pengelola hotel-hotel di kawasan tersebut untuk mengelola limbah hotelnya. Tindakan ini juga ditindaklanjuti dengan pembangunan dua unit IPAL dan dua alat monitoring air danau otomati onlimo di Danau Toba," sebut Luckmi.
Luckmi menambahkan, penyelesaian “Zero KJA” memang bisa membantu mengurangi pencemaran air Danau Toba, namun juga tidak mampu membantu lumpuhnya ekonomi masyarakat sekitar Danau Toba yang bergantung pada Kerambah Jaring Apung (KJA) dalam waktu yang cepat. "Sehingga, perlu adanya penyelesaian yang menyeluruh dalam penanganan Danau Toba", lanjut Luckmi.
Dalam audiensi ini, KLHK menyampaikan bahwa ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan dalam penanganan pengendalian pencemaran air di badan air Danau Toba. Pertama menurunkan produksi ikan dari KJA secara bertahap oleh semua kegiatan KJA hingga total 10.000 ton ikan per tahun, dengan waktu penurunan produksi yang dipercepat, salah satunya dengan menurunkan produksi hanya sampai tahun 2021 atau bahkan 2020. Hal ini dilakukan, untuk memberi kesempatan kepada pihak yang memiliki ketergantungan terhadap KJA melakukan pergeseran aktivitas ekonomi (shifting economy).
Kedua membuat zonasi secara lebih detail untuk tiga kegiatan utama yaitu pariwisata, pemanfaatan sumber air bersih, dan budidaya KJA. Dengan cara memindahkan lokasi pengambilan air bersih dan KJA dari zona pariwisata sehingga tidak ada tumpang tindih pemanfaatan dari tiga kegiatan utama tersebut. Lalu yang ketiga zero budidaya KJA.
KLHK juga menyatakan semua alternatif tersebut memiliki kelebihan dan konsekuensi lanjutannya, sehingga pernyataan “Zero KJA” merupakan sebuah tindakan yang paling terakhir yang dapat dilakukan dalam penyelamatan Danau Toba.
KLHK juga melihat bahwa permohonan audiensi ini, bukanlah permohonan yang final dari seluruh pemerintah daerah di wilayah Danau Toba, hal ini dikarenakan tidak hadirnya Kepala Daerah Kabupaten Samosir, Kabupaten Tobasa dan Kabupaten Simalungan, padahal diketahui bahwa aktivitas KJA yang terbesar adalah di tiga kawasan tersebut, sehingga permohonan ini dianggap tidak memenuhi kourum oleh KLHK. Namun, KLHK berjanji akan tetap melakukan penelitian-penelitian untuk mencari kemungkinan dari berbagai masukan yang diterima saat audiensi tersebut.
Direktur PKPD Sakti menambahkan bahwa dalam rencana pengelolaan Danau Toba telah ada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, sehingga menanganan pencemaran air Danau Toba tidak bisa ditangani oleh Kementerian LHK saja.
"Sampai dengan akhir pertemuan tidak ada kesepakatan bersama antara KLHK dengan DPRD Sumatera Utara dan ormas untuk Zero Jaring Apung di Danau Toba, juga tidak ada kesimpulan Kementerian LHK setujui penutupan Aquafarm dan JAPFA,” tandas dia. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri Siti: Presiden Jokowi Sangat Mencintai Masyarakat Hukum Adat
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan