jpnn.com, JAKARTA - Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno, menegaskan tidak ada privatisasi dalam pembangunan wisata alam di Taman Nasional Komodo (TNK).
Wiratno menjelaskan, yang ada adalah pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Sarana Wisata Alam (IUPSWA), di mana ada hak dan kewajiban serta sanksi apabila ada pelanggaran dari pemegang izin.
BACA JUGA: Komentar Bang Hotman Soal Kasus Video Luna Maya dan Cut Tari
“Dalam pengembangan wisata alam di taman nasional, tentu diperlukan bangunan sarana dan prasarana untuk mendukung kunjungan wisatawan, seperti toilet, tempat makan, dan lain-lain. Untuk itu, pengembangan pariwisata alam diperbolehkan, tapi hanya di zona pemanfaatan, dan harus melibatkan masyarakat sekitar," tegas Wiratno saat memberikan keterangan pers di Jakarta (9/8).
Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur memiliki satu-satunya hewan purba yang masih tersisa, yaitu komodo.
BACA JUGA: Luna Maya dan Cut Tari Bakal Diperiksa Polisi Lagi?
TN seluas 173.300 ha ini meliputi wilayah daratan dan perairan, dan dikelola berdasarkan zonasi, yaitu: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona khusus dan zona perlindungan bahari.
Pada wilayah daratan, 70 persen merupakan ekosistem savana dan habitat komodo. Dari 146 pulau terdapat delapan pulau terfavorit kunjungan wisatawan yaitu Pulau Padar, Pulau Komodo, Rinca, Pulau Gili Lawa Daratan, Pulau Gili Lawa Lautan, Pulau Kambing, Pulau Kalong, dan Pink Beach di Pulau Komodo.
BACA JUGA: Luna Maya dan Cut Tari Diminta Ajukan Praperadilan Sendiri
Pengunjung TNK saat ini mencapai 120 ribu orang per tahun atau sekitar 10 ribu orang per bulan yang perlu mendapatkan keamanan, kenyamanan, dan kepuasan saat berwisata, yang perlu didukung sarana dan prasana (sarpras).
“Kunjungan wisata tersebut berkontribusi menyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 29 miliar rupiah per tahun, imbuh Wiratno.
Saat ini terdapat dua Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) di TNK yaitu PT. SKL di Pulau Rinca dan PT. KWE di Pulau Komodo dan Pulau Padar. PT. SKL diberikan IUPSWA di Pulau Rinca akhir 2015 lalu, seluas 22,1 Ha atau 0,1% dari luas Pulau Rinca 20.721,09 Ha.
Sementara yang diizinkan untuk pembangunan sarpras maksimal 10 persen dari luas izin yang diberikan atau hanya seluas 2,21 Ha.
PT. KWE mendapat IUPSWA di Pulau Komodo dan Pulau Padar pada September 2014, seluas 426,07 Ha.
Terdiri atas 274,13 Ha atau 19,6% dari luas Pulau Padar (1.400,4 Ha) dan 151,94 Ha atau 0,5% dari luas Pulau Komodo (32.169,2 Ha). Sarpras yang bisa dibangun sekitar 42,6 Ha.
Terkait areal usaha, kata Wiratno, kedua izin ini berada di ruang usaha pada Zona Pemanfaatan.
Prosedur penerbitan izin kedua perusahaan tersebut juga sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana disyaratkan dalam aturan pembangunan dan pengembangan rencana pengelolaan tidak boleh mengganggu lintasan komodo dan sarangnya.
Wiratno menambahkan kedua perusahaan tersebut dalam hal pembangunan fisik seperti bangunan, sudah menggunakan konsep kearifan lokal dan ramah lingkungan baik dari segi material maupun tata cara pelaksanaannya.
"Mereka menggunakan bahan bangunan material bambu dari Bajawa, menggunakan solar panel dan konsep zero waste. Pada saat ini kedua perusahaan tersebut masih dalam proses pembangunan konstruksi, dengan terus dimonitor oleh KLHK", pungkasnya.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Luna Maya Keberatan Kasus Video Panasnya Dipraperadilankan
Redaktur & Reporter : Natalia