jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum DPP KNPI Haris Pertama memandang RUU Kesehatan berpotensi menghilangkan peran organisasi profesi kesehatan yang selama ini sudah banyak membantu pemerintah, terutama dalam menghadapi Covid-19.
Hal itu disampaikan Haris saat diskusi RUU Kesehatan di DPP KNPI Bidang Kesehatan di Tebet, Jakarta Selatan, pada Rabu (14/6).
BACA JUGA: DPR Diminta Hapus Pasal Tembakau dari RUU Kesehatan
Menurutnya, pemerintah tak boleh menghilangkan jejak sejarah bahwa ada 700 tenaga kesehatan menjadi korban pada masa pandemi karena menjadi garda terdepan.
Padahal, organisasi profesi kesehatan merupakan produk reformasi yang dimana merupakan mitra pemerintah sekaligus menjadi Civil Society dalam bidang terkait.
BACA JUGA: Ahli Hukum Tata Negara Kritisi RUU Kesehatan: Jangan untuk Mendulang Keuntungan
"Di setiap kebijakan dan regulasi yang di ambil pemerintah serta DPR, minimnya keterlibatan serta masukan wadah organisasi kesehatan terkait dalam penyusunan RUU Kesehatan Omnibus Law mengakibatkan penolakan tenaga kesehatan atas RUU tersebut," beber Haris dalam keterangan di Jakarta, Kamis (16/5).
Haris menyebut pasal RUU Kesehatan tidak sesuai kepentingan masyarakat dan merugikan hak-hak tenaga kesehatan.
BACA JUGA: APTI Minta Pasal Tembakau dalam RUU Kesehatan Dicabut
Dia juga menilai era saat ini banyak kebijakan yang menghilangkan peran organisasi profesi.
"Pembelahan dan penghapusan banyak wadah organisasi di era ini terburuk setelah reformasi yang memberikan kebebasan dalam berorganisasi dan berserikat, bahkan lebih buruk dari Orde Baru yang hanya menerapkan asas tunggal," beber Haris.
Ketua Umum PB IDI dr. Adib Khumaidi menyampaikan RUU Kesehatan banyak merugikan hak tenaga kesehatan.
Sebab, nakes sebagai stakeholder tidak di libatkan dalam penyusunan RUU Kesehatan, sehingga penyusunan RUU itu bersifat esklusif.
"Berdasarkan kepentingan para oligarki kesehatan, dampaknya merugikan masyarakat dan dunia kesehatan Indonesia, RUU ini sangat sentralistik padahal kita sudah di era desentralisasi ungkapnya," beber Adib.
Selain itu, keterlibatan tenaga kesehatan asing di sektor kesehatan Indonesia justru berbalik dengan iklim berbagai negara di dunia lain.
Ke depan, kata Adib tenaga kesehatan asing akan dipermudah.
"Di negara lain, jutsru tenaga kesehatan asing tak dilibatkan," ungkap Adib.
Ketua MKI Bung Joni mengungkapkan RUU Kesehatan cacat hukum, karena di mata MK keseluruhan UU Omnibus Law sudah dinyatakan cacat hukum bersyarat.
Rakyat, kata Joni, sudah menang 3 kali dalam sidang MK terkait UU Omnibus Law ini.
"Sehingga kita sekarang berjalan dengan PERPU, dan di kembalikan ke DPR RI dengan tidak banyak perubahan dan minimnya keterlibatan Perwakilan masyarakat Indonesia, seperti dunia kampus dan organisasi – organisasi terakait," kata Joni.
Ketua Umum REKAN Agung Nugroho menyampaikan RUU Kesehatan ini sejak awal diajukan banyak terdapat kontroversi.
Namun, DPR dan pemerintah tetap memaksakan agar RUU ini bisa menjadi UU.
"Rakyat sedang berhadapan dengan rezim bergaya kerajaan dan lebih mirip dengan gaya kepemimpinan Raja Amangkurat, di mana semua pihak yang menghalangi keinginan sang raja akan ditumpas kelor," kata Agung.
Agung pun mencurigai ada kepentingan dari RUU Kesehatan yang merupakan bagian dari UU Omnibus Law.
"Ini adalah demi memfasilitasi kepentingan pemodal yang berniat mengeruk keuntungan dari bisnis Kesehatan di Indonesia. Mulai dari jasa nakes, alkes, farmasi, dan lain-lain," ungkap Agung.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul