jpnn.com, JAKARTA - Ketua Centra Initiative Al Araf yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil menyoroti penegakan hukum di internal TNI setelah Mayor Dedi Hasibuan dikembalikan ke kesatuannya di Kodam Bukit Barisan.
Mayor Dedi sempat ditahan oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI setelah aksinya mendatangi Polrestabes Medan viral di media sosial.
BACA JUGA: Pomdam I/Bukit Barisan Masih Memeriksa Mayor Dedi Hasibuan
Namun, pada Senin (14/8) lalu, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen Hamim Tohari menyampaikan tidak menemukan unsur pidana dari tindakan Mayor Dedi Hasibuan.
"Kami memandang, hasil proses penyelidikan Puspom TNI dan Puspomad yang tidak memproses pidana Mayor Dedi makin menegaskan bahwa mekanisme penegakan hukum oleh internal TNI sudah seharusnya direformasi," ucap Al Araf melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (15/8).
BACA JUGA: Misteri Suara Dentuman di Sumenep, BMKG Kantongi Data Seismograf
Hal itu merupakan pandangan koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Imparsial, PBHI, Kontras, Centra Initiative, Elsam, Forum de Facto, HRWG, Setara Institute.
Al Araf mengatakan sudah saatnya Aparat TNI sebagai alat pertahanan negara diposisikan setara di mata hukum tanpa ada pengistimewaan dalam hal pelanggaran pidana umum sebagaimana warga negara Indonesia lainnya.
BACA JUGA: TNI Perangi Mafia Perdagangan Orang dan Kegiatan Ilegal Antarnegara
Dia menilai pengistimewaan bagi aparat TNI yang melanggar hukum dengan diproses oleh sesama aparat TNI lainnya terbukti melanggar Pasal 27 Ayat 1.
Pasal tersebut berbunyi; "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".
"Terlebih lagi, dalam beberapa kasus terbukti tidak memberikan keadilan dan justru malah menjadi sarana impunitas untuk melindungi sesama anggota TNI," lanjut Al Araf.
Al Araf menuturkan bahwa tindakan Mayor Dedi yang datang beramai-ramai dan menggeruduk Mapolrestabes Medan untuk memengaruhi jalannya proses hukum tidak hanya telah menyalahi kewenangannya.
"Namun, itu juga bentuk nyata intimidasi terhadap penyidik dan karenanya merupakan sebuah tindakan obstruction of justice," ujar Al Araf.
Dia menerangkan bahwa tindakan Mayor Dedi di luar dari kewenangannya sebagai aparat TNI dan tidak memiliki dasar hukum.
Al Araf menyitir penjelasan Kababinkum dalam konferensi pers Mabes TNI pada 10 Agustus 2023 yang menyebut kewenangan pemberian bantuan hukum oleh TNI didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1971.
Pernyataan itu dinilai Al Araf keliru, karena SEMA No. 2 Tahun 1971 justru sebenarnya melarang prajurit TNI menjadi penasihat hukum di Pengadilan Umum, kecuali atas izin khusus dari atasannya dan memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 1952 yang sejatinya telah berulang kali dicabut.
Dia mengatakan PP No. 12 tahun 1952 telah dicabut melalui PP No. 6 tahun 74, yang juga telah dicabut melsaui PP No. 53 tahun 2010, yang juga telah dicabut melalui PP No. 94 tahun 2021.
"Di mana dalam PP No. 94 tahun 2021 tidak ada lagi pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 2 tahun 1971. Atas dasar itu, sesungguhnya argumentasi Kababinkum yang bersandar pada pada SEMA No. 2 tahun 1971 sudah kehilangan pijakan hukumnya," tutur AL Araf.
Selain itu, dia berpendapat bahwa aturan hukum tentang pemberian bantuan hukum yang salah satunya diatur melalui SEMA No. 2 tahun 1971 sudah disempurnakan melalui berbagai aturan perundang-undangan, salah satunya adalah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
UU Advokat menyatakan pemberi bantuan hukum atau pendamping hukum atau advokat tidak boleh berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Sementara dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 92 Ayat (3), "Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat”.
"Merujuk pada UU Advokat, sebenarnya prajurit TNI aktif tidak dapat menjadi pendamping hukum atau advokat," kata Al Araf.
Berikutnya, Centra Initiative memandang tindakan Mayor Dedi datang beramai-ramai beserta anggotanya menggeruduk Polrestabes Medan merupakan bentuk intimidasi dan mengarah pada pelanggaran pidana berdasarkan Pasal 335 Ayat (1) KUHP Jo Putusan MK No. 1/PUU-XI/2013.
Ketentuan di atas menyatakan "Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain".
Berdasarkan pasal tersebut, kata Al Araf, sudah seharusnya perbuatan yang dilakukan oleh Mayor Dedi patut diduga sebagai perbuatan pidana.
"Penalaran hukum yang wajar atas kasus Mayor Dedi bukannya dihentikan prosesnya, akan tetapi justru seharusnya naik ke tingkat penyidikan untuk menemukan tersangka dan alat buktinya," tutur AL Araf.
Sebaliknya, Al Araf mengatakan keputusan Puspom TNI dan Puspomad yang tidak memproses pidana Mayor Dedi akan dianggap sebagai pembenaran atas aksi intimidasi oleh oknum prajurit TNI terhadap proses hukum di masa datang yang seharusnya dicegah keberulangannya oleh institusi TNI.
Oleh karena itu, Centra Initiative mendesak Presiden sebagai otoritas tertinggi memerintahkan Panglima TNI untuk mengevaluasi proses hukum yang dilakukan oleh Puspom TNI dan Puspomad.
Kemudian, Presiden segera melakukan reformasi hukum di lingkungan TNI guna memastikan keadilan dan mencegah impunitas dengan merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer yang telah mengacaukan criminal justice system Indonesia.
"Meminta Panglima TNI memiliki ketegasan dalam melarang anggota TNI untuk bertindak sebagai advokat di peradilan umum dan jika terjadi pelanggaran atau penyimpangan peran TNI harus ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku," ujar Al Araf.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam