Sekitar 2.000 warga Distrik Aifat, Kabupaten Maybrat, Papua Barat, mengungsi ke hutan dan ke kampung-kampung tetangga yang terdekat.
Mereka mengungsi mencari perlindungan setelah kontak tembak antara Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua Barat dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
BACA JUGA: Putra Agung Laksono Punya Info soal Pejabat Bantu Separatis Teroris di Papua
Adanya gelombang pengungsi ini didokumentasikan dan dilaporkan secara terperinci oleh sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat.
Dalam laporan tersebut, Koalisi memperkirakan 2.086 warga dari 10 kampung masih mengungsi setelah serangan terjadi di Kampung Kisor.
BACA JUGA: Diduga jadi Pemasok Senjata KBB, Oknum ASN Masih Diperiksa Polisi
Pos Koramil Persiapan di Kampung Kisor diserang sekelompok orang pada 2 September 2021, menewaskan empat orang prajurit TNI dan melukai dua lainnya.
Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom menyatakan pihaknya bertanggung jawab atas serangan itu.
BACA JUGA: Janji Manis Tiongkok soal Pelestarian Lingkungan, Perlukah Dipercaya?
Pasukan TNI/Polri pun menggelar operasi untuk mengejar para pelaku.
Pastur Bernardus Bovitwoss Baru dari dari Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Ordo Santo Augustinus, yang menjadi bagian dari Koalisi mengatakan, sampai hari Kamis ini (16/09) ribuan pengungsi masih bertahan di pengungsian, baik di hutan atau di kampung-kampung lain.
"Ada warga sudah sempat sampai di ibukota kabupaten Maybrat, tapi mereka masih merasa tidak aman dan mengungsi lagi karena aparat melakukan penyisiran dan cek KTP marga-marga (nama keluarga) yang terlibat dan sudah DPO," kata Pastur Bernardus kepada wartawan ABC Indonesia, Hellena Souisa.
Pekan lalu, Polres Sorong Selatan menetapkan 17 nama masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terkait penyerangan Pos Koramil Kisor, di Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat.
Pastur Bernardus menambahkan kini yang menjadi kebutuhan mendesak bagi para pengungsi adalah bahan makanan.
"Ini sudah beberapa hari mereka mengungsi di tempat-tempat yang sulit, mungkin bahan makanan mulai menipis, kami khawatir mereka akan jatuh sakit."
Pastur Bernardus mengatakan, Koalisi akan mendatangi kampung-kampung yang ditinggalkan untuk melihat situasi di sana.
"Banyak orang tua (lansia) yang karena tidak kuat jalan jauh, tidak ikut mengungsi, jadi kami mau melihat langsung kondisi mereka bagaimana," kata Pastur Bernardus.
Ia juga mempertanyakan sikap Bupati Maybrat Bernard Sagrim, yang menolak bantuan dari berbagai pihak baik berupa barang maupun uang dengan alasan bahwa ini menjadi "tanggungan Pemerintah Daerah dan untuk menjaga harga diri orang Maybrat."
"Ini argumentasinya yang tidak sesuai dengan realitas, karena menurut saya ini tidak benar. Kondisinya banyak orang mengungsi yang perlu dibantu," katanya.
"Pemerintah sudah bantu sejauh mana? Kan tidak ada laporan tentang bantuan pemerintah, Maybrat khususnya." Mengungsi karena belajar dari pengalaman di daerah lain di Papua
Fredrika Korain, aktivis hak asasi manusia asal Maybrat yang kini bermukim di Jayapura mengatakan ia sempat berkomunikasi dengan keluarganya di Maybrat yang menyampaikan kekhawatiran mereka dengan insiden tanggal 2 September kemarin.
"Mereka mulai merasa tidak nyaman, mereka yang biasanya pergi ke kebun setiap hari mulai menahan diri untuk beraktivitas jauh dari rumah karena takut berhadapan dengan masalah kalau ada operasi dari aparat keamanan."
Fredrika menilai, mengungsi adalah pilihan yang terpaksa dilakukan oleh warga di beberapa distrik di Maybrat setelah warga telah belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya.
"Internet sudah masuk sampai kampung-kampung di Maybrat dan masyarakat mengikuti perkembangan, apa yang terjadi di wilayah Papua yang lain misalnya konflik di Puncak, Intan Jaya, dan Nduga beberapa tahun terakhir."
"Mereka melihat bagaimana dalam kejadian-kejadian ini biasanya ada pembalasan yang membabi buta terhadap warga kampung yang notabene tidak tahu persoalan," kata Fredrika.
Pertimbangan keselamatan inilah, menurut Fredrika, yang membuat warga Maybrat memilih mengungsi.
Sementara itu, Kepolisian Daerah (Polda) Papua Barat memastikan peningkatan aparat TNI dan Polri di wilayah Kabupaten Maybrat setelah insiden 2 September bukanlah sebuah operasi militer, melainkan tugas penyelidikan dan pengejaran pelaku kriminal.
"Tim gabungan yang dikerahkan ke Maybrat untuk menyelidiki dan mengejar para pelaku kriminal penyerang pos persiapan Koramil Kisor," kata Kabid Humas Polda Papua Barat Kombes, Adam Erwindi kepada Tempo, Minggu lalu (12/09).
Selain itu, Kepala Penerangan Kodam XVIII Kasuari Kolonel Hendra Pesireron juga telah mengatakan TNI-Polri menjamin keamanan masyarakat sipil di Papua Barat.
"Masyarakat diimbau kembali ke perkampungan, karena tim gabungan hanya cari pelaku penyerang Pos koramil, bukan menakut-nakuti masyarakat ataupun salah sasaran," ujar Hendra.
Dalam laporannya, Koalisi Masyarakat Sipil juga memberikan beberapa poin rekomendasi, salah satunya meminta beberapa lembaga Hak Asasi Manusia, seperti Komnas HAM atau Amnesty International Indonesia, agar turut terlibat mengadvokasi warga korban kekerasan aparat dan para pengungsi.
Mereka juga mendesak Pemerintah Indonesia menghentikan operasi militer dan memantau perkembangan Hak Asasi Manusia khususnya para pengungsi Maybrat. Amnesty International Indonesia: Perkataan saja tidak cukup
Menanggapi seruan ini, Novel Matindas, campaign coordinator Amnesty International Indonesia mengatakan, pihaknya telah meminta Pemerintah Indonesiadan TNI harus memastikan operasi keamanan di Maybrat, Papua Barat, tidak menimbulkan korban masyarakat sipil.
"Usaha untuk mencari pelaku yaitu TPNPB, yang sudah mengaku bertanggung jawab, seringkali diikuti oleh ekses-ekses lain seperti penangkapan paksa, pencarian paksa dalam rumah penduduk, intimidasi, dan juga hal-hal yang membuat masyarakat tidak aman dengan kehadiran aparat keamanan," tambahnya.
"Kalau aparat keamanan tidak menciptakan rasa aman, apa artinya mereka hadir di situ?"
Novel menambahkan, walau pihak aparat TNI mengatakan untuk tidak perlu takut karena mereka hanya ingin mencari pelaku, itu saja tidak cukup.
"Harus dengan tindakan juga, jangan hanya dengan perkataan, tapi di lapangan terjadi intimidasi misalnya 'ayo kalian kalau tidak menyerahkan para pelaku, kami akan mengangkap kalian' seperti itu."
Untuk itu, kata Novel, Amnesty telah meminta Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga merasa aman dan terlindungi, serta mendapat akses bantuan kemanusiaan.
"Sebagaimana yang diatur dalam Guidance Principle yang disahkan pada tahun 1998, dinyatakan bahwa para pengungsi berhak untuk merasa aman dan mendapat bantuan kemanusiaan seperti makanan, obat-obatan, dan shelter."
"Kami menyerukan ini pada pemerintah agar memberi kepastian ini, termasuk pemerintah kabupaten Maybrat."
Ini bukan untuk pertama kalinya warga di Papua terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka tanpa kepastian kapan akan kembali.
Beberapa tahun lalu warga di daerah Nduga dan Timika, dan juga tahun ini di daerah Intan Jaya mengungsi sebelum insiden di Kisor, Maybrat.
Awal pekan kemarin Bupati Maybrat Bernard Sagrim meminta warga pulang ke rumahnya masing-masing.
“Bagi masyarakat yang akan kembali ke rumah akan difasilitasi oleh pemerintah. Untuk itu akan didata siapa saja yang akan kembali,” terangnya.
Namun menurut Koalisi, sampai berita ini diturunkan belum ada warga yang kembali.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lari ke Makanan Sebagai Cara Mengatasi Kebosanan Saat Lockdown? Anda Tak Sendirian