Koalisi Merah Putih Diprediksi Hanya Sisa Gerindra dan PKS

Jumat, 08 Agustus 2014 – 01:17 WIB
Prabowo dan parpol pendukung yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Foto: Dok JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Meski masih menghadapi gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), namun kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla tetap meyakini bisa sah menjadi pemenang pemilu presiden 2014. Bahkan, pasca keputusan sidang akhir MK pada 22 Agustus nanti, Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo Hatta akan bubar dan bergabung dengan pendukung pasangan nomor urut 2 itu.

"Kalau MK sudah putuskan pasti semuanya akan mencoba untuk berlomba-lomba untuk bergabung ke pemerintahan yang ada. Jadi saya tidak terlalu khawatir dengan itu," kata politisi PDIP Pramono Anung di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, kemarin (7/8).

BACA JUGA: Seluruh Komisioner KPU Siap Hadiri Sidang MK dan DKPP

Wakil Ketua DPR RI ini juga yakin bahwa rakyat sudah menentukan pilihan. Oleh karenanya, menurut dia, tak perlu lagi membentuk pansus Pilpres.

"Sehingga dengan demikian saya menganggap terlalu berlebihan, dan rakyat sudah memutuskan, rakyat sudah membuat," kata Pramono.

BACA JUGA: Prabowo: Kita Tidak Boleh Benci Orang Asing

Sementara menurut pengamat komunikasi politik Universitas Tarumanegara, Jakarta, Eko Harry Susanto, keyakinan partai besutan Megawati Soekarno Putri bahwa KMP bisa bubar itupun sangat dimungkinkan, mengingat partai yang tergabung di KMP adalah partai yang terbiasa hidup sebagai partainya pemerintah, dan tidak pernah berada dalam posisi oposisi, terkecuali Gerindra.

Selain Gerindra, kata Eko, partai yang dimungkinkan juga mungkin tak bergabung ke kubu Jokowi adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mengingat ideologi partai ini yang agamis. Dan selalu berselisih paham dengan PDIP.

BACA JUGA: Mendagri Minta Kada Segera Antisipasi Berkembangnya Pengaruh ISIS

"Tampaknya PDIP punya keyakinan, bahwa KMP akan pudar. Mungkin saja tidak semua lepas dari Gerindra.Tapi yang potensial untuk menjauh adalah Golkar dan Demokrat. Sedangkan PAN dan PPP, perlu waktu cukup untuk lepas dari Gerindara," kata Eko, kepada Indopos (Grup JPNN), Kamis (7/8).

Menurutnya, tidak bisa diabaikan, bahwa secara historis, golkar tidak terbiasa berada di luar pemerintahan yang berkuasa. Selain itu, sangat masuk akal jika golkar juga mendukung kadernya, Jusuf Kalla  di tubuh pemerintahan Jokowi.

"Daripada menjadi oposisi untuk kadernya, tentu lebih ideal memberikan dukungan. Terlebih di pemerintahan nanti ada JK, yang juga kader inti Golkar," jelasnya.

Jika Golkar sudah ada dalam kubu Jokowi-JK, maka komposisi di Parlemen Senayan tidak perlu diragukan lagi jika menghadapi pengambilan keputusan yang didasarkan voting.

Sedangkan Demokrat, kata Eko, mungkin lebih memilih jalan moderat. Dengan dalih mendukung kebijakan yang pro rakyat bisa saja dalam bentuk koalisi semu yang tidak dilembagakan.

"Ini jalan penting bagi Demokrat, untuk kembali menarik simpati rakyat. Bahkan dalam posisi netral dan berpihak kepada rakyat, partai berlian biru ini bisa semakin mengkokohkan posisi SBY  sebagai orang kuat dalam peta politik Indonesia," ujarnya.

Tentang PAN  dan PPP, kata Eko, lambat laun juga akan mendukung program-program pro rakyat yang dilontarkan Jokowi-JK. Dua partai ini bisa saja masih dalam tubuh koalisi Prabowo-Hatta tetapi akan mengusung jargon pro rakyat dan menafikan harus selalu menentang program Jokowi-JK.

"Tidak bisa disangkal, di tubuh PPP ada faksi Suharso Monoarfa yang condong Jokowi. Di PAN, masih ada akar Soetrisno Bachir dan faksi-faksi yang dukung Jokowi. Namun, jika kita mencermati politik paternalistik, maka oposisi sulit untuk berkembang, karena ada kecenderungan bahwa rakyat dan parpol akan berupaya untuk mendekat kepada pemilik kekuasaan. Dengan kata lain, apa yang dikatakan Jokowi koalisi dengan rakyat, akan mungkin dipakai kedua partai ini," tuturnya.

Lebih dari itu, lanjut Eko, dalam pendekatan komunikasi politik yang berpijak kepada teori spiral keheningan, maka publik, rakyat hakekatnya merasa lebih nyaman ada dalam suara mayoritas.

"Pada konteks ini, tentu suara pemegang kekuasaan. Tentunya untuk idealnya dinamika politik, memang harus ada oposisi yang santun dan beradab demi menjaga demokrasi bernegara," bebernya. (dil)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Prabowo Diyakini Punya Bukti Intervensi Asing di Pilpres


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler