jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Zainul Abidin Sukrin menilai, segmen pemilih berdasarkan agama menguat sejak pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 lalu.
Potensi politik tersebut sampai saat ini masih terus dikapitalisasi sedemikian rupa oleh pihak tertentu, agar menjadi satu kekuatan politik utama di setiap pemilihan, termasuk Pemilu 2024 mendatang.
"Hal yang paling menarik untuk ditinjau, kekuatan politik agama yaitu pada pilpres 2019.
Segmen memilih karena agama atau sentimen agama cukup signifikan memberikan sumbangan suara," ujar Zainul dalam keterangannya, Jumat (30/4).
BACA JUGA: Begini Sikap Yusril soal Gagasan Penyatuan Partai Politik Islam
Terbukti, pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai petahana pada Pilpres 2019 lalu, kata Zainul, sedikit kewalahan melawan Prabowo-Sandiaga Uno yang mengkapitalisasi politik agama.
Bahkan, ketika memenangkan pemilu, Jokowi-Amin harus rekonsiliasi, atau mengajak Prabowo-Sandi masuk kabinet untuk menjalankan roda pemerintahannya.
BACA JUGA: PAN Enggan Bergabung untuk Wacana Partai Poros Islam, Ternyata ini Alasannya
"Karena sentimen agama merupakan satu kekuatan politik, maka dalam Pemilu 2024 akan kembali dijadikan senjata politik," ucapnya.
Direktur Eksekutif Politika Institute ini kemudian memperkuat argumentasinya dengan sejumlah fakta.
Antara lain, munculnya gagasan koalisi partai Islam di Pilpres 2024 yang diinisiasi oleh PKS dan PPP, serta didukung oleh PBB.
Dia menilai, dengan terbentuknya poros politik partai Islam, maka akan mengentalkan politik agama nantinya.
Zainul kemudian membeber terkait peluang dan tantangan partai Islam ke depan.
Menurutnya, sejak Pemilu 1955, partai Islam memiliki kelemahan bahkan menjadi aib politik.
"Aib dan kelemahan politik tersebut ialah tidak menyatunya sikap politik dari partai Islam," katanya.
Selain itu, antara elite partai juga cenderung memiliki sikap politik yang berbeda.
"Penyebabnya saya kira karena ideologi tidak dijadikan sebagai orientasi dan tujuan politik, tetapi kekuasaan dan kedudukan politik," katanya.
Zainul memprediksi, kelemahan tersebut telah mengakar dalam sejarah.
Oleh karena itu, menjadi tantangan yang cukup serius bagi koalisi politik Islam yang digagas oleh PKS, PPP, PKB, dan PBB saat ini.
Apalagi diketahui ada penolakan dari PAN, yang bisa dinilai sebagai bukti tidak satunya sikap politik.
"Kemudian munculnya partai Islam baru (Gelora, Partai Ummat, Partai Masyumi) semakin mengukuhkan perbedaan sikap politik partai Islam. Jadi, koalisi politik yang digagas partai Islam saat ini cenderung hanya koalisi semu. Persatuannya disatukan oleh kepentingan kekuasaan politik, bukan kepentingan ideologi," ucapnya.
Meski demikian, Zainul meyakini koalisi politik partai Islam tetap akan menjadi satu kekuatan politik.
Namun, peluang memenangkan pemilu cenderung sulit melihat kondisi yang ada.
"Untuk menguraikan kelemahan sekaligus tantangan politik, maka partai Islam harus menyatukan haluan dan orientasi politiknya terlebih dahulu. Ini syarat utama agar koalisi politik dapat memenangkan pemilu," katanya.
Jika itu dilakukan, maka bukan tidak mungkin nantinya partai Islam akan mengalami fusi partai, sehingga partai Islam tidak akan sebanyak sekarang ini.
"Tentunya, beberapa poin yang dimasukkan dalam manifesto politik partai Islam 2024 perlu meneguhkan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," pungkas Zainul.(gir/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang