Seperti Indonesia, Jepang adalah tanah rawan bencanaTetapi, ia membuktikan diri sebagai negara yang paling siap meminimalkan risiko
BACA JUGA: Merasakan Perayaan Idul Adha di Yangon, Myanmar
Ini laporan wartawan Jawa Pos SOFYAN HENDRA yang baru saja menyertai Wapres Budiono ke Kobe, Jepang.============================
PEMANDANGAN dari lantai 36 ANA Crowne Plaza, hotel mewah sekaligus landmark (tetenger/penanda) Kobe, meneguhkan kecantikan kota itu
BACA JUGA: Berkunjung ke Pulau Watakobi Bersama Dahlan Iskan
Diapit kaki Gunung Rokko plus segaris pantai, Kobe sungguh elok.Akashi Kaiko, jembatan yang menggantung di atas laut, makin meneguhkan kecantikan itu
BACA JUGA: Tri Joko Jackmania Rubiyanto, Juara Desain Aplikasi iPad Tingkat Dunia di Las Vegas
Kian bikin ayuBersanding dengan konstruksi bangunan gedung di dua kakinya, jembatan sepanjang 4 kilometer -sedikit lebih pendek ketimbang Jembatan Suramadu yang mengubungkan Surabaya dan Madura- itu terlihat menawanRasanya, sulit memercayai bahwa Kobe, kota indah itu, pernah dihajar gempa dahsyat 15 tahun silamKobe, gadis cantik itu, tidak punya noktah di wajahnya sebagai sisa gempa besar tersebut.
Gempa berkekuatan 7,3 skala Richter tersebut melenyapkan nyawa 6.434 orangSebanyak 43.792 orang luka-lukaGempa yang pusatnya hanya 16 kilometer dari permukaan bumi itu juga meluluhlantakkan 249.180 gedungKerugiannya USD 100 miliar (sekitar Rp 900 triliun)Wow!
Warga memang telah mengubur dalam-dalam kepedihan dan tragedi yang selalu membikin pilu tersebutNamun, Itu tidak berarti tidak ada kenangan tentang gempa yang lebih sering dijuluki The Great Hanshin-Awaji Earthquake ituTujuh tahun sejak gempa yang terjadi pada 17 Januari 1995 itu, tepatnya pada April 2002, Pemerintah Prefektur (Provinsi) Hyogo dan Pemerintah Jepang mendirikan Disaster Reduction and Human Renovation Centre (DRI)
Hingga kini, pusat penelitian dan pelatihan pengurangan risiko bencana tersebut menjadi yang terbesar di duniaMasyarakat umum juga bisa mengunjungi DRI yang juga lebih dikenal dengan museum gempa itu"Kami ingin membagi pengalaman mengenai bencana serta memetik pelajaran untuk masa depan yang lebih baik," kata Vice Executive Director DRI Takuya Hashimoto
Konsep DRI di Kobe itulah yang kini ditiru Indonesia dalam Museum Tsunami AcehPemerintah Indonesia berambisi mengemas Museum Tsunami Aceh sebaik museum DRI di KobeApalagi gempa dan tsunami Samudera Hindia yang melalap Aceh pada 2004 jauh lebih dahsyat daripada gempa Kobe 1995.
DRI Kobe memang mengemas kenangan gempa dengan cukup apikBegitu masuk museum gempa di DRI, para pengunjung memasuki ruang sempit berbentuk setengah lingkaranRuang itu mirip wahana simulator di Dunia Fantasi, Ancol, dengan layar penuh di depan pengunjung yang berdiri dengan berpegangan tangan di depannya
Setelah lampu dipadamkan, di situ, pengunjung bisa menyaksikan tayangan audio visual dramatisasi gempa KobeTayangan 15 menit itu menampilkan proses runtuhnya rumah-rumah penduduk, terlemparnya gerbong kereta api, tabrakan beruntun mobil di jalan raya, jembatan ambrol, hingga kebakaran di sudut-sudut kotaLampu-lampu kilat serta getaran di lantai menambah efek dramatis tayangan itu
Setelah dibawa untuk merasakan kedahsyatan gempa Kobe, pengunjung berjalan melewati diorama reruntuhan gempaLalu, pengunjung menyaksikan tayangan film berbahasa Jepang yang lebih menampilkan sisi humanisKali ini mereka menyaksikan sambil duduk seperti di bioskop biasaBagi pengunjung di luar Jepang, disediakan alat alih bahasa
Film pendek itu menampilkan kisah nyata seorang gadis 15 tahun yang selamat dari gempaDua orang tuanya selamatNamun, adiknya tidak tertolongGadis itu bercerita mulai dari terjadinya gempa, evakuasi, pengalaman di pengungsian, hingga proses bangkitnya kembali penduduk kota setelah trauma pascagempaGadis itu saat ini menjadi perawat.
Setelah menyaksikan film, pengunjung bisa melihat-lihat dokumentasi foto pascabencanaSelain foto, juga ada testimoni dari para korban, yang disimpan dalam komputer yang bisa diakses bebas pengunjungAda ratusan testimoni dari korbanSelain kesaksian tertulis, juga ada testimoni dalam bentuk videoKeseluruhannya bercerita tentang pengalaman para korban serta bagaimana bisa bangkit kembali untuk memulai hidup dengan normal.
Museum DRI memiliki 170 staf relawanSekitar 45 orang di antara mereka mengalami langsung The Great Hanshin-Awaji Earthquake ituSebanyak 50 orang di antara mereka merupakan interpreter bahasa Inggris, Tiongkok, Korea, dan SpanyolMuseum gempa Kobe didatangi tidak kurang dari 500 ribu pengunjung setiap tahunSebanyak 25 ribu orang di antara mereka berasal dari luar Jepang.
Pembangunan DRI menelan dana USD 50 miliar dan biaya tahunan hingga USD 9 miliarPemerintah Jepang tidak tanggung-tanggung dalam menopang riset ituHampir separo biaya disubsidi oleh pemerintah pusat.
Meski menjadi daya tarik utama DRI, museum gempa hanyalah salah satu di antara enam fungsi dari DRIHashimoto mengatakan, selain memamerkan museum, DRI juga mengoleksi dan memelihara semua dokumen terkait gempa KobeDRI mengoleksi 171.437 dokumentasi, baik berupa cerita, video, dan foto terkait gempa 1995Sebanyak 830 dokumentasi dipamerkan di museum"Kebanyakan dokumentasi disumbangkan oleh korban gempa," kata Hashimoto
DRI juga meneliti penanggulangan dan pengurangan risiko gempaDRI ditopang oleh sepuluh peneliti senior yang merupakan profesor dan praktisi berpengalaman di JepangPara peneliti senior itu juga ditunjang sejumlah periset mudaSpesialisasi keilmuannya tidak hanya ilmu alam seperti geologi dan vulkanologi, teknik sipil, sosiologi, ekonomi, dan sebagainya
Hashimoto mengatakan, DRI juga membuat pelatihan manajemen penanggulangan bencanaSelain itu, DRI melakukan asistensi terhadap proses tanggap darurat bencana di sejumlah tempat
Tidak lupa, DRI juga membangun jaringan dengan lembaga-lembaga lain dalam aksi bersama penanggulangan bencanaLangkah DRI itu memang terbukti membuat Kobe menjadi pusat penanggulangan bencana duniaHampir semua lembaga yang bersinggungan dengan penanggulangan bencana memiliki kantor di Kobe." Sebut saja Asian Disaster Reduction Center (ADRC), Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), United Nations Centre for Regional Development (UNCRD), WHO, dan Japan International Cooperation Hyogo International Center (JICA).
Hashimoto menambahkan, semua orang harus terus melanjutkan hidup setelah terjadi bencanaNamun, setiap bencana harus tetap dikenang agar manusia terus bersiap menghadapinyaHashimoto mengutip ungkapan fisikawan Jepang Torahiko Terada (1878-1935)Natural disaster will hit usBy the time people have forgotten about itBencana alam memang akan menghajar kitaTapi, seiring dengan berlalunya waktu, orang akan lupa(*c1/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah sang Legenda Pop Rinto Harahap setelah Sembuh dari Stroke
Redaktur : Tim Redaksi