jpnn.com - Shantiko Hatmojo (33), putra seorang pendeta, telah mualaf, menjadi seorang muslim sejak lima tahun lalu.
TAMAMU RONY, Sampit
BACA JUGA: Bule Portugal Rela jadi Mualaf Demi Gadis Bojonegoro
USAI melaksanakan salat Fardhu Zuhur pada Rabu (16/5) siang, Shantiko Hatmojo (33) menengadahkan tangannya ke atas. Di sampingnya, sang istri menemani jadi makmum. Kipas angin yang berada di atas mereka memendarkan suara doa yang keluar secara khusyuk dari mulutnya.
Siapa menyangka, pria kelahiran 2 Juni 1985 yang kerap disapa Koko Pentet itu dulunya adalah anak seorang pendeta sekaligus pemimpin salah satu gereja di Antang Kalang, Kabupaten Kotim, Kalteng. Kata Koko, keyakinan untuk mengenal Tuhan tak bisa dipaksakan. Dia akhirnya memilih Islam.
BACA JUGA: Semula Anti-Islam, Politikus Jerman Ini Sekarang Jadi Muslim
Hal itu mengalir dalam hati. Yang kemudian jadi sebuah prinsip untuk memeluk agama tertentu. Walau banyak rintangan, apa pun dihadapi untuk mempertahankan keyakinan itu.
”Ibarat orang jatuh cinta. Tak dapat dicegah. Sebab, hal sia-sia di dunia itu menasihati orang yang sedang kasmaran. Sama seperti rasa cinta saya dengan Islam. Siapa pun tak dapat mengintervensi,” ungkapnya ketika ditemui di kediamannya, Jalan Tidar Raya 3, Gang Rambutan, Sampit.
BACA JUGA: Lindsay Lohan Bangkrut, Tunggakan Pajaknya Miliaran
Napas keislaman Koko sebetulnya sudah terpupuk sejak SD kelas 5. Saat itu, mata pelajaran agama yang ia sukai justru agama Islam. Awalnya dia suka mendengarkan cara gurunya menyampaikan dan menjelaskan pelajaran agama tersebut dengan jenaka.
Dari situlah Koko kecil mulai sering mengikuti pelajaran Agama Islam hingga ia lulus. Ketika SMP dan SMA, acara pengajian dan ceramah tak pernah absen didatangi. Hingga sampailah pada pertengahan 2013, ia mendapatkan hidayah.
Bapak dua anak itu memberanikan diri menemui salah seorang ustaz ternama, setelah berkali-kali tergugah mendengar tilawah Alquran dari pengeras suara masjid. Lantas, Koko mulai mendalami Islam dari berbagai sudut pandang. Dia melepaskan keingintahuannya soal agama sejuta umat itu.
Terutama, pertanyaannya soal alasan warna kain penutup Kabah harus hitam. Sebab, menurutnya, harusnya warnanya putih. Karena warna putih melambangkan kesucian dan sebagainya.
”Saya tanya, mengapa penutup Kabah warnanya hitam? Ustad saya tersenyum. Lalu kemudian ia menjawab dengan jenaka namun cerdas. Kalau warnanya putih, pasti terlihat kotor. Karena jutaan umat memegang Kabah ketika berhaji. Lalu kami berdua tersenyum,” lanjutnya.
Beberapa waktu belakangan baru diketahui oleh Koko, bahwa ustaznya, Khoirudin, menjawab ringan seperti itu untuk menghindari kesalahpahaman persepsi. Dengan mengeluarkan jawaban ringan, membuat Koko mudah mengerti dan mencerna.
”Kalau pak Ustaz Khoirudin jawab sesuai sejarah, saya pasti tak paham. Makanya, beliau jawab pakai logika yang mudah saya mengerti. Tapi, akhir-akhir ini baru saya pahami alasan warna kain penutup Kabah itu hitam,” tambahnya.
Pada Ramadan tahun 2013, Koko memantapkan diri mengucap Syahadat. Ia lantas belajar mengaji dari Ustaz Khoirudin yang ia jadikan guru spiritual. Pada tahun itu pula merupakan masa awalnya berpuasa.
Meski ada berbagai macam kendala, seperti kelaparan dan tak tahan haus, ia juga sempat hampir tumbang lantaran badannya lemas. Hingga akhirnya Koko merasakan keajaiban puasa.
Dia seketika sembuh ketika waktu berbuka tiba. Kata Koko, hal itu bukan karena badan yang lemas dan sembuh lantaran makan waktu berbuka. Namun, dikarenakan niatnya yang sungguh-sungguh menjalani bulan suci Ramadan.
Meski jatuh bangun belajar menekuni rukun iman dan rukun Islam, Koko tetap menjadikan semua rintangan itu sebagai motivasi. Sosok yang jadi penyemangat dirinya adalah sang ayah, Wartono.
Meski sang ayah adalah seorang pendeta dan pemimpin gereja, tak pernah sedikit pun dia melarang Koko memeluk agama lain. Bahkan, ayahnya itu pernah berkata untuk memelajari agama dengan sungguh-sungguh.
”Kata ayah saya, kalau tidak sungguh-sungguh menjalani agama, lebih baik balik saja (ke agama lama). Itu bukan berarti ayah saya tak setuju, tapi justru beliau memotivasi saya. Karena selanjutnya, ayah sayalah orang yang pertama kali marah ketika saya tidak salat, tidak mengaji dan tak menjalankan puasa. Orang tua saya orangnya Pancasila, alias terbuka dan tak melarang anak-anaknya punya prinsip. Asalkan jangan setengah-setengah mendalami,” tutur Koko sambil sesekali tersenyum bangga.
Usai menjalani Ramadan pertamanya, masuklah Hari Raya Idulfitri. Cuaca pagi 2013 silam, saksi bisu semangat Koko beridentitas mualaf. Orang-orang di kampungnya yang datang ke masjid memberikan selamat sekaligus nasihat untuk memperkuat imannya.
Ketika sampai waktu salat Idul Fitri, imam mengingatkan makmum merapatkan saf (barisan salat). Semua jamaah mengikuti. Gerakan takbiratul ikhram dimulai. Koko mengikuti gerakan imam.
Setelah itu terucap lagi takbiratul ikhram. Tapi Koko malah rukuk (gerakan membungkuk dalam salat).
”Saya kira salatnya sama dengan salat wajib. Ternyata beda. Takbirnya ada tujuh kalau salat Idulfitri. Tapi saya justru langsung rukuk ketika imam mengucap takbir usai membaca salah satu surat dalam Alquran. Untung makmum yang lain enggak ada yang tertawa, karena saking khusyuknya. Tapi saya, malunya luar biasa,” ceritanya sembari tertawa terbahak-bahak.
Setelah salat selesai, Koko kabur dari barisan, karena tak sanggup menahan malu. Tapi, di rumah, ia tertawa terpingkal-pingkal ketika menceritakan kejadian itu pada sahabatnya.
Kini, sudah lima tahun Koko menjadi mualaf. Ia juga sudah menikah dan dikaruniai dua anak. Dukungan orang tua, keluarga, dan sahabat-sahabatnya jadi penguat keyakinan untuk mendalami Islam.
Sebetulnya, istri Koko yang sekarang adalah istri kedua. Istri pertamanya diceraikan karena satu dan lain hal. Titik nadir dalam hidupnya ketika masa-masa rumah tangganya dengan istri pertama runtuh.
Saat itu, imannya juga sempat goyah. Namun, lagi-lagi sang ayah yang menyemangatinya. Lantas, Koko balik ke kampung halamannya dan menemui orang tua yang sangat ia sayangi itu.
”Saya menangis sejadi-jadinya di pelukan ayah. Namun, beliau menasihati bahwa agama itu bukan untuk dipermainkan. Apa yang saya alami kata ayah saya, adalah ujian menjadi manusia baru. Saya harus menjalani,” ceritanya.
Setelah masa-masa kelam hubungannya dengan sang istri usai, Koko menikah lagi dan dikaruniai seorang anak. Kini dia punya dua anak. Anak pertama dari istri sebelumnya.
Koko mulai bangkit ketika menekuni profesi sebagai agen event organizer (EO) di Sampit. Dukungan dari keluarga membuat semangatnya tak pernah padam. Sampai saat ini, Koko jadi contoh para mualaf lain yang baru mengenal islam.
Kata Koko, mengenal agama Islam itu tak boleh setengah-setengah. Sebab, kata dia, Islam itu agama yang sempurna. Memahaminya juga harus dengan hati dan pikiran yang sempurna. (***/ign)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Intip Perjalanan Spiritual Angelina Sondakh Menjadi Muslimah
Redaktur & Reporter : Soetomo