jpnn.com, JAKARTA - Kapolres Jakarta Barat Kombes Polisi Audie Latuheru punya cara hidup yang cukup unik.
Bagi dia, hal-hal yang bermula dari keisengannya mempelajari sesuatu, dapat menjadi bekal menghadapi tantangan dalam kehidupan.
BACA JUGA: Kombes Audie Latuheru Beri Peringatan Untuk Wawan Gunawan
Termasuk saat menjadi polisi yang harus serba bisa dalam segala hal dimanapun ditugaskan. Mau tidak mau, Audie menuntut diri menjadi serba tahu dan serba bisa.
Karena itu dia belajar apa saja, mulai dari belajar animasi 3D sampai memasak. Sebelum jadi polisi, dia suka hal-hal yang bersifat menantang.
BACA JUGA: Gempa dan Tsunami Raksasa Akan Berulang
Dia biasa ikut berburu hewan bersama bapaknya sejak umur enam tahun dan itu risikonya besar sekali.
"Saya senang sekali ketika ada sesuatu yang menegangkan," ujar pria asli Merauke kelahiran 24 Januari 1972 itu.
BACA JUGA: Nih Biang Kerok Tawuran di Jakarta Pusat, MY Nyaris Tewas
Setelah lulus dari taruna Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) pada 1996, pilihan hidupnya jatuh pada Korps Brimob Polri.
Dalam kesatuannya, Audie diwajibkan memiliki keterampilan terjun payung dan memiliki wajib terjun sebanyak 12 kali untuk mendapat sertifikat.
"Lulus dapat sertifikat penerjun, saya enggak berhenti. Ada waktu terjun saya ikut terus. Saya pikir, saya harus melatih diri saya untuk kepentingan apa pun," Audie mengisahkan.
Awalnya, banyak yang meremehkan, mengapa Audie terus mengasah diri terjun payung meski hanya menjadi polisi yang bertugas di lingkup sipil. Namun Audie muda berprinsip, tidak ada ilmu yang tidak ada gunanya.
Hal itu dia rasakan saat menangani kasus percobaan bunuh diri seorang pemuda di atas Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Semanggi, Setiabudi, Jakarta Selatan pada 4 April 2015. Pemuda berkaus merah tanpa identitas itu selama berjam-jam bertengger di atas jembatan.
Saat itu, Audie menjadi Kapolsek Metro Setiabudi, Jakarta Selatan. Keselamatan masyarakat di wilayah hukum yang dipimpinnya menjadi prioritas utamanya menolong pemuda tanpa identitas tersebut.
Semalaman penuh pemuda tersebut bertengger, mengancam akan terjun secepatnya agar orang lain tak berusaha menyelamatkannya. Pada saat itu, evakuasi pemuda tersebut berjalan alot bagi regu penyelamat.
Pagi harinya, tanpa seragam, tanpa alat bantu pengamanndan bermodal "action camera," Audie dengan berani memanjat rangka jembatan untuk menjangkau pemuda tersebut. Dengan pendekatan dialog, pemuda itu mau dibujuk untuk turun.
"Setelah selesai penyelamatan, saya pikir, darimana ilmu itu saya dapat? Darimana nyalinya?" katanya.
"Oh, itu dari mana lagi kalau bukan dari terjun payung, karena saya sudah lebih dari seribu kali melakukannya dari tahun 1999. Jadi itu wajar saja," ujar Audie.
Kombes Audie Latuheru menerbangkan pesawat. Foto: Antara/HO
Masa muda Audie Latuheru pun bagaikan terjun payung itu sendiri, dinamis dan selalu penuh tantangan dalam perjalanannya.
Audie muda sejak kecil ingin berkecimpung di bidang hukum, menjadi pengacara yang dapat membantu masyarakat. Dia merantau, berangkat dari Merauke ke Jayapura untuk berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih tahun 1990.
Perkuliahan masa itu dirasa semakin berat, terutama tanggungan biayanya. Tidak tega jika harus bergantung dengan kiriman orang tuanya, Audie muda mencari uang menjadi kuli pasir di pembangunan Perumnas di Jayapura.
"Itu untuk cari nasi bungkus dan uang Rp2.000 per harinya. Biaya dari orang tua hanya Rp200.000 per bulan saya cukupkan," ujar Audie.
Hingga masuk semester tujuh perkuliahan, rekan kampus membujuknya ikut seleksi AKABRI di Jayapura.
Awalnya, Audie muda tak mengerti apapun, hanya memahami bahwa ia akan tak akan merepotkan orang tua setelah lolos menjadi taruna.
"Saya temani dia, teman saya juga belikan materai untuk surat pernyataan. Dia mengajak, tugas saya menemani dia saja," ujar Audie.
Dia mengikuti jejak teman-temannya yang mendaftarkan diri, namun tidak lolos seleksi taruna AKABRI pada tahun 1992 di Magelang, Jawa Tengah.
Di tahun berikutnya, Audie tidak menyerah. Beruntung, ia lolos dan bergabung menjadi Taruna AKABRI pada 1993.
Penempatan pertamanya sebagai anggota Polri adalah bergabung di Korps Brimob dan bermarkas di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat. Kemudian bergabung pada pasukan Gegana.
Baru bergabung menjadi pasukan Gegana, Audie Latuheru mendapat misi internasional bergabung dalam tugas pengamanan Kontingen Lorosae di daerah konflik Distrik Ermera, Timor Leste, pada akhir 1998.
Audie didapuk menjadi Danton Pelopor, membawahi 30 pleton pasukan berjumlah total 100 orang.
Setelah Timor Leste memenangkan referendum, terjadi eksodus pada orang-orang yang tidak ingin bergabung dalam negara tersebut. Termasuk Polri dan ABRI harus terpukul mundur.
"Waktu pengumuman (referendum) sempat terjadi pembunuhan di mana-mana. Orang-orang saling bacok, mayat bergelimpangan. Chaos pada hari itu," kenangnya.
Pada saat eksodus besar-besaran, orang-orang tersebut harus dibawa dari Distrik Ermera ke Atambua, Nusa Tenggara Timur. Akan tetapi hanya tersedia mobil unimog dan tidak ada satu pun yang bisa menyetir.
Dengan modal nekat, Audie yang belum pernah menyetir mobil setir kiri itu tercetus mengemudi dengan kemampuan yang masih nol, demi menyelamatkan masyarakat yang berada di bawah ancaman pembantaian.
Pengalamannya di daerah konflik bertambah saat mendapat penugasan menjadi anggota tim khusus Operasi Tegak Rencong di Provinsi Aceh.
Operasi itu bertugas menyerang kantong-kantong Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selama enam bulan penugasan tim khusus tersebut bekerja dengan sangat baik, sehingga mendapat pujian.
Akan tetapi, tugasnya dalam tim khusus diperpanjang enam bulan lagi. Sementara itu, dia kebingungan, karena bagaimanapun dia harus menyampaikan tim khusus itu untuk bertugas satu periode lagi.
"Jadi beban, gimana cerita sama anak buah? Mereka sudah siap-siap telepon pacar, orang tua, udah kabarin kalau sudah mau diaplus, tapi kita bertenda lagi selama enam bulan," ujar Audie sambil terkekeh.
Pada misi periode kedua, Audie nyaris kehilangan nyawa saat menjinakkan bom yang ditebar secara acak oleh pasukan GAM. Bom tiba-tiba meledak di depannya dan membuat dia serta kedua rekannya terpental.
Akibat ledakan tersebut, dia sempat kehilangan pendengaran. Untungnya hanya luka bakar ringan, sedangkan seorang temannya luka berat. Mereka dilarikan ke rumah sakit Zainal Abidin dengan helikopter.
Setelah kembali bertugas, Audie ditempatkan ke Ambon, Maluku, untuk menangani konflik SARA (suku, agama, ras dan antargolongan).
Sepulangnya dari Ambon, Audie ditarik kembali ke Aceh untuk Operasi Cinta Meunasah, yakni pembebasan sandera GAM.
"Sebelum berangkat ke daerah konflik, selalu ada nasehat dari senior. Jangan menyakiti orang, kamu pasti pulang dengan selamat. Semua itu kita ikuti saja sebelum ke medan tempur," ujar Audie.
Pada November 2004, Audie mendapat hadiah untuk bersekolah di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), sebelum masa tugas operasi Cinta Meunasah berakhir.
Setelah meninggalkan pasukan untuk bersekolah, dia memerintahkan anak buahnya untuk tidak melakukan penyerangan tanpa seizin komandonya.
"Pada waktu itu ada pembebasan sandera, saya memerintahkan untuk tidak ada penyerangan apapun. Pas ada tsunami, anak buah selamat, karena tidak ada yang ke Banda Aceh," ujar dia.
Audie Latuheru sempat terheran, karena para mahasiswa PTIK disarankan untuk berkuliah di kampus lain. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mengambil sekolah penerbangan di kawasan Bandara Halim Perdanakusuma.
"Ada yang mengambil kuliah lagi di universitas. Saya pernah kuliah, ngapain kuliah lagi? Jadi saya ambil sekolah penerbangan, ditawarkan relasi saya di komunitas terjun payung," kata Audie.
Awalnya, Audie mengambil lisensi private pilot (PPL) untuk menerbangkan pesawat bermesin tunggal seperti helikopter.
Namun setelah mencapai 80 jam penerbangan PPL, Audie tak cukup merasa puas. Rasa penasaran menggiringnya mengambil lisensi commercial pilot license (CPL) untuk dapat menerbangkan pesawat berpenumpang.
Audie merasa tertantang, pasalnya tak semua pengambil lisensi pesawat komersil bisa mengendarai semua jenis pesawat berpenumpang. Sehingga, diperlukan untuk mengambil "instrument rating" (IR), lisensi atau izin terbang tambahan untuk melengkapi CPL bagi pilot profesional.
Karena kecintaannya dengan dunia aviasi, banyak rekan di sekitar Audie yang memberi dukungan, motivasi, dan mengenalkannya pada sekolah penerbangan pesawat Airbus di Madrid, Spanyol.
Audie belajar di sekolah penerbangan Madrid untuk mendapatkan lisensi atau IR sejumlah tipe pesawat Airbus, sebab tiap jenis pesawat memiliki IR yang berbeda.
"Pernah bawa pesawat Airbus 320 hanya waktu training di Copenhagen. Jam terbang saya, real aircraft, hanya tiga jam, lainnya simulator. Tapi kalau disuruh duduk di kokpit Airbus 320 saya masih fasih," kata dia.
Selama bertugas dan menjabat di Polri, Audie tak lupa melatih diri secara periodik dan memperpanjang lisensi terbang di sekolah penerbangan Global Training Aviation Cengkareng serta latihan dengan simulator di komputer kerjanya.
"Di mana saya ada, saya selalu serius menjalani apa pun," kata dia.
Di antara sejumlah kasus kriminal yang ditangani Audie Latuheru, ada satu yang paling berkesan yakni penculikan mahasiswi UI, Safira Permatasari pada Oktober 2015.
Saat itu, dia menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Selatan. Penculik meminta uang tebusan satu juta dolar Amerika Serikat pada keluarga Safira atau akan melukai sandera.
Bukanlah hal yang mudah, lantaran berurusan dengan ancaman nyawa orang lain. Audie segera menyusun strategi agar penculik yakin uang tebusan telah diserahkan.
Audie berperan menjadi utusan keluarga Safira, membawa uang satu juta dolar dalam koper yang harus diantarkan ke kamar hotel kawasan Kota Tua, Tamansari, Jakarta Selatan.
Dia meyakinkan penculik telah masuk kamar, meletakkan uangnya, dan pergi keluar dari hotel.
"Tapi yang keluar hotel itu anak buah, pemeran pengganti saya. Jadi saya di dalam kamar, sudah mikir kalau sedikit orangnya, saya sikat, kalau kewalahan saya tembak. Yang masuk satu orang suruhannya, jadi saya sikat. Anak buah yang jadi cleaning service langsung masuk kamar," ujar Audie.
Orang suruhan penculik ditekan untuk membongkar sindikat penculik itu. Dengan beberapa cara, Audie membuat orang suruhan itu kalem dan berpura-pura menginformasikan uang itu sudah di tangannya.
Safira yang disekap di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat kemudian diturunkan di Cibubur Junction, lalu menghubungi kedua orang tuanya. Satreskrim Polres Jakarta Selatan kemudian meringkus sindikat penculik Safira.
"Sekarang saya dan keluarga Safira seperti keluarga sendiri saja, Safira saya anggap keponakan. Safira memanggil saya Om Audie," kata dia.
Berlatar belakang sebagai putera asli Papua yang memiliki jabatan penting di Polri, membuat Audie Latuheru tergerak memberikan dukungan serta motivasi. Khususnya untuk 800 orang Papua yang kebanyakan mahasiswa di Jakarta.
Motivasi ia berikan agar mahasiswa dan pekerja Papua tidak merasa dikucilkan dan dapat berkiprah seperti halnya orang lainnya di tanah Jawa. Misalnya memberi panggung bagi para seniman, atau arena untuk yang suka berolahraga.
"Saya memfasilitasi untuk memotivasi mereka, sekalian kasih tau kalau kita sebangsa, tak ada masalah. Tinggal di Merauke sama Jakarta sama aja," kata Audie.
Audie juga menginisiasi gerakan sosial orang Papua di Jakarta dengan memberikan bantuan untuk korban longsor di Bogor, hingga acara kultural budaya Papua di Bundaran HI dan Lapangan Banten sebelum adanya pandemi COVID-19.
Dengan cara itu, Audie membuktikan orang Papua di Jakarta dapat berkarya dan tidak ada diskriminasi yang ditujukan kepada orang Papua. (antara/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti