jpnn.com - JAKARTA - Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN, Yandri Susanto mengatakan, komisinya telah menolak untuk membahas RUU Otonomi Khusus Plus Papua yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR.
Meski DPR dalam sidang paripurna 16 September lalu telah menjadikan draft RUU ini sebagai RUU tambahan yang dimasukkan dalam prolegnas, Komisi II menganggap hal ini tidak sesuai prosedur dan asas ketaatan.
BACA JUGA: Politisi PDIP Minta Pengesahan RUU Tenaga Kesehatan Ditunda
"Ini bukan masalah RUU ini siluman atau bukan siluman. Jika mengacu kepada asas ketaaatan dan dibandingkan dengan pembuatan UU lainnya, ini tidak taat asas. RUU ini diajukan oleh pemerintah secara mendadak dan disahkan oleh paripurna DPR pada 16 September lalu masuk dalam Prolegnas tanpa melalui proses panja, pansus, rapat dengar pendapat dan lain-lainnya. Dengan demikian ini menyalahi prosedur dan makanya kita tolak," kata Yandri Susanto, di gedung DPR, Senayan Jakarta, Kamis (25/9).
Karena dinilai menyalahi prosedur dan dia menjamin RUU ini tidak akan disahkan dalam DPR periode ini.
BACA JUGA: Demi Loloskan Pilkada Lewat DPRD, Kerahkan Seluruh Anggota FPG
"Karena prosedurnya dilanggar maka RUU ini tidak akan dibahas, apalagi disahkan. Jadi tidak benar kalau ada isu RUU ini akan disahkan, karena kalau dipaksakan kasihan rakyat Papua. Ini menyangkut nasib orang banyak dan kemajuan Papua ke depannya," tegas Yandri.
Menjawab pertanyaan, terkait isu adanya dugaan pesanan asing terutama Amerika Serikat tentang keberadaan PT Freeport di Papua, Yandri hanya mengatakan bahwa Komisi II banyak mendapatkan info terkait tunggang-menunggangi RUU ini.
BACA JUGA: DPR Sahkan UU Hukum Disiplin Militer
Karena itu dia yakin pembahasan RUU ini baru bisa dilakukan oleh DPR periode mendatang. Pembahasan masih memerlukan waktu panjang dan belum ada satupun anggota DPR yang pergi ke Papua untuk melihat dan mencek fakta sebenarnya.
"Karena banyaknya info, kita wajib mencermatinya dan makanya juga DPR perlu waktu untuk mengumpulkan banyak hal yang berkembang di lapangan. Karena baru disahkan pada 16 September lalu dan karena masa bakti DPR periode ini akan berakhir, kita menolak karena perlu mencermati semua hal. Itulah makanya saya berpikiran biar DPR periode mendatang saja yang membahasnya,” ujarnya.
RUU yang diajukan pemerintah juga perlu dicermati karena banyak isu yang diatur memerlukan penelaahan khusus dan harus dibahas serius. Terutama lanjutnya, karena ada pasal yang mengatur bahwa jabatan politik di Papua harus diisi oleh orang Papua asli dan ini tentunya tidak baik untuk kebhinekaan.
"Dalam RUU itu tertulis dalam salah satu pasalnya bahwa jabatan politik harus diisi oleh orang Papua asli. Ini tentunya merupakan isu yang sangat sensisitif untuk keberlangsungan Bhineka Tunggal Ika. Di Papua itu kan yang hidup disana buka orang Papua asli saja, seperti halnya di daerah lainnya. Banyak masyarakat disana adalah pendatang yang sudah bermukim di Papua selama beberapa generasi. Jadi kalau itu diakomodir maka bisa menimbulkan perpecahan Indonesia. Makanya saya salah satu yang menolak RUU ini. Kasih kesempatan bagi anggota yang baru nanti untuk turun ke lapangan," pintanya.
Selain itu juga perlu dikaji masalah perimbangan pembagian pusat dan daerah. Dalam RUU itu tertulis bahwa mereka berhak mendapatkan 80 persen hasil dari Papua untuk mereka.
"Untuk dana perimbangan, mereka meminta 80 persen. Makanya ini perlu dicermati lagi apakah selama ini Otsus yang diberikan sudah adil dan merata? Selama ini dana Otsus juga cukup besar dan belum pernah dievaluasi. Evaluasi dulu Otsus Papua yang sekarang baru nanti kita berikan apa yang kurang,” pungkasnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perebutan Ketua DPD Mulai Memanas
Redaktur : Tim Redaksi