jpnn.com, JAKARTA - Data kemiskinan di Indonesia masih simpang siur, belum satu pintu. Komisi VIII DPR pun ingin pemerintah memiliki satu data saja soal kemiskinan.
Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto menyatakan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, angka kemiskinan tercatat sebanyak 24,79 juta, atau 9,2 persen lebih.
BACA JUGA: Komisi VIII Minta Juliari Batubara Perbaiki Data Kemiskinan
Namun, Yandri menegaskan, dengan adanya bencana nonalam Covid-19, jumlah itu akan meningkat.
"Sudah saatnya pemerintah memiliki satu data kemiskinan yang menjadi rujukan kementerian/lembaga, dan segera adanya sinkronisasi data masing-masing kementerian/lembaga," kata Yandri.
BACA JUGA: Ingin Program Prorakyat Tepat Sasaran, Pemerintah Rapikan Data Kemiskinan
Hal itu diungkap Yandri saat rapat gabungan Komisi VIII DPR dengan Menteri Sosial Juliari Batubara, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal Halim Iskandar, Mendagri Tito Karnavian yang diwakili Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrullah, dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, dan perwakilan Kementerian Keuangan, Rabu (1/7).
Menurut Yandri, sebenarnya tidak sulit bagi pemerintah untuk memperbaiki data kemiskinan.
BACA JUGA: Curahan Hati Habib Aboe Mengenang Kepergian Hilmi Aminuddin
Sebab, ujar dia, penduduk miskin tentu punya nama, alamat yang jelas.
Namun, Yandri menuturkan, dalam faktanya belum semua kabupaten/kota melakukan update data kemiskinan.
Dia mengungkap sampai hari ini baru 103 kabupaten kota yang melakukan update data kemiskinan.
"Ada 411 kabupaten/kota yang tidak sama sekali melakukan update data kemiskinan," ungkap politikus Partai Amanat Nasional itu.
Karena itu, kata Yandri, tidak salah bila ada berita di media sosial, media massa, bahkan hasil kunjungan kerja di lapangan yang menemukan masih banyak tumpang tindih data kemiskinan.
"Misalnya, masih banyak orang yang sudah meninggal dunia, tetapi masih ada datanya (masuk dalam data penduduk miskin)," jelas Yandri.
Selain itu, Yandri mencontohkan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, ada 2.000 data orang mendapat bantuan, tetapi alamatnya tidak bisa dikonfirmasi.
"Oleh karena itu, sebenarnya negara ini satu pemerintahan. Sejatinya harus punya satu data kemiskinan," ungkap Yandri.
Yandri menjelaskan Komisi II DPR dulu bersama Ditjen Dukcapil Kemendagri, dengan e-KTP bisa melakukan perbaikan.
Dengan e-KTP, ujar dia, maka terjadi satu identitas saja untuk warga negara.
Dengan adanya e-KTP, dia berharap bisa disandingkan dengan data Kemensos untuk memastikan menghadirkan satu data kemiskinan.
Sekarang, kata dia, Kemensos leading sector-nya menangani orang miskin, tetapi banyak juga kementerian/lembaga memberi bantuan seperti Kemendikbud, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan lain-lain dengan indikator berbeda-beda.
Nah, Yandri berharap dengan adanya rapat gabungan ini ada kemauan kuat dari pemerintah untuk menciptakan satu data kemiskinan.
"Perlu adanya surat keputusan bersama (SKB) antara mensos dan mendagri untuk memastikan tidak ada gubernur, bupati, wali kota, camat, sampai desa itu tidak fokus dengan data kemiskinan. Indikatornya harus sama sehingga tidak ada lagi pemborosan, termasuk di BPJS (Kesehatan)," paparnya.
"Bayangkan, waktu itu berapa belas juta data BPJS tidak sinkron dengan Kemensos. Berapa triliun uang rakyat yang tidak tepat sasaran. Yang berhak dapat menjadi tidak dapat, justru yang tidak berhak ternyata mendapatkan," pungkas Yandri. (boy/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Boy