jpnn.com - SURABAYA – Paket kebijakan ekonomi jilid tiga memuat tentang penurunan harga gas industri. Namun, hingga kini penurunan itu belum bisa dinikmati produsen keramik dalam negeri.
Karena itu, industri keramik kembali menagih janji pemerintah untuk segera merealisasikan penurunan harga gas.
BACA JUGA: Persewaan Menara Telekomunikasi Diyakini Tumbuh 9 Persen
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Industri Keramik Indonesia (ASAKI) Hendrata Atmoko menyatakan, penurunan harga gas yang menjadi USD 6 mmbtu bisa menurunkan biaya produksi sampai lima persen.
’’Jika penurunannya bisa di angka USD 5 mmbtu, biaya produksi bisa turun sampai sepuluh persen,’’ ujarnya kemarin (21/8). Komponen energi berkontribusi 30–35 persen terhadap total biaya produksi industri keramik.
BACA JUGA: Realisasi Dana Repatriasi Belum Sampai 1 Persen
Pihaknya pun berharap setidaknya tahun ini industri keramik sudah bisa merasakan penurunan harga gas industri. Paket kebijakan yang mengatur penurunan harga itu keluar November tahun lalu.
Perpresnya baru keluar Mei tahun ini. Peraturan menterinya keluar Juni. ’’Kami meminta pemerintah segera mengeluarkan juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) agar bisa segera terealisasi di lapangan,’’ jelasnya.
BACA JUGA: Dibayangi Wacana Kenaikan Harga, Saham Rokok Tetap Seksi
Industri keramik pun pada semester pertama kemarin mengalami penurunan permintaan 30 persen. Selain itu, pelaku industri keramik kewalahan menghadapi serbuan impor.
Dia menambahkan, impor yang marak adalah untuk produk granit dari Tiongkok. ’’Kalau produk keramik masih aman. Sebab, Tiongkok maupun Vietnam sudah tidak memproduksi keramik lagi,’’ jelasnya.
Hanya, kata dia, hal itu membuat pelaku industri keramik kewalahan menyasar pasar komersial seperti pembangunan gedung, mal, maupun bandara yang kini telah beralih ke produk granit.
Asaki mencatat impor granit di Indonesia mencapai empat juta meter persegi per tahun. Sementara itu, kebutuhan granit lokal mencapai dua juta meter persegi per tahun.
’’Daya saing kami lemah salah satunya karena harga masih kalah dengan produk impor. Selain itu, masih rendahnya komitmen pemerintah untuk menggunakan produk dalam negeri. Padahal, beberapa proyek potensial bisa dibidik produsen lokal seperti renovasi kompleks olahraga Gelora Bung Karno maupun wisma atlet,’’ tambahnya.
Dia melanjutkan, pada proyek pemerintah seperti wisma atlet, kontraktor masih membandingkan harga produk lokal dengan impor.
’’Bukan hanya pemerintah pusat yang menggunakan produk lokal, tetapi pemerintah daerah seharusnya juga memakai produk lokal. Secara kualitas tidak kalah. Sebab, granit lokal sudah memasok untuk proyek Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta,’’ jelasnya.
Pihaknya pun meminta pemerintah untuk mempertegas penerapan P3DN (peningkatan penggunaan produksi dalam negeri). Sebab, fakta di lapangan, proyek-proyek pemerintah masih marak menggunakan produk impor. Pasalnya, proteksi yang ada untuk penggunaan produk lokal kini dinilai masih terlalu lemah. (vir/c15/sof/jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tanggapan PT HM Sampoerna soal Kabar Rokok Rp 50 Ribu
Redaktur : Tim Redaksi