jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel ikut angkat bicara soal polemik Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa atau Pam Swakarsa yang kembali digaungkan oleh calon Kapolri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Pam swakarsa sebelumnya diaktifkan kembali oleh Kapolri Jenderal Idham Azis melalui Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pam Swakarsa, tanggal 5 Agustus.
BACA JUGA: Pengamat Akui Trauma Akibat Kebrutalan PAM Swakarsa Belum Sembuh
Saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test sebagai calon Kapolri di DPR RI pada Rabu (20/1), Komjen Listyo Sigit menyatakan pam swakarsa akan diaktifkan kembali dalam mewujudkan kamtibmas.
Listyo Sigit sendiri telah mendapatkan restu DPR sebagai calon Kapolri pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan tinggal dilantik.
BACA JUGA: Suami Ditangkap Polisi, Mbak Sella Nekat Berbuat Terlarang, Padahal Sedang Hamil
"Pam swakarsa, menakutkan? Tanyalah dulu kepada Kapolri (Calon Kapolri Listyo Sigit-red), pam swakarsa macam apa yang ingin beliau bangun," kata Reza dalam pesan singkatnya kepada JPNN.com, Minggu (24/1).
Reza mengatakan, kalau Pam Swakarsa yang dimaksud adalah membangun kelompok-kelompok sadar hukum, dan berinisiatif menciptakan keamanan-ketenteraman di lingkungan sekitar, maka boleh jadi itu merupakan realisasi dari kepolisian masyarakat (community policing).
BACA JUGA: Kuasa Hukum Minta Habib Rizieq Dirawat di RS Ummi, Mabes Polri Bilang Begini
"Jika demikian adanya, maka ini justru saya pandang positif," kata Reza yang pernah menjadi peserta Community Policing Development Program, Jepang.
Pasalnya, kata Reza, sudah lama sekali Polri tidak lagi mengusung community policing sebagai filosofi kerjanya. Berbeda dengan Kapolri sekian periode silam.
Dia menjelaskan bahwa community policing menjadi makin penting dewasa ini ketika Polri terkesan menjadi terlalu penegakan hukum.
Hal itu pun menurut pria asal Indragiri Hulu, Riau, ini kerap dikritik karena Polri dianggap publik punya persoalan besar terkait procedural justice dan distributive justice.
"Nah, kedua isu itu bisa diatasi lewat digencarkannya kembali community policing," lanjut peraih gelar MCrim (Forpsych, master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne ini.
Selain itu, kata Reza, esensi lain Pam Swakarsa, jika dibangun secara konstruktif juga merefleksikan pelibatan masyarakat.
Terlebih lagi dalam kerja polisi, partisipasi adalah salah satu unsur penting di samping fairness, neutrality, respect, dignity, dan trustworthy.
"Jadi, lihat saja bagaimana unsur-unsur tersebut bisa juga terpenuhi seandainya gagasan Pam Swakarsa benar-benar terealisasi," ucap Reza,
Bila Pam Swakarsa dalam kesehariannya malah memunculkan penilaian publik bahwa Polri menjauh dari unsur-unsur tersebut, katanya, maka jelas Pam Swakarsa kontraproduktif bagi Polri sendiri.
Berikutnya, Reza menyoroti satu poin yang menarik pada Perkap tentang Pam Swakarsa adalah terkait seragam.
Studi menunjukkan bahwa seragam (termasuk warna) mencerminkan kekuatan dan kekuasaan. Pemilihan seragam yang pas terbukti menurunkan tingkat serangan polisi terhadap masyarakat dan serangan masyarakat terhadap polisi.
"Sayangnya, seragam pam swakarsa memakai warna gelap. Walau memunculkan kesan tangguh, warna gelap semisal cokelat juga diasosiasikan dominansi, emosi negatif, ketertutupan," kata Reza.
"Ini bisa berdampak kurang positif bagi pam swakarsa saat ingin membangun relasi dengan masyarakat yang harus mereka layani," pungkas pria yang menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi UGM.(fat/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam