jpnn.com, JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengaku gembira dengan tingginya permintaan pekerja migran Indonesia (PMI) melalui berbagai skema, langsung direspons Komisi Nasional (Komnas) Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-KPK).
Menurut Wasesjen 1 Komnas LP-KPK Amri Piliang, Presiden Jokowi sepertinya kurang mendapat banyak informasi soal tata kelola PMI di luar negeri.
BACA JUGA: Perwakilan RI di Malaysia Perkenalkan Sipermit demi Lindungi PMI
Amri ingin presiden mengetahui bahwa penempatan dengan skema P to P dan B to B hingga saat ini masih terjadi stagnasi dan diskriminasi terhadap 10 jenis jabatan tertentu. Seharusnya semua jabatan dibebaskan dari biaya penempatan PMI.
Amri menegaskan persoalan yang membebani PMI adalah pembebanan biaya penempatan dan penjeratan utang melalui Kepka BP2MI Nonor 328 Tahun 2022 yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 Pasal 30 dan Perka BP2MI Nomor 09 Tahun 2020.
BACA JUGA: Menaker Ida Dampingi Jokowi Lepas 597 PMI ke Korea Selatan
Dia mengungkapkan saat ini terjadi praktik penjeratan utang berkedok kredit usaha rakyat (KUR) PMI dan praktik PMI pura-pura bayar lunas di muka sebagaimana tertuang dalam Surat Pernyataan Biaya dan Gaji (SPBG).
''Kasihan para pekerja migran ini," ujar Amri dalam keterangannya, Selasa (18/10).
BACA JUGA: Menaker Ida Dorong Jamsostek Dukung Hunian Terjangkau bagi Pekerja Migran
Para PMI ini, lanjutnya masih mendapat pembebanan biaya penempatan senilai Rp 17 jutaan belum termasuk biaya pelatihan dan uji kompetensi senilai Rp 7 jutaan melalui pinjaman pihak ketiga. Akibatnya, para pekerja migran ini harus dipotong gajinya selama 9 sampai 10 bulan.
"Kira-kira sekitar 63 juta rupiah,'' ucap Amri.
Amri mencontohkan soal penempatan PMI tujuan Korea Selatan dengan skema G to G yang ditempatkan BP2MI.
Menurutnya, di Korsel tingkat pekerja migran yang melarikan diri sangat tinggi karena beratnya potongan gaji.
Saat kabur, ujarnya mereka akan menjadi PMI ilegal. PMI kabur karena tingginya beban biaya penempatan dan pelatihan yang harus dikeluarkan PMI kepada Lembaga Pelatihan/LPK untuk penempatan ke Korea Selatan melalui Skema G to G oleh BP2MI.
"Setiap PMI harus memeras keringatnya untuk membayar Penjeratan hutang berkedok KUR/KTA PMI,'' katanya.
Dan pada akhirnya, tambahnya, KUR yang didapatkan mereka tak terbayar. Kredit macet pun terjadi hingga Non Performing Loan (NPL) hampir 10 persen.
Akibatnya Bank penyalur KUR BNI menghentikan sementara fasilitas KUR/KTA PMI.
Diketahui saat pelepasan PMI ke Korea Selatan pada 17 Oktober, Jokowi mengaku senang dan bahagia dengan banyaknya permintaan PMI melalui berbagai skema, seperti private to private dan business to business.
''Saya senang ini akan banyak lagi private-to-private, B to B yang permintaannya juga banyak. Ini juga kalau tidak disiapkan. Ini sebuah keterampilan yang tidak mudah,” ujar Jokowi.
Menurut Jokowi ini tugas besar bagi menteri tenaga kerja dan kepala BP2MI untuk menyiapkan pekerja-pekerja terampil dengan skill tinggi. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad