jpnn.com, JAKARTA - Perwira Menengah (Pamen) Polri, Kompol Ahrie Sonta meraih gelar promosi pertama Program Pascasarjana Doktoral Ilmu Kepolisian pada Kamis (7/6).
“Alhamdulillah, saya baru selesai selama 3 tahun ini sekolah mendapat beasiswa dari Polri, sekolah untuk S3. Saya ambil tentang filsafat budaya etika. Jadi, disertasinya Model Penguatan Budaya Etika di Kepolisian Tingkat Resor: Suatu Pendekatan Habitus Pierre Bourdieu,” kata Ahrie di Jakarta, Minggu (10/6).
BACA JUGA: Polri Cek Kebenaran Informasi Sandiaga soal Masjid Radikal
Pria lulusan Akpol 2002 ini menjelaskan penelitian disertasinya membangun formula reformasi budaya (kultural) dalam organisasi kepolisian. Khususnya di kepolisian tingkat resor sebagai basic police unit yang berhadapan langsung dengan pelayanan masyarakat.
Bagi Polri, kata Ahrie, perubahan budaya merupakan suatu keniscayaan, yakni sebagai bagian dari reformasi kepolisian pasca pemisahan dengan militer (ABRI pada masa Orde Baru) sebagaimana tertuang dalam Inpres Nomor 2 tahun 1999.
“Reformasi Kepolisian itu sendiri secara lengkapnya mencakup reformasi struktural, instrumental, dan kultural. Sejauh ini, reformasi struktural dan instrumental dinilai telah berhasil,” ujarnya.
BACA JUGA: Kenaikan Tukin TNI/Polri Dianggap Politis, Ini Kata Jokowi
Namun, Ahrie menilai reformasi kultural masih menjadi suatu persoalan yang dihadapi kepolisian Indonesia.
Menurut dia, yang membedakannya dari reformasi birokrasi kepolisian yang telah berhasil dilakukan di negara-negara lain.
“Adapun negara-negara yang telah berhasil mengatasi masalah kultural ini misalnya Singapura, Hongkong dan kepolisian di New South Wales Australia,” jelas dia.
BACA JUGA: Anies Masih Berpotensi Terseret Kasus Hukum soal Tanah Abang
Dia mengatakan untuk implementasi dari penelitian tersebut ada tiga model yang ditemukan di beberapa kepolisian tingkat resor yang dimaknai penguatan budaya etika.
Yakni model penguatan etika publik, penguatan struktur pengawasan dan penguatan sosialisasi nilai.
“Saya membangun model penguatan budaya etika kepolisian dengan pendekatan habitus, kemudian membedah kultural dengan mempertemukan agen (individu) dan struktur. Banyak penelitian sebelumnya justru mempertentangkan agen dan struktur,” katanya.
Menurut dia, teori habitus ini berusaha melampaui pertentangan agen-struktur, kebebasan-determinisme, individu-masyarakat, dan seterusnya termasuk dalam konteks organisasi kepolisian.
“Melalui pembacaan konsep habitus ini pula dapat terlihat jalan tengah untuk menyatukan pemisahan struktur dan agen dalam menjelaskan tindakan manusia, atau disebut pendekatan strukturalisme-genetik,” katanya.
Di samping itu, Ahrie mengatakan solusi yang didapatkan dari penelitian ini adalah program salute to service yang bisa diselenggarakan oleh pemerintah, pihak swasta atau perusahaan, atau komunitas masyarakat.
Yakni, sebagai simbol rasa terima kasih kepada lembaga kepolisian yang telah menyumbang peranan penting di masyarakat.
“Hal ini membangun hubungan civil society antara kepolisian dan masyarakat secara lebih baik, sehingga ada kontrol positif masyarakat terhadap potensi tindakan negatif yang dilakukan oleh oknum anggota polisi,” katanya.
Sementara cendekiawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hermawan Sulistyo mengatakan adanya doktor ilmu kepolisian ini harusnya menjadi tonggak sejarah baru bagi institusi kepolisian.
“Produk doktor pertama ilmu kepolisian ini bisa menjadi role model polisi masa depan. Pengetahuan dan integritas akademik yang dipadukan dengan kemampuan teknis operasional lapangan akan membuat Dr. Ahrie Sonta menjadi model polisi masa depan,” katanya. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Seluruh Polda Diminta Bentuk Satgas Antiteror
Redaktur & Reporter : Adil