jpnn.com, JAKARTA - Eskalasi konflik antara Amerika Serikat (AS) dan China di Laut China Selatan (LCS) kian meluas. Sejumlah pihak melihat Indonesia berpeluang menjadi kawasan petempuran (battleground) yang akan diapit oleh dua kepentingan tersebut. Namun, Indonesia tidak siap menghadapinya karena alutsista yang dimiliki tua dan usang.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Rizal Darma Putra berpendapat kemungkinan Indonesia akan menerima imbas dari panasnya AS dan China di LCS. Namun, Indonesia tidak dalam posisi siap untuk menghadapi ancaman tersebut.
BACA JUGA: Klausul Kontrak Pengadaan Alutsista Belum Berlaku, Begini Penjelasannya
"Kemungkinan terjadi spill over atau konflik di beberapa negara di Laut China Selatan dan kemudian bisa merembes ke wilayah Indonesia," katanya dalam webinar "Urgensi Modernisasi TNI", Kamis (24/6).
Indonesia, kata dia, mau tidak mau akan terseret dalam konflik besar itu. "Indonesia harus melibatkan diri atas terjadinya konflik tersebut, apakah dengan ikut terlibat dalam konflik atau dengan operasi militer untuk membendung rembesan konflik tersebut ke wilayah NKRI," sambungnya.
BACA JUGA: Belanja Alutsista Rp 1,7 Kuadriliun Disoal, Guru Connie Bakrie Bela Menhan Prabowo
Menurut Rizal, Indonesia mendesak untuk memiliki kekuatan pertahanan yang memadai dan kesiapan bertempur dengan memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Ia pun tidak sepakat dengan pernyataan pihak-pihak yang menyebut modernisasi alutsista tidak urgen karena saat in masa damai dan anggapan bahwa tidak akan ada perang dalam waktu yang lama. "Itu asumsi yang keliru," tegasnya.
BACA JUGA: Effendi Simbolon Merespons Rencana Pembaruan Alutsista dari Menhan Prabowo, Begini Kalimatnya
"Bilamana tidak ada modernisasi alutsista tentu kita tidak memiliki kesiapan tempur. Kesiapan tempur TNI akan merosot. Tanpa adanya suatu kesiapan tempur yang akan terjadi adalah pelanggaran kedaulatan dan penjarahan sumber daya," tuturnya.
Pakar militer CSIS, Evan Laksmana, sependapat dengan Rizal. Dirinya berpandangan, kawasan Indo-Pasifik, termasuk konflik di Laut Cina Selatan, bakal semakin rumit ke depannya dan Indonesia berpeluang terkena imbasnya.
"Akan semakin banyak hotspot dan regional flash point dari yang sifatnya konvensiaonal maupun non-konvensional," ujarnya.
Di tengah situasi yang akan semakin memanas tersebut, ungkapnya, wilayah laut dan udara Indonesia menjadi kunci dan sangat penting karena merupakan jalur yang paling mudah untuk dicapai. Ia mencontohkan ketika terjadi perang antara AS dengan China dan melibatkan Australia sebagai proxy.
"Jalur tercepat untuk menurunkan kekuatan militer masing-masing adalah melalui wilayah laut dan udara Indonesia," ucapnya.
Evan lantas mendorong adanya cetak biru (blueprint) alutsista jangka panjang pasca program Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF) berakhir pada 2024. Sebab, kebijakan MEF tidak dirancang untuk masa depan.
"MEF tidak didesain untuk hadapi tantangan di masa depan, tapi lebih ke kebutuhan dasar (minimum). Sekarang harus mulai bergeser, yang terbesar adalah kawasan Indo-Pasifik," tandasnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil