Konflik Berkepanjangan di Unisla Mulai Berdampak pada Kondusivitas Kampus?

Selasa, 09 Mei 2023 – 13:07 WIB
Ilustrasi foto: unisla.ac.id

jpnn.com, LAMONGAN - Konflik berkepanjangan di Universitas Islam Lamongan (Unisla) mulai berdampak terhadap kondusivitas di kampus terbesar di Lamongan, Jawa Timur tersebut, meski proses pembelajaran civitas akademika disebut masih berjalan normal.

Konflik yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu tersebut mulai berdampak pada pembayaran gaji para dosen dan pegawai yang bekerja di kampus tersebut.

BACA JUGA: Universitas Terbuka & PIK 2 Berkolaborasi, Ini Program Utamanya 

Unisla dinaungi oleh Yayasan Pembina Perguruan Tinggi Islam Sunan Giri Lamongan (YPPTI Sunan Giri) Lamongan yang didirikan pada 9 September 1991. Kampus ini memiliki sekitar 6.000 siswa dan 270 dosen.

"Sampai detik ini kami belum menerima gaji. Kawan-kawan teknik dan karyawan di fakultas kami, sampai detik ini belum menerima gaji. Kami berharap para orang tua kami di Unisla bisa rujuk dan rukun kembali," kata Sugeng dari Fakultas Teknik Islam Unisla dalam rilis yang diterima JPNN.com hari ini.

BACA JUGA: Universitas Bakrie Kupas Tuntas Pemetaan Waktu Respons Ambulans di Jakarta, Ini Hasilnya

"Dari orang tua wali dan mahasiswa mempertanyakan bagaimana kondisi seperti ini bisa terjadi terus menerus? Terutama mereka yang di semester 8 yang mau lulus pada tahun ini," tambah Sugeng, yang juga merupakan Wakil Dekan Fakultas Teknik Islam.

Ada dua pihak yang bertikai di YPPTI Sunan Giri, yakni Ketua Yayasan Bambang Eko Moeljono, yang menunjuk Abdul Ghofur sebagai Pj Rektor dan Wardoyo, yang mengklaim masih sebagai Ketua Yayasan.

BACA JUGA: Kunjungi Universitas Andalas, Wamenkumham Beri Kuliah Umum Argumentasi Hukum

Wardoyo menunjuk mantan perwira polisi Dody Eko Wijayanto sebagai Rektor.

"Pengangkatan Dody Eko Wijayanto sebagai rektor cacat hukum karena tidak sesuai dengan statuta universitas. Itu sebabnya kami cabut," kata Bambang Eko Moeljono dalam keterangan resmi yang diterima JPNN hari ini.

Ia mengatakan bahwa pengurus yayasan terdahulu telah habis masa baktinya per 2 Mei 2023 kemarin. Lalu, menurut Bambang, Dodi dinilai tidak memenuhi syarat, karena tidak memiliki Nomor Induk Dosen Nasional dan tidak berstatus dosen tetap.

Bambang mengungkapkan kejanggalannya mengapa pengurus yayasan lama memilih Dody.

"Pak Dodi pernah jadi dosen UNISLA, namun ia tidak aktif sejak 2016 sampai hari ini. Terakhir karena minta pindah ke UPN, kami penuhi semuanya secara administrasi, sehingga di awal 2023 namanya hilang di PD Dikti (Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kemdikbud)," kata mantan rektor Unisla periode 2014-2018 dan 2018-2022 ini.

"Itulah yang menyebabkan sembilan dari 10 dekan membuat mosi tidak percaya dan menolak Pak Dodi. Bukan Pak Dodi-nya yang ditolak, tetapi persyaratannya tidak terpenuhi," kata Bambang Eko.

Bambang menambahkan demi mendukung kondusivitas kegiatan belajar mengajar di kampus, pihaknya meminta kepada pengurus sebelumnya untuk menyerahkan seluruh kelengkapan dokumen dan keperluan organisasi, termasuk menyerahkan rekening penampung.

"Kegiatan belajar mengajar masih kondusif. Namun kami tidak punya akses anggaran sama sekali, akses di tangan pengurus yayasan yang lama. Rekening dipegang oleh Ketua dan Bendahara," kata Bambang Eko Moeljono.

Ia mengatakan pihaknya memberi batas waktu hingga Minggu, 7 Mei 2023 karena hal tersebut telah mengganggu kenyamanan para dosen dan pegawai di kampus.

Haji Agus Salim pengawas di YPPTI Sunan Giri mengatakan pihaknya mempertanyakan dana yang tersimpan di rekening penampung YPPTI.

Pasalnya, menurut hasil audit yang dilakukan oleh Itjen Kemendikbud Ristek Dikti terhadap Unisla, kampus tersebut memiliki kewajiban pengembalian dari uang pembayaran yang seharusnya tidak menjadi tanggungjawab mahasiswa penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebesar sekitar Rp 7,8 miliar.

"Bendahara Yayasan adalah putra Ibu Nuril dan Pak Ujang," kata Haji Agus Salim.

"Kok (pembayaran tidak selesai juga hingga kini. Katanya di rekening penampung ada saldo sebesar Rp 11,8 miliar, tetapi kok untuk pembayaran sebesar Rp 7,8 miliar tidak dapat selesai dengan cepat. Ada apa?" katanya.(ray/jpnn)


Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler