Konglomerasi Keuangan Harus Punya Induk Usaha

Selasa, 13 Juni 2017 – 17:22 WIB
OJK. Foto: JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera menerbitkan peraturan OJK tentang konglomerasi perusahaan jasa keuangan.

Dalam rancangan peraturan OJK (RPOJK) yang saat ini disusun, OJK mengatur penetapan perusahaan induk konglomerasi keuangan (PIKK) yang mewajibkan konglomerasi keuangan (KK) memiliki induk usaha holding company.

BACA JUGA: Calon ADK OJK Konsentrasi Atasi Fraud dan Modal Dasar

KK atau yang saat ini disebut induk usaha dapat berupa perusahaan jasa keuangan maupun perusahaan non-jasa keuangan.

Deputi Komisioner Pengawasan Terintegrasi OJK Agus Edy Siregar mencontohkan, konglomerasi terjadi pada Grup BCA.

BACA JUGA: Calon ADK OJK Sebut Pasar Perbankan Syariah Masih Rendah

BCA kini menjadi induk usaha anak-anak perusahaannya seperti BCA Sekuritas dan BCA Finance.

BCA disebut KK yang dapat menjadi PIKK setelah mematuhi POJK yang berlaku.

BACA JUGA: Menko PMK Dorong Jasa Keuangan jadi Mata Pelajaran di Sekolah

Sementara itu, Bank Mega saat ini bisa disebut KK yang membawahkan Mega Central Finance dan Mega Capital Sekuritas.

PIKK-nya bisa jadi Bank Mega atau perusahaan lain di bawah naungan gurita bisnis CT Corp yang dinilai layak.

’’OJK membuat aturan tersebut karena Indonesia belum punya aturan tentang konglomerasi keuangan. Sementara konglomerasi keuangan itu banyak yang berkongsi, baik dengan sesama perusahaan jasa keuangan ataupun perusahaan lain, seperti media massa,’’ katanya, Senin (12/6).

Pembentukan aturan holding company tersebut dibuat agar induk usaha atau entitas utama holding memiliki kendali terhadap perusahaan jasa keuangan lainnya, baik yang saat ini berstatus anak perusahaan maupun sister company.

Wewenang itu terutama mengenai manajemen risiko, tata kelola, dan likuiditas. Menurut Agus, Indonesia memang agak ketinggalan dalam hal tersebut.

Sebab, negara tetangga seperti Malaysia, Korea, dan Singapura telah menerapkan aturan tentang financial holding company.

Dalam RPOJK tentang PIKK, yang wajib membentuk PIKK adalah pemegang saham pengendali atau pemegang saham pengendali terakhir.

’’PIKK dapat berupa salah satu perusahaan jasa keuangan dalam atau dapat pula berupa entitas non-jasa keuangan. Baik yang sudah ada maupun yang baru dibentuk. Jika calon PIKK berupa entitas non-jasa keuangan, perusahaan itu lebih dulu dinyatakan sebagai Lembaga Jasa Keuangan Lainnya oleh OJK sebagaimana diatur pada UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dengan begitu, PIKK tersebut akan tunduk kepada dan diawasi OJK,’’ terang Agus.

Per Desember 2016, OJK mencatat ada 48 KK dengan total aset Rp 5.915 triliun atau 67,52 persen dari total aset sektor jasa keuangan.

KK yang wajib membentuk PIKK adalah konglomerasi yang mempunyai minimal dua perusahaan jasa keuangan, tetapi bidang industrinya berbeda.

Misalnya, bank dengan asuransi atau multifinance dengan perusahaan asset management.

Serta, minimal memiliki total aset Rp 2 triliun dari perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam konglomerasi itu.

OJK berencana mengesahkan aturan tersebut menjadi POJK sebelum akhir tahun. Selanjutnya, kewajiban penerapannya dilaksanakan pada 1 Januari 2019.

Sebab, beberapa emiten perusahaan jasa keuangan mungkin harus melakukan rapat umum pemegang saham (RUPS) yang berkaitan dengan kepemilikan perusahaan pada 2018 mendatang.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad menuturkan, pembuatan RPOJK konglomerasi keuangan merupakan upaya regulator dalam mengawasi konglomerasi yang semakin menggurita.

’’Bahwa mereka dilihat sebagai grup, bukan lagi kalau ada masalah oper sana, oper sini. Kalau ada masalah likuiditas dari anak usahanya, PIKK wajib melakukan kendali. Sebab, jika satu perusahaan sakit, kalau tidak diatur, bisa sakit semua,’’ ujarnya. (rin/c22/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... SLIK OJK Gantikan BI Checking


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler