jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Ekonomi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr Maxensius Tri Sambodo mengingatkan pemerintah soal pengendalian subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Pasalnya, konsumsi BBM bersubsidi menunjukkan tren peningkatan, padahal produksi minyak nasional tidak ikut naik.
BACA JUGA: Tolong! Pak Jokowi Jangan Naikkan Harga BBM dan Listrik, Berat untuk Rakyat
Hal itu menyebabkan beban subsidi APBN untuk biaya impor energi terus bertambah.
"Subsidi akan terus naik. Kalau tidak dikendalikan, bisa lebih parah lagi,” ujar Max dalam diskusi dengan media secara virtual yang dikutip di Jakarta, Jumat (16/4).
BACA JUGA: Harga BBM hingga Gas Melon Bakal Naik? DPR: Menteri ESDM Jangan Meneror Masyarakat
Max mengungkapkan subsidi energi, termasuk listrik, memiliki estimasi angka yang tinggi. Walaupun benefitnya bisa meredam inflasi, kemiskinan, pengangguran.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperlihatkan, realisasi subsidi energi pada 2021 mencapai Rp 131,5 triliun, naik 19 persen dari target 2021 Rp 110,5 triliun.
BACA JUGA: Puan Merespons Rencana Pemerintah Naikkan Harga BBM, Pakai Kata Cermat
Pemerintah menyebutkan kenaikan subsidi energi disebabkan pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat dalam pemulihan ekonomi.
Lonjakan signifikan berasal dari subsidi BBM dan LPG yakni Rp 83,7 triliun dari target awal Rp 56,9 triliun, sedangkan subsidi listrik turun jadi Rp 47,8 triliun dari target Rp 53,6 triliun.
Bila dibandingkan 2020, realisasi subsidi energi pada 2021 ini melonjak 37,4 persen. Realisasi subsidi energi pada 2020 mencapai Rp 95,7 triliun, terdiri dari subsidi BBM dan LPG Rp 47,7 triliun dan subsidi listrik Rp 48 triliun.
Pada 2022 subsidi energi ditargetkan naik menjadi Rp 134 triliun, terdiri atas subsidi BBM dan LPG Rp 77,5 triliun dan subsidi listrik Rp 56,5 triliun.
"Jika tidak dikendalikan dengan penyesuaian harga BBM, LPG, dan listrik, subsidi energi tahun ini bakal meroket seiring kenaikan harga minyak global," katanya.
Max menyatakan kenaikan konsumsi BBM bisa jadi karena kesejahteraan masyarakat membaik sehingga bisa membeli kendaraan. Di sisi lain, transportasi publik masih belum bagus.
"Ini harusnya direm seperti dengan menaikkan pajak kendaraan dan menaikkan harga BBM," kata pakar ekonomi energi dan sumber daya alam lulusan Australian National University (ANU) itu.
Kenaikan konsumsi BBM yang tidak diikuti dengan kebijakan penyesuaian harga energi membuat masyarakat terus berburu BBM yang murah. Tidak hanya di transportasi, di sektor industri juga ternyata banyak yang menyalahgunakan selisih harga.
Max menyarankan pemerintah untuk memperbaiki strategi komunikasi tentang harga minyak dan dampak yang ditimbulkan.
Sosialiasai harus dibangun berbasis data, guna memberikan informasi mengenai besarnya subsidi yang ditanggung pemerintah dan beban badan usaha akibat kenaikan harga minyak.
Menurutnya, komunikasi yang dibangun harus bisa menunjukkan setiap rupiah konsekuensi dari kenaikan harga minyak.
"Mudah-mudahan melalui literasi yang baik, kita bisa mengubah perilaku masyarakat. Ini subsidi sayang uangnya,” ujar Max. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul