jpnn.com, JAKARTA - Pandemi tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, sosial, dan kesehatan, namun juga pada ketahanan keluarga.
Konselor dari Rumah Konseling Dini Hanifa, S.Tr., S.Psi. menyebut perkembangan kesehatan mental keluarga cukup rentan di masa pandemi.
BACA JUGA: Gandeng Ease Indonesia, BonCabe Gelar Talk Show Tentang Kesehatan Mental
Menurut Dini, mengutip data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pada akhir Juni 2021 jumlah penduduk Indonesia yang berstatus cerai hidup berjumlah sebanyak 3,97 juta penduduk.
Angka itu setara dengan 1,46 persen dari total populasi di Indonesia.
BACA JUGA: Hari Kesehatan Mental Sedunia, Ahli Berbagi Kunci Sehat Rohani
"Tingginya angka perceraian ini bukan semata-mata karena adanya pandemi Covid-19, tetapi memang sudah ada faktor risiko dari sebelumnya yang kemudian diperparah dengan adanya pandemi," ungkap Dini kepada JPNN.com, Minggu (24/10).
Dini menyebutkan salah satu faktor yang cukup besar berdampak dari pandemi adalah masalah ekonomi yang mempengaruhi kesehatan mental keluarga.
BACA JUGA: Ahli Beberkan 4 Bahaya Self Diagnose Kesehatan Mental
Masalah itu, lanjut dia, contohnya adalah PHK, pemotongan gaji, serta menurunnya daya beli masyarakat yang membuat usaha melemah.
"Menyebabkan defisit pendapatan keluarga yang berpengaruh pada kesehatan mental keluarga, ungkapnya.
Selain itu, Dini menjelaskan pola hidup selama pandemi yang berubah juga turut mempengaruhi kesehatan mental keluarga. Adanya budaya work from home dan school from home memiliki dampak positif dan negatif.
Dampak positif seperti mengurangi pengeluaran dan anggota keluarga berkumpul dengan utuh di rumah.
Namun, di sisi lain ada tantangan, seperti pekerjaan yang tidak kunjung habis meskipun bekerja dirumah, orang tua yang mengambil peran untuk mengajarkan anak layaknya guru di sekolah,.
"Adanya kejenuhan pada anggota keluarga karena terlalu sering di rumah juga kadangkala membuat kesehatan mental keluarga terusik. Selain itu, penggunaan yang intens pada gadget karena aktivitas yang serba online ini memicu maslaah lain seperti kecanduan gadget," beber Dini.
Dini menuturkan adanya ketakutan untuk pergi keluar karena adanya pembatasan baik berskala besar maupun kecil yang seringkali dipersepsikan membatasai ruang gerak keluarga.
Pertemuan yang sangat sering dirumah tanpa diimbangi dengan aktivitas yang berkualitas tentu membuat keluarga jenuh.
"Terlebih pada beberapa keluarga yang rumahnya memiliki keterbatasan seperti terlalu sempit, gelap, dan kotor yang memicu stress pada anggota keluarga," katanya.
Pada aspek lain, lanjut Dini, pendapatan juga turut mempengaruhi kesehatan mental keluarga. Para suami yang biasanya mendapat penghasilan besar yang kemudian setelah pandemi menjadi kecil atau bahkan tidak ada sama sekali.
Hal itu bisa menjadi pemicu dan cenderung menyebabkan tingkat stres yang lebih tinggi. Stres adalah kondisi di mana adanya gap antara harapan dan kenyataan.
"Harapannya adalah dengan adanya penghasilan bisa digunakan untuk menafkahi keluarga, akan tetapi realitanya penghasilannya berkurang cenderung memicu emosi atau pikiran negatif," ungkap Dini.
Menurut dia juga, saat seseorang berpikiran/memiliki emosi negatif, maka dia membutuhkan sarana untuk menyalurkan hal-hal tersebut.
Dini menjelaskan jika di saat yang sama ada anggota keluarga yang memicu stres seperti istri yang tidak pengertian, atau anak yang merongrong minta uang maka hal ini bisa bisa berdampak pada adanya hubungan yang tidak harmonis antar satu sama lain.
"Anggota keluarga bisa menjadi samsak dari emosi atau pikiran negatif yang dirasakan," ucap Dini. (mcr10/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Elvi Robia