jpnn.com, JAKARTA - Prita Yulia Maharani, M.Psi., Psikolog, tim konselor dari aplikasi konseling Riliv mengatakan banyak orang yang mencari tahu gejala kesehatan mental di internet secara mandiri.
Mereka, kata Prita biasanya melakukan self diagnose.
BACA JUGA: Jangan Konsumsi Gula Berlebih, Kulit Cepat Menua Hingga Membuat Depresi
Self diagnose merupakan istilah yang digunakan ketika seseorang mendiagnosis penyakit yang sedang dialami berdasarkan pencarian informasi secara mandiri.
Ternyata, self diagnose juga banyak dilakukan untuk memeriksa kesehatan mental.
BACA JUGA: Waspadai Ibu dan Anak Depresi Berat di Masa Pandemi, Data Menunjukkan Sampai 48 Persen!
Menurut Prita banyak dari masyarakat yang melakukan self diagnose lalu percaya mentah-mentah bahwa mereka sedang mengalaminya.
Padahal, apa yang ada di internet belum tentu sesuai dengan mereka.
BACA JUGA: Atasi Depresi dengan Melakukan 3 Perubahan Gaya Hidup Ini
Meski mencari tahu gejala kesehatan mental di internet tidak selalu salah, tetapi dia mengingatkan untuk tetap melakukan cross check.
"Caranya ya dengan mendatangi psikolog atau psikiater profesional untuk tahu lebih lanjut masalah kesehatan mental yang sedang dialami. Dari situ bisa ditentukan langkah yang bisa diambil selanjutnya," kata dia.
Menurut Prita ada sejumlah bahaya yang tidak disadari dari melakukan diagnosis sendiri berdasarkan informasi di internet?
1. Self-diagnose hanya membuat panik
Manusia memiliki naluri untuk cenderung memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa menimpanya? Itulah mengapa lebih mudah bagi Anda untuk mengasumsikan hal-hal buruk ketika melakukan self-diagnose.
Pada akhirnya, self-diagnose hanya akan membuat Anda mengalami kepanikan yang tidak seharusnya terjadi. Periksakan diri ke psikolog profesional yang bisa menjelaskan kondisi dengan baik tanpa menimbulkan kepanikan dan kecemasan.
2. Self-diagnose membuat penyakit atau gangguan sebenarnya terabaikan
Prita mengingatkan gejala penyakit atau gangguan kesehatan mental yang ditebak lewat internet belum tentu benar. Bisa saja yakin sedang mengalami anxiety disorder, tetapi sebenarnya mengalami depresi mayor.
Bisa jadi pula kebalikannya atau bahkan bukan keduanya.
"Saat Anda melakukan self-diagnose, Anda jadi tidak tahu sebenarnya penyakit atau gangguan kesehatan mental apa yang sedang dialami. Anda hanya menduga-duga hal yang belum tentu kebenarannya. Hal ini merupakan masalah karena dengan begitu Anda jadi tidak bisa mendapatkan penanganan yang tepat," kata dia.
2. Self-diagnose bisa memperparah kondisi kesehatan mental
Prita menjelaskan salah satu risiko dari melakukan self-diagnose adalah dapat memperparah kondisi kesehatan mental. Ini bisa terjadi karena terlalu panik dan stres, tidak mengobati masalah kesehatan mental yang sedang dialami, atau bahkan mendapatkan pengobatan yang salah.
Setiap masalah kesehatan mental memiliki penanganan tersendiri. Ada yang bisa diatasi dengan terapi, ada pula yang membutuhkan obat-obatan tertentu.
Kelemahannya adalah tidak benar-benar tahu penanganan yang tepat untuk masalah kesehatan mental.
"Bisa jadi Anda salah langkah dengan menggunakan produk yang memiliki efek samping negatif," katanya.
3. Self-diagnose bisa membuatmu menyangkal masalah
Biasanya, seseorang akan menyimpulkan hal terburuk saat melakukan self-diagnose. Tetapi, ternyata hal kebalikannya juga berlaku. Tak jarang ada orang yang memilih untuk menyangkal gangguan kesehatan mental yang sedang dialami.
Mereka umumnya merasa masalah kesehatan mental yang ia alami tidak terlalu parah. Padahal penyangkalan tidak akan menyelesaikan masalah.
"Sebab bisa jadi masalah kesehatan mental yang dimiliki membutuhkan penanganan segera agar tidak semakin parah," ungkapnya.
4. Terlalu sering self-diagnose akan membuat enggan berkonsultasi dengan pakar
Prita menambahkan setelah googling masalah kesehatan mental, biasanya seseorang menjadi merasa tidak perlu lagi untuk berkonsultasi ke psikolog. Sebab, berpikir bisa tahu gejala yang dialami tanpa bantuan ahli.
Jika terlalu sering dilakukan, self-diagnose bisa memunculkan masalah kepercayaan kepada psikolog dan psikiater.
"Hal ini dapat terjadi karena sudah terlalu percaya diagnosis yang kamu dapat dari internet. Anda jadi cenderung mempercayai internet, bukan para ahli," ujar Prita Yulia Maharani. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia