Program Pertama, Sepuluh Siswa Pedalaman ke Ibu Kota

Minggu, 15 September 2013 – 06:45 WIB
SENYUM CERIA: Sepuluh pelajar SMP yang mengikuti gerakan SabangMerauke berfoto bersama sebelum kembali ke daerah masing-masing. Foto: Edward Suhadi for Jawa Pos

SEPULUH pelajar SMP dari sejumlah kawasan terpencil di pulau terluar Indonesia dikirim ke ibu kota Jakarta. Mereka diajak merasakan kehidupan lain di kota besar. Inilah gerakan pertukaran pelajar antardaerah ala anak-anak muda yang mengedepankan toleransi dan keberagaman.
------------
SEKARING RATRI ADANINGGAR, Jakarta
-----------
Tidak mudah bagi Paskalina Dogopia untuk mengikuti program pertukaran pelajar antardaerah SabangMerauke di Jakarta selama dua minggu. Berasal dari Desa Wagete yang merupakan daerah pedalaman di Papua Barat, siswi SMP YPPK St Fransiskus Xaverius Wagete itu harus menempuh perjalanan panjang menuju ibu kota. Tidak sehari dua hari, tapi hampir satu minggu.

”Sebenarnya, perjalanan dari rumah menuju bandara butuh dua-tiga hari. Tapi, karena ada jalan yang longsor, dia harus berangkat beberapa hari sebelumnya. Jadi, sampai Jakarta hampir seminggu. Dan, itu perjuangan banget bagi Paskalina,” ujar Co-Founder SabangMerauke Dyah Widiastuti saat ditemui bersama tiga rekannya di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (12/9) malam lalu.

BACA JUGA: Dedikasi Radja Murnisal Nasution di Tengah Keterbatasan Fisik

Meski begitu, perjalanan panjang Paskalina tidak sia-sia. Dia mendapatkan banyak pengalaman berharga selama dua minggu berada di ibu kota. Selain pengetahuan yang bertambah, dia bisa bertemu sembilan teman dari berbagai daerah dan suku di Indonesia. Selama dua minggu itu Paskalina juga bisa merasakan hidup di ibu kota dan tinggal bersama orang tua asuh yang disebut Family Sabang Merauke (FSM).

Begitu juga Ferdinand Titus. Pelajar CDC Java Etania School tersebut bahkan ’’daerah’’ asalnya tidak di Indonesia, tapi di Sabah, Malaysia. Orang tua pemuda asli Flores itu adalah TKI (tenaga kerja Indonesia) yang bekerja di negeri jiran tersebut. Bisa dibilang, Ferdinand belum pernah menginjakkan kaki di negara orang tuanya.

BACA JUGA: Infografis Senjata Andalan Baru Koran Hadapi Persaingan

’’Mungkin ini kali pertama dia mengunjungi Indonesia. Karena itu, dalam program ini dia belajar banyak hal baru, belajar sejarah Indonesia,” jelas salah seorang anggota tim perumus SabangMerauke, Putri Lestari.

Program SabangMerauke merupakan program pertukaran pelajar antardaerah di Indonesia yang bertujuan membuka cakrawala anak-anak Indonesia terkait kebhinekaan dan pentingnya pendidikan bagi masa depan mereka.

BACA JUGA: Lima Tahun Kontrak Ruko, Berbagi Ruangan dengan Pedagang Kain

Program pertukaran pelajar tersebut memang masih seumur jagung. Namun, mereka sudah meluluskan 10 pelajar SMP dari berbagai daerah di Indonesia sebagai angkatan pertama atau batch pertama, 29 Juni-14 Juli lalu.

Program inspiratif tersebut kali pertama digagas oleh tiga orang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pendidikan anak-anak daerah dan juga nilai kebhinekaan Indonesia. Mereka adalah Ayu Kartika Dewi, Aichiro Suryo Prabowo, dan Dyah Widiastuti.

Ketiganya pun membikin konsep pertukaran pelajar antardaerah di seluruh Indonesia yang kemudian diberi nama program SabangMerauke. Konsep program tersebut lantas disertakan dalam kompetisi Pertamax ApaIdemu dan meraih juara dua. Gerakan SabangMerauke sendiri didirikan bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2012.

Dyah Widiastuti yang akrab disapa Wiwie menuturkan, latar belakang berdirinya gerakan tersebut sebenarnya dari pengalaman setiap pendirinya yang pernah menjadi golongan minoritas. Wiwie yang pernah menempuh studi S-2 di University College, London, merasakan bagaimana menjadi kalangan minoritas sebagai muslim di Inggris. Begitu juga Aichiro yang juga pernah bersekolah di Belgia, yang rata-rata penduduknya beragama Katolik.

Sementara Ayu Kartika Dewi merupakan salah satu pengajar muda dari program Indonesia Mengajar gagasan Anis Baswedan. Kala itu Ayu ditempatkan di Halmahera, di salah satu desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Di desa tersebut para orang tua merecoki pemikiran yang salah terkait orang Kristen akibat konflik horizontal di Maluku pada 1998 antara orang Islam dan Kristen. Padahal, anak-anak tersebut sama sekali belum pernah bertemu orang Kristen. Karena itu, ketiganya sepakat mendirikan gerakan SabangMerauke agar setiap anak Indonesia mengenal baik keberagaman suku dan budaya di negaranya sendiri.

”Jadi, anak-anak Indonesia itu tidak mudah berprasangka sebelum mengenal lebih jauh anak-anak dari daerah lain,” ujar Wiwie.

Seusai kompetisi Pertamax ApaIdemu, sekitar Januari 2013 ketiganya mengajak beberapa orang sepaham untuk bergabung dengan gerakan tersebut. Akhirnya, delapan orang tim perumus berkumpul untuk mematangkan konsep gerakan SabangMerauke.

Mayoritas tim perumus merupakan alumnus pengajar muda dari program Indonesia Mengajar yang memiliki latar belakang pengalaman mengajar di daerah terpencil di Indonesia.

Dari hasil sejumlah pertemuan tim perumus, akhirnya program SabangMerauke dapat dimatangkan. Mereka memutuskan, program SabangMerauke diperuntukkan para pelajar SMP dari daerah pinggiran Nusantara.

Waktu program ditentukan dua minggu pada saat libur sekolah. Tidak hanya itu. Mereka merancang konsep terkait para pendamping anak-anak tersebut. Di antaranya ada kakak pendamping serta keluarga pendamping.

”Kami putuskan ada istilah ASM yang kepanjangannya Anak Sabang Merauke, lalu KSM, Kakak Sabang Merauke,” papar Meiske Demetria Wahyu, anggota tim perumus.

Menyoal program selama dua minggu, Wiwie memaparkan, setidaknya lima hari dalam seminggu anak-anak tersebut akan mengikuti berbagai kegiatan. Ada culture day, career day, nationalism day, technology day, social day, religious and cultural diversity day, fun day, art day, hingga education day. Sementara weekend adalah waktu peserta bersama FSM (Famili Sabang Merauke).

’’Intinya, kami ingin menanamkan tiga values kepada anak-anak SabangMerauke. Yaitu, toleransi terhadap kebhinekaan, pendidikan, dan keindonesiaan,” ujar perempuan berjilbab itu.

Furiyani Nur Amalia, juga anggota tim perumus, memaparkan, mereka mengupayakan agar para ASM, KSM, dan FSM bisa membaur. Misalnya, ASM yang beragama Katolik akan bersama FSM yang beragama Islam. Tujuannya agar timbul rasa toleransi di antara kedua pihak.

’’Toleransi itu bukan sesuatu yang cuma bisa diajarkan, tapi juga harus dialami sendiri,” papar alumnus Teknik Elektro ITS itu.

Penyelenggaraan program SabangMerauke batch pertama berjalan lancar. Para ASM mendapatkan beragam pengalaman menarik dan berharga selama mengikuti program. Misalnya, ketika mereka mengikuti social day. ASM diajak memberi makan rusa di Komunitas Penyelamat Hewan Telantar Garda Satwa.

Mereka juga sempat berdialog dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dalam career day dan mengunjungi kantor Edward Suhadi Production untuk melihat aktivitas para pekerja kreatif.

Sementara pada technology day, para ASM diajak mengunjungi kantor Microsoft Indonesia. Saat religious dan cultural diversity day, mereka mengunjungi beberapa tempat ibadah, seperti Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Kemudian, pada nationalism day, anak-anak diajak mengunjungi museum perumusan naskah proklamasi dan Monas.

Mereka juga diajak bertemu para veteran perang untuk mempertebal rasa nasionalisme. Pada hari terakhir sebelum penutupan program, mereka mengikuti education day di Universitas Indonesia (UI). Di sana mereka bertemu Dekan Fakultas Ekonomi UI Jossy P. Moeis PhD.

”Pada kesempatan itu anak-anak ASM diberi semangat agar jangan putus sekolah. Mereka juga diharapkan bisa menyemangati satu sama lain untuk terus sekolah. Sebab, biasanya anak-anak di pelosok itu nggak pernah bermimpi untuk kuliah,” papar Wiwie.

Dia menambahkan, selama program SabangMerauke batch pertama berjalan, terlihat betapa tingginya rasa toleransi yang ditunjukkan para FSM. Dia mencontohkan peserta program Dwi Villa Novitasari yang merupakan etnis Tengger beragama Hindu. Dia tinggal bersama FSM muslim taat.

”Dia tinggal sama Bu Gita yang jilbabnya panjang. Tapi, yang bikin terharu, Bu Gita sejak awal concern sekali pada Villa,” papar Wiwie.

Putri pun ikut bercerita mengenai toleransi dari keluarga Bu Ratna yang menjadi FSM bagi siswi SMP 03 Satu Atap Nanga Lauk, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, bernama Apipa. Apipa adalah muslim, sementara Bu Ratna adalah Nasrani. Namun, karena bertepatan dengan bulan puasa, Bu Ratna rela bangun lebih pagi untuk menyiapkan makan sahur bagi Apipa.

’’Saking takutnya telat nggak sahur, Bu Ratna bangun jam setengah dua. Akibatnya, makanan jadi dingin pas mau dimakan. Dari sini kita lihat tingginya rasa toleransi di antara para FSM,” kenang Putri.

Begitu program usai, anak-anak ASM kembali ke daerah masing-masing. Namun, mereka tetap mendapat program penugasan yang terus dipantau KSM. Yang menarik, anak-anak tersebut mengalami banyak perubahan positif setelah mengikuti program SabangMerauke.

”Guru-gurunya bilang, anak anak ASM jadi lebih berani mengungkapkan pendapat di depan teman-temannya. Mereka juga ada yang diundang untuk menceritakan pengalaman mereka di SabangMerauke oleh bupatinya. Karena itu, kami berharap program ini terus berlangsung dan jumlah pesertanya bertambah,” imbuh Wiwie. (*/c2/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Aku Bercita-cita Berangkatkan Orangtua Pergi Haji, Tapi Ayah Sudah Duluan Pergi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler