India tetap menjadi pasar potensial bagi produk Indonesia. Tapi, proyek PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) mengancam ekspor batu bara Indonesia ke negeri Bollywood tersebut. Berikut catatan wartawan Jawa Pos ANDRIANTO WAHYUDIONO dan DHIMAS GINANJAR dari India.
Sebenarnya saat ini di beberapa kawasan di India sedang musim hujan. Hampir setiap hari hujan turun cukup deras. Kalau sudah seperti itu, genangan air ada di mana-mana. Daerah yang sudah kumuh jadi tambah kumuh. Kemacetan karena banjir di jalan-jalan juga menjadi pemandangan rutin setiap musim hujan. Tidak jauh berbeda dengan Jakarta atau Surabaya.
Namun, siang itu (15/9), Kota Chennai cukup menyengat. Matahari bersinar dengan sempurna. Sudah dua hari Chennai tidak diguyur hujan. Jalan-jalan yang semula basah dan banyak genangan kering kerontang siang itu. Bahkan, debu beterbangan di sekitar proyek pembangunan Metro (sebutan MRT, mass tapid transit, di India) Chennai yang diharapkan tahun depan bisa rampung.
BACA JUGA: MRT Jadi Andalan, tapi Kekumuhan Ada di Mana-Mana
Dharani, sopir taksi yang membawa Jawa Pos berkeliling Kota Chennai, mengungkapkan, kondisi jalan berdebu bakal lama dihirup warga. Sebab, belum ada kepastian kapan proyek Metro bakal selesai.
"Kabarnya tahun depan sudah bisa beroperasi. Tapi, bisa jadi lebih lama karena ancaman krisis ekonomi," katanya.
BACA JUGA: Istri Maklumi Suami Bagi Kasih Sayang dengan Kuda
Kekhawatiran Dharani soal ancaman krisis ekonomi sangat beralasan. Menguatnya dolar Amerika atas rupee (mata uang India) bisa jadi membuat kucuran dana pembuatan rel dan stasiun Metro berkurang. Belum lagi banyak ruas jalan, flyover, dan rel Metro yang belum tuntas digarap. Akibatnya, banyak beton penyangga di tengah kota yang seolah mangkrak karena sudah lama tidak disentuh proyek lagi.
Misalnya, di beberapa ruas jalan menuju Rajiv Gandhi Salai, Thanthai Periyar Nagar, Valasaravakkam. Beberapa bangunan bertingkat yang akan difungsikan sebagai stasiun MRT dibiarkan terbengkalai. Fisik gedung bercat biru yang kiri kanannya rel Metro itu juga rusak parah. Kaca-kacanya pecah, cat di tembok juga sudah mengelupas.
Meski demikan, alat-alat berat tetap siaga di beberapa titik. Berupaya menyelesaikan megaproyek itu meski menyisakan kemacetan, debu, dan kekumuhan.
BACA JUGA: Program Pertama, Sepuluh Siswa Pedalaman ke Ibu Kota
Tekad India untuk menyediakan fasilitas layak bagi rakyatnya juga terlihat dari usaha mereka melakukan impor. Setidaknya, hal itu terlihat dari catatan Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC), pusat promosi perdagangan Indonesia, yang berkantor di Chennai. Menurut Karteker Direktur ITPC Martin Hutabarat, krisis moneter yang mengancam India, rupanya, tidak membuat importer negara itu berhenti mendatangkan komoditas dari negara lain.
Bagi Indonesia, kata Martin, India masih menjadi pasar potensial untuk beberapa produk. Terutama batu bara dan palm oil. Apalagi, negara tua tersebut masih terus berusaha memenuhi kebutuhan listrik rakyatnya.
Setiap tahun impor dua sektor tersebut mendominasi hingga 60"75 persen perdagangan di India. Bahkan, pria 33 tahun itu menyebutkan, neraca perdagangan Indonesia tidak pernah defisit dengan India.
Menurut catatan ITPC, pada 2011, nilai perdagangan kedua negara mencapai USD 17,6 miliar. Indonesia surplus USD 9 miliar. Tahun lalu total perdagangan mencapai USD 16,8 miliar. Indonesia pun mempertahankan surplus USD 8 miliar. Tahun ini, sampai Juni lalu, Indonesia masih surplus USD 4,5 miliar dari total perdagangan USD 9 miliar.
"Target Kementerian Perdagangan, pada 2015 perdagangan Indonesia dengan India mencapai USD 25 miliar," ujar Martin.
Namun, neraca perdagangan Indonesia bisa mengalami defisit jika para pengusaha tanah air tidak melihat potensi lain. Sebab, ancaman krisis ekonomi tidak membuat pemerintah India mengurungkan rencananya membangun PLTN Kudankulam di Provinsi Tamil Nadu, Selatan India.
"Kalau (PLTN) sudah jadi, terang semua daerah sini. Mereka bisa-bisa tidak memerlukan batu bara kita lagi," ungkap Martin.
Ambisi India membangun PLTN telah direstui mahkamah agung (MA) setempat pada awal Mei lalu. Putusan mahkamah menyebutkan bahwa PLTN aman dan penting untuk masyarakat serta pertumbuhan ekonomi India.
Sebenarnya PLTN Kudankulam dibangun sejak 2002. Namun, proyek tersebut tidak kunjung rampung karena terus ditentang Gerakan Rakyat Antinuklir India. Karena itu, restu MA bakal dijadikan senjata untuk membangun kembali PLTN yang terletak 650 kilometer selatan Chennai.
Pria yang sudah setahun bertugas di ITPC itu menambahkan, sektor lain yang menarik untuk dijual ke India adalah customer goods. Ada beberapa merek sabun yang tidak terlalu mendapat tempat di masyarakat Indonesia namun laris manis di India.
"Terutama produk turunan palm oil berpotensi paling besar," tuturnya.
Seperti diketahui, pemanfaatan minyak kelapa sawit bisa menghasilkan mentega, cokelat, es krim, pakan ternak, dan minyak goreng. Bahkan bisa untuk membuat obat-obatan dan bahan kosmetik.
Sektor industri kimia juga menarik karena kelapa sawit bisa digunakan sebagai bahan membuat detergen hingga sabun. "Orientasi pengusaha Indonesia menghindari pasar India harus diubah. Kita tidak bisa menutup mata bahwa India salah satu pasar terbesar di dunia. Daya beli masyarakat di sini tertinggi keempat di dunia," tegasnya.
Menurut suami Paskawati itu, dampak pelemahahan rupee terhadap dolar Amerika tidak terlihat di sektor retail. Terbukti, retailer-retailer kelas dunia, khususnya fashion, berebut masuk ke negeri berpenduduk lebih dari 1 miliar orang itu. Tidak sulit mencari merek-merek fashion papan atas di pusat-pusat perbelanjaan. Di mal-mal, pengunjung menenteng tas berlogo merek-merek terkenal itu.
"Orang dengan kekayaaan USD 10 juta di India sangat banyak. Saya pernah kedatangan tamu dengan penampilan sederhana tapi mau membeli tambang di Indonesia," ungkap Martin.
Besarnya pasar di India seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik oleh para pengusaha Indonesia. Namun, diakui, hal itu tidak mudah karena para pelaku usaha masih ragu menanamkan modal di India. Hingga saat ini, perusahaan Indonesia yang berinvestasi di negeri Mahatma Gandhi itu kurang dari 20. Bandingkan dengan perusahaan India di Indonesia yang mencapai 40-an.
Di samping itu, pemerintah diharapkan perlu memberikan perhatian lebih kepada lembaga-lembaga seperti ITPC. Sebab, kata Martin, ITPC di Chennai masih satu-satunya di India. Padahal, tugasnya sebagai penyambung koneksitas pedagangan antara India dan Indonesia cukup vital.
"Orang Indonesia kenal dengan India karena film-film Bollywood. Tapi, tidak banyak orang India yang tahu Indonesia," katanya.
Martin juga berharap ada maskapai penerbangan Indonesia yang menyediakan penerbangan langsung ke India. Menurut dia, hal itu penting agar pintu untuk mengenal masing-masing negara terbuka lebar. Dia yakin penerbangan langsung bisa membuat perdagangan Indonesia dan India meningkat tajam ketika warga kedua negara saling mengenal. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dedikasi Radja Murnisal Nasution di Tengah Keterbatasan Fisik
Redaktur : Tim Redaksi