jpnn.com, JAKARTA - Kemenangan mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad (92) atas petahana PM Najib Razak, dan berhasil mematahkan dominasi UMNO dan Barisan Nasional yang telah berkuasa selama 61 tahun, dalam Pemilu Malaysia, Rabu (9/5/2018), menginspirasi elemen-elemen masyarakat di Tanah Air. Mereka mulai melirik tokoh-tokoh sepuh untuk didorong kembali, seperti Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (71) dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (69). Keduanya sama-sama mantan Presiden RI.
“Bedanya, kalau Pak SBY terhalang konstitusi, Bu Mega tidak. Kalau Mahathir bisa, saya pastikan Bu Mega juga bisa menjadi calon presiden. Apalagi kharisma politik Bu Mega lebih dahsyat,” ungkap Ketua Umum Putra-putri Jawa Kelahiran Sumatera, Sulawesi dan Maluku (Pujakessuma) Nusantara Suhendra Hadi Kuntono di Jakarta, Jumat (11/5/2018).
BACA JUGA: Zulkifli: Kalau Cak Imin jadi Cawapres Kita Enak
Pasal 7 UUD 1945 menyatakan, “Presiden dan wakil presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."
“Pak SBY yang sudah menjabat dua periode, 2004-2009 dan 2009-2014, tak bisa lagi maju sebagai capres. Sebaliknya, Bu Mega yang baru menjabat satu periode, itu pun meneruskan jabatan Gus Dur (alm KH Abdurrahman Wahid, Presiden RI periode 1999-2001 yang kemudian dilanjutkan Mega periode 2001-2014, red), masih bisa maju sebagai capres,” jelas Suhendra.
BACA JUGA: Cak Imin: Bang Zul Dukung JOIN
Seperti Mahathir yang setelah tak menjabat PM Malaysia (1981-2003) konsisten menjadi oposisi dan akhirnya memimpin koalisi Pakatan Harapan, kata Suhendra, demikian pun Megawati yang setelah tak lagi menjabat Presiden RI juga konsisten sebagai oposisi bersama partainya. Bahkan harus “puasa kekuasaan” selama 10 tahun sebelum akhirnya berhasil merebut kembali kursi RI-1 melalui Joko Widodo yang dicalonkannya pada Pilpres 2014.
Hal itu, jelas Suhendra, berbeda dengan tokoh-tokoh sepuh (senior) lainnya seperti Amien Rais yang meskipun partainya, Partai Amanat Nasional (PAN), menempatkan kadernya di Kabinet Kerja, namun sikap politiknya di DPR RI justru kerap berseberangan dengan pemerintahan Presiden Jokowi.
BACA JUGA: Renas 212 JPRI Usulkan Din Syamsuddin Jadi Pendamping Jokowi
“Itu namanya oposisi pura-pura yang bermain dua kaki. Kursi empuknya mau, risiko politiknya enggak mau,” cetus pria low profile kelahiran Medan 50 tahun lalu yang juga inisiator berdirinya Badan Sinkronisasi Kebijakan Pusat dan Daerah sebagai solusi atas banyaknya kebijakan yang tumpang-tindih, serta mencegah polemik antar-institusi negara.
Konsistensi sikap Megawati itulah, bahkan saat rezim Orde Baru masih berkuasa, yang menurut Suhendra menjadikan putri Proklamator RI Bung Karno itu “laku jual” di panggung politik nasional, bahkan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang.
“Bahwa pada Pilpres 2014 Bu Mega memberikan ‘sampurnya’ kepada Pak Jokowi, itu karena Bu Mega memang tidak ambisi dengan kekuasaan. Yang selalu dipikirkan Bu Mega adalah nasib bangsa.
Pada Pilpres 2019, bisa jadi Bu Mega akan kembali memberikan ‘sampurnya’ kepada Pak Jokowi, dan itu saya rasa karena sikap kenegarawanan beliau demi estafet kepemimpinan nasional supaya ada regenerasi,” papar mantan Ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Indonesia-Vietnam ini.
Terlepas apakah nanti Megawati maju sebagai capres atau tidak, tutur Suhendra, yang jelas pesona dan kharisma politik Megawati belum luntur sebagaimana Mahathir Mohammad, bahkan lebih dahsyat karena Megawati jauh lebih muda. Meski demikian, menurut Suhendra, lebih baik Megawati kembali menjadi “Queen Maker” saja sebagaimana pada Pilpres 2014.
“Soal konsistensi sikap politik, sejauh ini Bu Mega belum tertandingi oleh siapa pun, sehingga pesona dan kharisma politiknya tetap memancar sebagaimana Mahathir,” tandasnya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gatot Nurmantyo Tidak Ada Apa-apanya Dibanding AHY
Redaktur & Reporter : Friederich