Kontradiksi PP Nomor 26 Tahun 2023 dengan UU Kelautan, Dilema Ekonomi vs Ekologi

Jumat, 09 Agustus 2024 – 17:29 WIB
Pengamat Maritim, Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa mengingatkan para pihak bahwa ada dilema dan kontradiksi dalam implementasi PP Nomor 26 Tahun 2023 dengan pasal 56 UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan.

Menurutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut cenderung memprioritaskan keuntungan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya laut, terutama dalam konteks hasil sedimentasi laut.

BACA JUGA: Menangkal Korupsi di bidang Kelautan, Butuh Calon Pimpinan KPK Berlatar Belakang Maritim

Sementara Pasal 56 UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan secara eksplisit menekankan pentingnya perlindungan lingkungan laut sebagai prioritas utama.

“Dari itu diskrepansi antara kedua regulasi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, terutama di wilayah pesisir dan laut,” jelas Capt. Marcellus.

BACA JUGA: Hadirkan Talenta Maritim Skala Global, PIS Gandeng Singapore Maritime Foundation

Dia menyampaikan hal tersebut sebagai perspektif hukum lingkungan termasuk menjadi salah satu persoalan mendasar dalam kerangka regulasi Indonesia.

Kontradiksi itu disampaikan Capt. Hakeng, sapaan karib Marcellus dalam bentuk tesis berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Pengelolaan Sumber Daya Laut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 Berdasarkan Perlindungan Kelestarian Kelautan”.

BACA JUGA: Ssttt... Vietnam Curi Data Intelijen Indonesia untuk Bahas Perbatasan Laut Kedua Negara

Karya tesis itu ditulis dalam kapasitasnya sebagai mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.

Tesis tersebut telah diuji, dipertahankan serta disidangkan, pada 20 Juli 2024, dengan hasil sangat baik di hadapan para penguji antara lain Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum., sebagai ketua Penguji, Assc. Prof. Dr. Erwin Owan Hermansyah , S.H., M.H., sebagai Penguji I, dan Dr. Dwi Atmoko, S.H., M.H., sebagai penguji II.

Dalam konteks yuridis normatif, penelitian Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan kasus untuk menyoroti ketidakselarasan antara regulasi dan realitas lapangan.

Teknik analisis tersebut sangat membantu dalam mengorganisir dan mengurutkan data, sehingga memberikan gambaran yang jelas tentang konflik regulasi, dampak lingkungan, dan diskriminasi yang terjadi.

Dalam penelitian itu ditemukan bahwa diperlukan revisi dan penegakan hukum yang lebih tegas untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya laut bisa dilakukan secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan dan masyarakat lokal.

Selanjutnya Capt. Hakeng menjelaskan bahwa revisi tersebut juga harus didasarkan pada kajian ilmiah dan masukan dari berbagai pihak.

“Agar mampu mengakomodir kepentingan yang beragam, serta meminimalisir potensi konflik di masa mendatang,” jelas Hakeng.

Dia menambahkan bahwa Undang-undang yang seharusnya menjadi panduan utama dalam pengelolaan sumber daya laut, justru terpinggirkan oleh peraturan pemerintah yang lebih fokus pada aspek ekonomi.

“Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai prioritas pemerintah dalam melindungi lingkungan laut, terutama dalam menghadapi tekanan pembangunan ekonomi yang terus meningkat,” tegas pembina dari Perhimpunan Mahasiswa Peduli Hukum (PMPH)tersebut.

Contoh nyata dari konflik regulasi ini, tambah Capt. Hakeng, dapat dilihat pada kasus penambangan pasir laut ilegal di Batam dan Tanjung Balai Karimun.


“Kasus-kasus ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum, yang ditandai dengan ketidakadilan dalam pemberian sanksi terhadap pelaku ilegal. Sering kali, pelaku dengan kekuatan ekonomi besar mampu lolos dari jeratan hukum atau menerima sanksi yang ringan, sementara kerusakan lingkungan yang diakibatkan sangat signifikan,” ujar Capt. Hakeng.  


Fenomena ini, lanjut Capt. Hakeng, menunjukkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum yang lebih mengutamakan aspek ekonomi daripada perlindungan lingkungan.

“Maka dampak lingkungan dari penambangan pasir laut tanpa izin sangat merusak kondisi ekosistem laut. Aktivitas ini mengubah pola sedimentasi laut dan merusak habitat pesisir yang penting bagi keberlanjutan ekosistem laut,” tegas Capt. Hakeng.

Selain itu, pencemaran akibat aktivitas tersebut juga memperburuk kondisi lingkungan laut, mempercepat degradasi sumber daya hayati laut, dan meningkatkan risiko bencana alam seperti erosi dan abrasi pantai.

Penegakan hukum yang tidak efektif terhadap pelaku penambangan ilegal ini semakin memperparah masalah lingkungan laut yang sudah ada.

Kondisi ini diperburuk oleh adanya kebijakan diskriminatif yang tercermin dalam PP Nomor 26 Tahun 2023, yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya laut.


“Peraturan ini lebih condong mengatur perizinan bagi pelaku usaha besar, sementara masyarakat lokal yang hidup dari laut sering kali tidak memiliki akses yang sama. Diskriminasi ini memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi, di mana masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya laut untuk kehidupan sehari-hari sering kali tersisih dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan,” sambung Captn. Hakeng.


Untuk mengatasi masalah ini, lanjut Captn. Hakeng, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dalam pembuatan regulasi yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal serta pemangku kepentingan terkait.

“Langkah ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan tidak hanya berpihak pada kepentingan ekonomi besar, tetapi juga memperhatikan kebutuhan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kelestarian sumber daya laut,” ujarnya.

Dia menekankan bahwa pendekatan yang lebih holistik ini juga akan mendorong pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan, selaras dengan tujuan jangka panjang dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut. (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler