jpnn.com - Sejumlah siswa di Surabaya, Jawa Timur ditunjuk menjadi konselor sekolah. Salah seorang di antaranya Wina, nama samaran, siswi kelas VIII salah satu SMP negeri.
Kisah Wina layak menjadi teladan bagi siswa lain. Gadis muda itu mampu bangkit meski pernah menjadi korban bullying di sekolahnya.
BACA JUGA: Tekad Penggawa Persib Sebelum Bertandang ke Laos
Laporan Ferlynda Putri, Surabaya
’’NANTI nama saya jangan dimunculkan di koran ya, Kak. Saya malu,” pinta Wina, 15, saat kali pertama bertemu Jawa Pos (Induk JPNN.com) di sentra PKL Gayungan.
BACA JUGA: Harga Ratusan Juta Rupiah, Anggap seperti Anak Sendiri
Dia diantar dua orang dari selter (tempat penampungan) milik Bapemas Surabaya. Bapemas memang memiliki selter khusus untuk anak-anak bermasalah. Di selter itulah anak-anak tersebut disembuhkan dari penyakit sosialnya.
Wina kini aktif menjadi konselor sebaya. Dia dipercaya sekolahnya untuk melakukan tugas itu sejak November tahun lalu.
BACA JUGA: Yosandy Lip San, 10 Tahun Geluti Profesi Pembaca Tulisan Tangan
’’Sekarang saya mencoba melakukan tugas dengan sebaik-baiknya,” tuturnya.
Sebagai konselor, Wina tidak memaksa seluruh temannya untuk curhat. Sering, secara tidak sadar, teman-temannya menceritakan masalahnya. Terkadang di kantin atau di kelas ketika jam istirahat.
”Saya hanya mendengarkan. Nanti kalau sudah selesai bercerita, saya hanya menasihati. Terkadang kalau tidak bisa memberikan nasihat, saya lapor ke guru bimbingan konseling (BK),” katanya.
Anak kedua di antara dua bersaudara tersebut mempunyai cara agar teman-temannya mau curhat. Wina sengaja menyembunyikan identitasnya sebagai konselor agar teman-temannya leluasa untuk curhat. Karena alasan itu pula, dia tidak mau identitasnya dimuat di Jawa Pos.
Nasihat yang diberikan Wina tidak jarang merupakan pengalaman pribadi. Namun, dia tidak pernah menceritakan pengalamannya itu kepada orang lain.
’’Saya bilang saja kalau kenal orang di cerita saya. Padahal, ya itu pengalaman saya sendiri,” katanya, lantas tersenyum.
Pasien Wina rata-rata bercerita mengenai hubungan dengan keluarga dan kesulitan sekolah. Beruntung, ketua OSIS itu pernah mengalami permasalahan yang sama.
’’Saya dulu nakal banget. Tapi, saya kini dapat belajar dan menasihati orang dengan pengalaman saya di masa lalu,” beber Wina.
Dia lantas menceritakan masa lalunya yang kelam. Sejak SD, Wina sering berkelahi. Di sekolah lamanya, Wina bahkan terkenal jago pukul. Dia sering memukul teman yang mengganggu gengnya.
”Pernah waktu kelas VII, saya didatangi kakak kelas. Mereka membentak, tapi saya tidak takut. Saya pukul mereka semua,” kenangnya.
’’Pokoknya, yang berani mengganggu saya pasti saya datangi,” tambah Wina.
Keberanian Wina ternyata membawa bencana. Sehari setelah memukul kakak kelasnya, dia dipanggil guru BK.
’’Saya dulu memang bergaul dengan teman yang salah,” akunya.
Bersama teman-temannya, Wina sering bolos sekolah. Sekolah baginya adalah tempat yang tidak nyaman. ’’Saya dulu itu kalau lihat soal ulangan, mikirnya kenapa kertas seperti ini saja harus pusing-pusing,” tuturnya.
Wina sebenarnya memiliki bakat di bidang tarik suara. Ayahnya pun memanjakannya. Semua yang diminta diiyakan.
Dia bisa mengikuti kursus musik sesuai hobinya. Semua berubah saat ayah Wina jatuh sakit. Barang-barang di rumah habis dijual untuk pengobatan ayahnya.
Perempuan yang hobi membaca tersebut tidak bisa lagi seenaknya minta ini itu kepada ayahnya. Apalagi sejak sakit hingga meninggal, ayah Wina dirawat di rumah istri pertamanya.
Akibatnya, Wina jarang bertemu ayahnya. ’’Sejak ayah meninggal, Mama yang banting tulang untuk menghidupi kami,” kata Wina.
Mama Wina bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Setiap hari mama Wina bekerja mulai pukul 06.00 hingga 22.00. Karena itu, waktu untuk Wina sangat sedikit. Wina merasa haus kasih sayang.
Waktu itu, Wina ingin seperti teman-temannya. Dia lantas mencari cara untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Wina yang gemar menyanyi lalu bertemu dengan tetangganya yang punya usaha orkes.
Dia bergabung. Setiap ada hajatan yang menampilkan orkes, Wina diajak manggung oleh tetangganya tersebut. ’’Beruntung, saya hanya nyanyi. Tidak sampai digoda-goda gitu,” katanya.
Sekali manggung, Wina mendapatkan bayaran Rp 500 ribu. Uang itu digunakan untuk membeli apa yang diinginkan Wina. ’’Namun, tidak setiap hari bisa manggung. Hanya pas ada hajatan,” ujarnya.
Kondisi ekonomi dan kebandelan Wina di sekolah membuatnya semakin dijauhi teman. Bahkan, banyak yang sering mem-bully-nya.
”Banyak yang bilang saya tidak bakal bisa sukses,” tuturnya.
Lambat laun Wina seperti mengamini ejekan itu. Dia seakan terdoktrin bahwa hidupnya tidak akan bisa sukses. Akibatnya, Wina semakin malas belajar. Sekolahnya pun berantakan.
”Apalagi waktu itu ada guru yang bilang bahwa saya tidak bakal naik kelas. Saya semakin down,” katanya.
Wina lalu memutuskan untuk berhenti sekolah. Selama enam bulan dia tidak bersekolah. Dia merasa trauma dengan sekolah.
Suatu ketika, Wina bertemu dengan petugas dari Bapemas Surabaya. Wina yang tidak bersekolah itu lantas diajak bergabung di selter Bapemas. Di sana, Wina diajari untuk hidup lebih baik.
Dia juga memperdalam ilmu agama. Di selter itu pula, Wina mendapatkan motivasi baru. ’’Saya harus membuktikan kepada mereka yang pernah mem-bully bahwa saya akan jadi orang sukses,” ucap Wina tegas.
Wina lantas bersekolah lagi di tempat yang baru. Teman-teman lamanya pun heran melihat Wina bisa berubah total.
Tidak ada lagi kata-kata kasar dari bibir Wina. Tidak ada lagi Wina yang suka berantem dan bolos sekolah.
Yang ada adalah Wina yang senang belajar dan supel kepada lingkungannya. Dia bahkan kini mengenakan hijab.
’’Mereka tidak boleh mewarnai hidup saya dengan hal yang tidak baik. Saya yang akan mewarnai mereka supaya menjadi orang yang lebih baik,” katanya.
Setiap pulang ke rumah, Wina selalu berusaha dekat dengan mamanya. ’’Saya senang kalau pulang bisa bertemu mama. Saya ingin membayar kebersamaan yang dulu hilang,” tuturnya. (*/c6/oni)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Setelah Melahirkan, Bocah SD Korban Perkosaan itu Serius Hadapi Unas
Redaktur : Tim Redaksi