jpnn.com - BOCAH perempuan korban pemerkosaan, Siska (nama samaran), telah melahirkan seorang anak laki-laki. Sembari belajar mengasuh anak, dia berusaha mengejar pelajaran yang tertinggal, di tempat persembunyiannya agar bisa ikut unas, sembari melupakan trauma.
------------
Laporan Eko Priyono, Surabaya
-----------
TIGA perempuan terlihat serius menghadap ke tembok tempat papan tulis warna putih bersandar. Sesekali ketiganya berbicara lirih, tapi lebih banyak seriusnya. Terutama Siska yang memegang spidol sembari menatap tajam ke arah tulisan angka-angka yang belum ada jawabannya.
BACA JUGA: Pemeran Utama Tausiyah Cinta Berusaha Hafalkan 30 Juz Alquran
Sesosok bayi yang dibalut kain tertidur pulas tidak jauh dari tempat ketiganya duduk. Sambil mengerjakan soal-soal matematika, Siska sesekali melirik ke arah anaknya yang tiba-tiba menggeliat.
Konsentrasinya berlanjut ketika sang anak kembali tertidur pulas. ”Ojo tangi-tangi yo (jangan sering bangun ya, Red),” kata Siska dengan nada suara masih anak-anak.
BACA JUGA: Sekolah Anak-anak TKI, Gurunya Bergelar Master dan Doktor
Siska memang sedang mengalami kondisi serbasulit. Anak yang tinggal di kawasan Demak itu berusaha membagi konsentrasi untuk menghadapi tiga masalah berat sekaligus. Terlalu berat untuk anak seusia Siska yang masih duduk di bangku SD kelas VI.
Masalah tersebut datang bertubi-tubi seolah tidak memberi kesempatan baginya untuk menikmati masa kecilnya.
BACA JUGA: Lutfi Bansir, Lahirkan 170 Jenis Nangka dan 40 Macam Durian
Salah satunya adalah mengatasi trauma karena tragedi pemerkosaan yang dilakukan dua pria yang sebenarnya menjadi panutan. Yaitu, Parto, bapak kandung, dan Agus Yulianto yang merupakan guru agamanya.
Trauma itu masih sangat membekas di benak Siska. Bukan hanya karena pemerkosaan, tapi kekerasan fisik yang diterima selama melayani nafsu bejat si bapak.
Sosok bapak yang banyak dirindukan anak justru menjadi hantu menakutkan bagi Siska. Kepada teman terdekatnya di Yayasan Embun Surabaya, dia kerap menanyakan perkembangan proses hukum Parto.
Pertanyaannya hampir selalu menjurus pada berat hukuman. Dia khawatir jika dihukum ringan, bapaknya akan mencarinya dan membalas dendam. Apalagi dalam sidang, Parto membantah telah memerkosa anaknya.
Saking traumanya, ketika sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Siska masih hafal betul kejadian pertama yang membuat dia menderita. Mulai hari sampai jam ketika bapaknya memaksanya untuk berhubungan intim. Termasuk menggambarkan ketika dia diikat dan dihajar sebelum akhirnya dicabuli.
Rasa trauma itu masih muncul ketika bertemu dengan orang asing. Termasuk ketika ditemui beberapa hari lalu, dia langsung tertunduk sembari menyimpan rasa takut.
Tidak berhenti pada trauma. Akibat perbuatan bejat dua pria terdekatnya itu, Siska berbadan dua. Baru 40 hari lalu, janin itu lahir di puskesmas secara normal. Sesosok bayi mungil laki-laki lahir dengan normal. Hingga sekarang tidak diketahui sperma siapa yang telah membuahi rahimnya.
Sebagai anak-anak, dia belum bisa merawat anaknya dengan baik. Pada awal kelahiran, jangankan memandikan, membuatkan susu pun belum bisa. Sejumlah aktivis pembela anak bergantian mengajarinya dengan telaten.
Setelah anaknya berusia 40 hari, Siska sudah bisa memandikan meski dengan gaya yang masih agak kaku.
Anak ketiga di antara tiga bersaudara itu sebenarnya ingin memberikan ASI eksklusif. Tapi apa daya, karena masih bocah, air susunya masih belum keluar. Sejumlah terapi sudah dilakukan, tapi tetap tidak ada ASI yang keluar.
Bukan hanya itu, anaknya ternyata juga alergi meminum susu hewani sehingga harus diberi susu nabati. ”Memang harganya lebih mahal sedikit,” ucap Rendra Oktavian, salah seorang aktivis yang menemani Siska.
Untuk membeli susu, aktivis di yayasan tersebut iuran. Satu kardus berisi 250 gram, hanya cukup untuk maksimal tiga hari. Padahal, takaran susu yang diberikan sudah lebih sedikit ketimbang yang dianjurkan di bungkusnya.
Tidak jarang, susu habis ketika tengah malam. Karena tidak bisa ditunda hingga esok, pengurus yayasan meminjam kepada siapa pun yang saat itu punya uang agar sang bayi tidak menangis.
Pakaian yang dikenakannya pun sumbangan dari aktivis yang selama ini merawatnya. ”Kalau kebesaran atau kekecilan, wajar lah. Memang bukan ukurannya,” ucap Rendra dilanjutkan tertawa.
Dia dan teman-temannya merasa sangat bersyukur karena Siska mengakui anak itu sebagai anaknya. Rasa sayang tersebut terlihat ketika ada yang menggoda anaknya dengan berpura-pura akan menjewer. Siska selalu berusaha membelanya dan mencegah agar guyonan jeweran itu tidak benar-benar dilakukan.
Ketika menimang, kadang Siska menasihati anaknya. Salah satu yang ditekankan adalah status sang anak.
”Kalau ditanya orang siapa bapakmu? Bilang bapakmu sudah mati,” kata Rendra menirukan ucapan Siska. Hal itu membuat orang yang melihatnya tertawa. Sebab, Siska mengatakan pesan itu tidak dengan perasaan emosi, tapi dengan nada khas anak-anak.
Pemandangan menggelikan terlihat ketika anaknya menangis pada tengah malam. Siska yang sedang pulas tidur pun terbangun untuk membuatkan susu. Meski sedang dibuatkan susu, sang bayi masih terus menangis. Secara refleks, Siska memarahi anaknya dengan sedikit kata-kata keras.
Bintang Ramadhan, aktivis lainnya, menyatakan, sikap itu masih dipandang wajar. Dia membayangkan, anak seusia Siska seharusnya sedang dimanjakan oleh orang tua. Tapi, tidak demikian Siska. Dia harus merawat anaknya dan terbangun beberapa kali di tengah tidur lelapnya.
Meski dengan impitan masalah yang kompleks, Siska berusaha untuk menamatkan sekolahnya. Di sela-sela mengasuh sang bayi, Siska menyempatkan diri belajar dengan buku seadanya. Dia ingin bisa mengikuti ujian nasional bulan depan. ”Matematika,” ucap Siska ketika ditanya pelajaran yang paling disukai.
Untuk memudahkan belajar, papan tulis putih yang berisi jadwal kegiatan Yayasan Embun Surabaya diboyong ke kamar untuk belajar Siska. Bahkan, setiap kali belajar, para aktivis bergantian membimbingnya. Mereka membuat soal dan Siska harus menyelesaikannya dalam waktu yang ditentukan.
Keinginan Siska untuk lulus SD didukung sekolah. Seminggu sekali sekolah tempat Siska belajar mengirimkan dua orang guru ke rumah persembunyian untuk memberikan materi. ”Materinya sama dengan yang di sekolah. Tapi, lebih banyak memancing keaktifan Siska,” ucap Bintang yang juga lulusan tata boga.
Siska kini hidup sebatang kara. Kehadiran bapaknya tidak diharapkan lagi. Sementara itu, si ibu menghilang ketika Siska masih kecil dan tidak diketahui rimbanya. Meski begitu, dia memiliki keluarga di rumah persembunyian Yayasan Embun Surabaya. (*/c6/ayi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keliling 11 Negara dengan Biaya Rp 0 untuk Jalur Darat
Redaktur : Tim Redaksi