Korban Pelecehan di Australia Tolak Kompensasi Rp 804 Juta

Selasa, 03 Juli 2018 – 21:00 WIB
Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: AFP

jpnn.com, SYDNEY - Setelah berjuang bertahun-tahun, para korban pelecehan di Australia berharap mendapat ganti rugi yang setara. Apa daya, besarannya ternyata tak sesuai dengan harapan.

Risi dan trauma. Perasaan itu menyergap Doug Goulter setiap kali ada orang yang menjabat tangannya. Pria 69 tahun tersebut tak senang.

BACA JUGA: Website Popular Bagi Warga Australia Adalah Sosial Media dan Pornografi

Bagi orang lain, berjabat tangan adalah hal biasa. Namun, bagi dia, berjabat tangan sudah terlalu intim. Dia membatasi kontak fisik dengan siapa pun. Termasuk orang-orang yang dicintainya.

Bukan tanpa alasan Goulter menarik diri. Saat masih anak-anak, dia bertahun-tahun mengalami pelecehan seksual. Tepatnya ketika dia dirawat di tempat penampungan anak laki-laki di Bayswater, Melbourne, Australia, yang dikelola gereja Bala Keselamatan.

BACA JUGA: Ganti Rugi Korban Pelecehan, Australia Siapkan Rp 42,4 T

Salah seorang staf melecehkannya pada 1965–1968. Goulter tiga kali melarikan diri, tetapi kembali dimasukkan ke tempat yang sama.

Saat keluar dari tempat tersebut, Goulter malah tersandung kasus hukum dan harus mendekam dua tahun di penjara Long Bay, Sydney. Kala itu dia masih berusia 17 tahun. Di balik jeruji besi itu, Goulter kembali dilecehkan. Rasanya seperti keluar dari mulut harimau dan masuk ke mulut buaya.

BACA JUGA: Kisah Pelecehan Seksual di Penjara Yaman, Sungguh Biadab

Goulter memendam rapat-rapat kisahnya selama bertahun-tahun. Tetapi, trauma itu tetap tinggal di kepalanya. Beban tersebut kian berat karena dia tak bisa bercerita kepada siapa pun. Dia tak yakin orang di sekitarnya mau mendengar ataupun memahami kondisinya.

Kini, setelah skema ganti rugi nasional telah diterapkan, Goulter menjadi salah seorang korban pelecehan pertama yang mengajukan aplikasi. Namun, lagi-lagi dia dibuat kecewa. Dia diperkirakan menerima ganti rugi AUD 76 ribu atau setara Rp 804,5 juta. Goulter menolak besaran tersebut.

’’Bagaimana Anda bisa memutuskan angka rata-rata? Hidup saya tak bisa dirata-rata. Saya ingin ganti rugi maksimum atau apa pun yang mereka tawarkan,’’ tegasnya.

Goulter bisa saja menggugat dua lembaga yang pernah melecehkannya dan dapat ganti rugi lebih besar. Namun, dia butuh waktu. Hal yang tak dimilikinya saat ini.

Goulter tengah sakit keras dan dokter memvonis hidupnya tinggal beberapa tahun lagi. Dia mengalami kardiomiopati iskemik dan gagal jantung. ’’Tak ada pilihan lain bagi saya,’’ ujarnya pada ABC Net. Dia butuh uang ganti rugi secepatnya. Tetapi, bukan dengan besaran rata-rata, melainkan maksimal.

Goulter bukan satu-satunya yang mengalami pelecehan. Setidaknya ada 60 ribu orang yang senasib dengannya dan bisa mengajukan ganti rugi. Mereka dilecehkan di berbagai instansi dan lembaga, baik milik pemerintah maupun swasta.

Kisah pilu juga dialami Helen Kohn. Dia masih berusia lebih dari 2 tahun saat dirawat penampungan milik pemerintah Nazareth House, Queensland. Semua bentuk pelecehan rasanya pernah dialaminya. Mulai fisik, verbal, sampai seksual.

Hampir semua anak di tempat tersebut mengalami hal serupa. Hingga kini, dia bahkan ingat bau pesing dari kasur yang basah dan tangisan anak-anak. ’’Saya sering melihat adik saya Christine di area bayi dipukuli dengan gagang sisir. Tubuhnya lebam,’’ kenangnya.

Roy Janetzki memiliki kenangan serupa. Dia adalah penyintas pelecehan yang getol berkampanye menuntut ganti rugi. Janetzki dulu tinggal di Saint Augustine’s Orphanage, Geelong, Victoria. Dia dilecehkan sejak usia 13 tahun dan akhirnya memilih melarikan diri. Dia ditangkap saat mencoba mencuri mobil.

Kepada polisi, Janetzki menceritakan pelecehan yang dialaminya, tetapi tak digubris. Dia dipukuli dan diadili sebelum dipindah ke tempat penampungan lainnya.

Di tempat yang baru, nasibnya tak lebih baik. Dia kembali dilecehkan. ’’Semuanya harus diungkap,’’ ucap pria 70 tahunan tersebut dalam sebuah wawancara dengan The Australian.

Pengacara asal Melbourne Vivian Waller menegaskan, seharusnya skema ganti rugi itu menjadi pilihan terakhir bagi para korban. Sebab, begitu mengajukan ganti rugi, mereka tak bisa lagi menuntut lembaga tempat terjadinya pelecehan maupun pelaku. Terlebih, tak semua bisa mengklaim ganti rugi.

Korban yang berbuat kriminal dan dihukum lebih dari lima tahun tak bisa mengklaim. Contohnya, Rod Braybon. Dia pernah dipenjara selama 12 tahun.

Jika saja mau menuntut lewat jalur hukum, ujar Waller, korban bisa mendapat ganti rugi yang jauh lebih besar. Bisa mencapai ratusan ribu dolar. Karena itu, seluruh korban seharusnya diinformasikan soal itu sebelum membuat klaim di skema ganti rugi nasional.

Waller adalah pengacara ratusan korban yang memilih menggugat. Beberapa waktu sebelumnya, pengadilan di Victoria memutuskan bahwa seorang korban memperoleh ganti rugi lebih dari sejuta dolar dan korban lainnya mendapat AUD 700 ribu (Rp 7,4 miliar).

’’Ketika menerima pembayaran dari skema ganti rugi, mereka harus tanda tangan untuk mencabut hak menggugatnya,’’ tegas Waller.

Beberapa korban seperti Janetzki dilecehkan di beberapa institusi yang berbeda. Ada pula yang kasus pelecehannya terjadi di beberapa negara bagian. Jika diproses hukum, ganti rugi bagi para korban seperti itu bakal sangat besar bila dibandingkan lewat skema yang digagas pemerintah. (sha/c14/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perempuan Filipina Muak dengan Kelakuan Cabul Duterte


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler