Korban Pemandulan Paksa di Jepang Gugat Pemerintah

Kamis, 01 Februari 2018 – 22:23 WIB
Sekelompok pengacara mewakili korban pemandulan paksa menggelar aksi sebelum mendaftarkan gugatan di Pengadilan Sendai, Jepang. Foto: KYODO/Japantimes.com

jpnn.com, SENDAI - Eugenics Law bertitik tumpu pada pemahaman untuk meningkatkan kualitas genetik manusia. Kebijakan itu kali pertama muncul di Amerika Serikat (AS) pada awal 1900-an.

Pada 1920-an dan 1930-an, kebijakan tersebut diterapkan dalam wujud sterilisasi pasien gangguan mental di Belgia, Brasil, Kanada, Swedia, dan Jepang.

BACA JUGA: Coinchek Diretas, Rp 7,1 T Duit Virtual Raib

Seiring berjalannya waktu, Eugenics Law pudar. Tapi, tidak demikian dengan dampaknya. Perempuan dan laki-laki yang terkena kebijakan itu selamanya tak bisa punya keturunan.

Sebab, tanpa persetujuan mereka, pemerintah memandulkan mereka. Alasannya, mereka menderita gangguan mental dan dianggap tidak layak memiliki keturunan.

BACA JUGA: Menlu: Pertemuan Indonesia-Jepang tidak Sekadar Seremonial

Di Jepang, pemandulan masal tersebut menelan 25.000 korban. Rata-rata mereka dimandulkan saat menginjak remaja. Salah satunya adalah perempuan 60 tahun asal Kota Sendai, Prefektur Miyagi, yang menggugat pemerintah Jepang atas pemandulan paksa itu.

Dia menganggap pemerintah melanggar hak asasinya. Maka, dia menuntut ganti rugi JPY 11 juta atau sekitar Rp 1,35 miliar.

BACA JUGA: Strategi Hyundai Bersaing dengan Produk Tiongkok dan Jepang

’’Kami harus melewati hari-hari yang sangat berat. Kini kami berada di sini demi masyarakat yang lebih baik,’’ kata saudara ipar korban pemandulan masal tersebut sebagaimana dilansir BBC kemarin, Rabu (31/1).

Demi menjaga privasi korban yang mengaku dimandulkan pada 1972 itu, media merahasiakan namanya. Dia hanya disebut sebagai Perempuan Sendai.

Begitu gugatan tersebut diajukan ke Sendai District Court dan media meliputnya, Perempuan Sendai itu langsung banjir dukungan. Maklum, baru kali ini ada korban pemandulan masal yang menggugat pemerintah.

Selama ini semua korban diam saja. Mereka pasrah pada nasib yang mereka terima. Kepada saudara iparnya, Perempuan Sendai tersebut menyatakan bahwa Eugenics Law tidak manusiawi.

’’Korban dioperasi steril pada usia 15 tahun. Operasi itu membuatnya menderita. Dia bahkan kemudian harus menjalani operasi lagi untuk mengangkat dua indung telurnya,’’ ungkap saudara ipar Perempuan Sendai tersebut dalam jumpa pers sebagaimana dikutip Kyodo News.

Perempuan Sendai itu diidentifikasi menderita gangguan mental karena pernah menjalani operasi sumbing ketika bayi.

Eugenics Law berlaku di Negeri Sakura pada periode 1948–1996. Pada masa itu, ada sekitar 16.500 orang yang dimandulkan tanpa sepengetahuan mereka.

Salah satunya, Perempuan Sendai tersebut. Selanjutnya, sekitar 8.500 korban lainnya konon mengetahui bahwa mereka akan menjalani operasi sterilisasi sebelum masuk ruang operasi. Namun, laporan itu belum bisa diverifikasi.

Dalam berkas gugatannya, Perempuan Sendai tersebut mencantumkan data sebagian korban. Nama, alamat, dan usia saat menjalani operasi tertulis di sana. Ada 859 individu yang menjadi korban pemandulan paksa itu pada periode 1963–1986.

Sebanyak 320 korban adalah laki-laki dan 535 sisanya merupakan perempuan. Sebanyak 191 laki-laki dan 257 perempuan belum berusia 20 tahun saat menjalani operasi tersebut.

Mengenai gugatan itu, Menteri Kesehatan Jepang Katsunobu Kato memilih bungkam. Alasannya, dia tidak tahu tentang kasus tersebut secara terperinci.

’’Pemerintah akan menemui para korban dan memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan,’’ kata salah seorang pejabat Kementerian Kesehatan Jepang dalam jumpa pers. (hep/c22/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kue Moci Maut Rusak Malam Tahun Baru: 2 Tewas, 13 Kritis


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler