Kebanyakan korban perbudakan seksual yang terjadi di Australia, berasal dari negara Asia Tenggara. Lebih setengah dari mereka yang berhasil melapor ke pihak berwajib justru tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah.
ABC pekan ini menurunkan laporan yang mengungkap bagaimana para pekerja seksual dieksploitasi melalui sindikat penyelundupan manusia.
BACA JUGA: PhD Mama di Australia dan Mitos Wanita Indonesia
Laporan itu mengutip kelompok anti perbudakan yang menyebutkan bahwa modus dan bentuk eksploitasi PSK ini telah berubah, dan kebanyakan dari mereka datang ke Australia justru nmelalui cara legal dengan menggunakan visa pelajar atau visa working holiday.
Sejumlah PSK yang berhasil melarikan diri mengungkapkan, mereka dijebak ke dalam bisnis prostitusi, padahal sebelumnya dijanjikan bekerja di sektor lain. Ada pula yang memang setuju untuk bekerja sebagai PSK, namun bukan dalam kondisi perbudakan.
BACA JUGA: Berubah Pikiran, Julia Gillard Kini Dukung Pernikahan Sesama Jenis
Banyak korban perbudakan seks di Australia tidak mendapatkan dukungan pemerintah.
BACA JUGA: Sistem Pemeringkatan Universitas Terbaik Versi GUG Dinilai Tidak Akurat
Bagi para korban perdagangan manusia, sebenarnya pemerintah Australia menyiapkan program dukungan melalui Palang Merah. Para korban akan dibantu secara medis, psikologis, bantuan akomodasi, uang tunjangan, serta kursus bahasa Inggris.
Program yang didanai Departemen Sosial Australia ini mensyaratkan para korban untuk bersedia membantu proses hukum untuk menjerat para pelaku eksploitasi. Caranya, dengan menjadi saksi.
Namun kelompok anti penyelundupan manusia menyebutkan, seringkali PSK yang bersedia melapor ke polisi justru tidak diperlakukan sebagai saksi yang layak untuk diajukan untuk menyeret pelaku ke meja hijau.
Kathleen Maltzahn dari LSM Project Respect yang bekerja membantu korban penyelundupan manusia, mengatakan dia menemui sejumlah korban yang oleh polisi dianggap tidak layak sebagai saksi.
"Jika korban tidak tahu nama lengkap pelaku yang menjebaknya, atau tidak tahu alamat lengkap tempat prostitusinya, tidak ingat persis hari kejadiannya, an seterusnya, maka korban tidak akan dijadikan saksi ke pengadilan," jelasnya.
"Padahal, ada korban yang bahkan tidak tahu nama daerah tempatnya dikurung oleh sindikat, atau bahkan nama negara bagiannya sekalipun," tambah Maltzahn.
Ia menambahkan, para korban seperti itu akhirnya dipulangkan ke negara asalnya, dengan kemungkinan menghadapi risiko lebih besar dari sindikat penyelundup manusia.
LSM Coalition Against Trafficking in Women in Australia menjelaskan, syarat untuk menjadi saksi korban bagi para PSK ini tidak realistis.
"Asumsi bahwa mereka bisa begitu saja membongkar sindikat kejahatan yang menjebak mereka, merupakan asumsi yang sangat berlebihan," tutur Meagan Tyler dari koalisi tersebut.
Sementara itu, data yang diperoleh ABC dari Departemen Sosial dan Departemen Imigrasi Australia menyebutkan bahwa untuk tahun anggaran 2014/2015 yang lalu, dari 88 korban yang ikut program, namun 46 di antaranya keluar dari program itu.
Untuk periode yang sama, ada 38 korban baru yang ikut program bantuan, namun 20 di antaranya dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai saksi.
Kepolisian Australia (AFP) serta Komisi Kejahatan Australia menolak menjawab pertanyaan yang diajukan ABC terkait isu ini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Banyak Konglomerat Australia Himpun Kekayaan Lewat Koneksi Politik