Anda pernah membayangkan beratnya perjuangan para mahasiswa perempuan yang harus menghabiskan waktu 4-5 tahun untuk menyelesaikan pendidikan doktoral mereka di luar negeri? Kanti Pratiwi yang sedang melanjutkan pendidikan di Universitas Melbourne menceritakan pengalamannya.

Di balik seorang wanita hebat ada cinta yang gagal. Ini sebenarnya adalah mitos. Jika masih ada yang percaya dengan mitos diatas, tentunya perlu merenung dan menyimak tulisan ini.

BACA JUGA: Berubah Pikiran, Julia Gillard Kini Dukung Pernikahan Sesama Jenis

Di tahun keempat saya menyelesaikan studi PhD di Melbourne University, saya merasa sungguh sangat beruntung karena dikelilingi wanita-wanita hebat, yang saya sebut PhD Mama, yang sedang menapaki jalan serupa.


Dari kiri: Kanti Pertiwi (University of Melbourne), Dharma Aryani (RMIT), Pratiwi Retnaningdyah (University of Melbourne) dan Hani Yulindrasari (University of Melbourne) semua sedang menyelesaikan pendidikan doktoral.

BACA JUGA: Sistem Pemeringkatan Universitas Terbaik Versi GUG Dinilai Tidak Akurat

Wanita-wanita ini semuanya berkeluarga, oleh karenanya memiliki kewajiban di rumah layaknya istri dan ibu pada umumnya, diluar kewajiban sebagai seorang mahasiswa doktoral.

Di Australia, menjadi istri dan ibu saja sudah sulit luar biasa karena tidak ada kemewahan berupa asisten rumah tangga seperti yang kita nimati saat di Indonesia.

BACA JUGA: Banyak Konglomerat Australia Himpun Kekayaan Lewat Koneksi Politik

Ditambah tugas-tugas terkait penelitian dari supervisor, tugas-tugas sebagai bagian dari tahun pertama perkuliahan (coursework), komitmen kelompok penelitian, jadwal presentasi di konferensi, pelatihan, studi lapangan dan lain sebagainya.

Semuanya dilakukan untuk menyelesaikan program-program riset yang sangat menarik dan menantang seperti melihat perilaku sel kanker, pemanfaatan ilmu komputer untuk manajemen kinerja, hingga menyelami diskursus anti korupsi dan aktivisme buruh migran Indonesia.

Riset yang dilakukan selama empat tahun pun tak ayal menyedot energi fisik dan psikis. Bekerja sampai larut malam atau saat akhir pekan terkadang tak terhindarkan.

Belum lagi keharusan traveling saat menghadiri konferensi di kota berbeda.

Memasak secara maraton saat akhir pekan, curi membaca saat si kecil tidur, berbelanja di hari-hari diskon, mengatur shift menjemput anak dengan teman, meracik obat-obatan rumahan untuk batuk pilek musiman, adalah beberapa tips lifehack yang sering dibagikan wanita-wanita ini.

Beberapa dari wanita hebat ini juga masih menyempatkan untuk menjadi relawan dalam kegiatan-kegiatan komunitas Indonesia maupun komunitas lain di Victoria.

Para wanita hebat ini memberikan inspirasi untuk saya setiap harinya. Wanita-wanita ini seakan punya sumber energi yang tiada habisnya.

Saya percaya, salah satu sumbernya adalah cinta dalam hidup mereka: suami dan anak-anak, yang tentunya bukan cinta yang gagal.

Sebagian besar suami-suami dari wanita-wanita hebat ini mendampingi istri-istri mereka untuk menempuh hidup baru sebagai mahasiswa doktoral di Australia.


Kegiatan mahasiswa PhD juga mengharuskan mereka mengikuti konprensi dan melakukan perjalanan ke luar kota.

Meninggalkan karir maupun bisnis yang sudah susah payah digeluti, suami-suami ini memberikan dukungan penuh untuk istri-istri mereka.

Di Australia, mereka sigap mengambil alih tugas-tugas rumah tangga yang mungkin dulunya tak pernah mereka geluti.

Memandikan anak, menyiapkan sarapan, mengantar-jemput sekolah, pekerjaan yang mungkin umum untuk bapak-bapak di Australia, tapi tidak bagi kebanyakan bapak-bapak di Indonesia.

Ditambah pekerjaan tetap mereka yaitu mencari nafkah. Karena keterbatasan kondisi visa, sering kali bapak-bapak istimewa ini harus mengambil pekerjaan yang mungkin tidak sesuai dengan gelar yang dimiliki.

Ahli komputer jadi tukang cuci piring, akuntan jadi tukang koran, dokter jadi kurir, bukan hal yang aneh untuk di dengar.

Tapi kepala mereka tetap tegak, dan wanita – wanita yang mencintai mereka tetap hormat. Buat saya, untuk menjawab mitos diatas; dibalik wanita hebat, ada cinta yang kuat dari lelaki yang istimewa.

Jika terpaksa tidak bisa mendampingi selama di Australia, mereka akan berupaya untuk datang berkunjung secara berkala untuk bisa saling melepas rindu dan mengartikulasikan dukungan setia kepada istri masing-masing.

Ada saat-saat dimana mereka perlu meninggalkan pekerjaan untuk sementara untuk menjaga anak-anak saat istri harus menghadiri konferensi, mendampingi istri melahirkan, hingga berjuang bersama istri melawan kanker payudara. Sungguh, dibalik wanita hebat bukan cinta yang gagal.

Selain soal cinta, saya melihat pendidikan mempunyai tempat yang sangat istimewa di tengah keluarga-keluarga ini, selain barangkali kesempatan mereguk pengalaman hidup di negara maju seperti Australia.

Pendidikan yang ditempuh para wanita hebat ini tentunya merupakan keputusan bersama para istri dengan para suami.

Ada proses pertimbangan yang panjang di dalamnya. Apa tujuannya, motivasinya, manfaat dan ongkosnya mungkin berbeda-beda untuk setiap keluarga.

Namun pada akhirnya, wanita-wanita hebat ini bisa mendapatkan dukungan cinta dalam hidupnya untuk memperjuangkan sebuah gelar doktor.

Selain dukungan dari keluarga, pembimbing tesis doktoral di kampus pun tak kalah penting perannya.

Saya melihat di Australia ini berkeluarga apalagi memiliki anak adalah sebuah pilihan yang menuntut tanggung jawab besar sehingga mereka yang memilih untuk mengambilnya sangat diberikan dukungan dan perhatian.


Kanti Pertiwi sedang berbelanja bersama putrinya.

Perkara anak sakit, harus hadir acara di sekolah atau day care, perayaan hari besar seperti lebaran, atau sekedar butuh waktu untuk meluangkan waktu bersama keluarga yang sedang datang berkunjung misalnya, bukan sesuatu yang tabu untuk disampaikan ke pembimbing, dengan cara yang elok dan tertib administrasi tentunya.

Dukungan yang tidak selalu bisa kita temukan saat berkarir sebagai wanita berkeluarga di Indonesia.

Mitos lain yang turut dipatahkan oleh para wanita ini adalah bahwa wanita muslim tidak bisa berkiprah di luar rumah.

Islam yang terbelakang, Islam yang sempit, Islam yang diskriminatif, Islam yang memarjinalitaskan perempuan, yang lebih banyak dipotret media, tidak tampak dalam kehidupan para wanita ini, yang saya yakin jumlahnya tidak sedikit dan tersebar di berbagai belahan dunia seperti di Inggris, Belanda, Jepang, Amerika Serikat dan banyak negara lainnya.

Bangga mengusung identitas muslimah mereka, para wanita ini aktif di kegiatan-kegiatan kajian muslimah, dan tentunya dengan dukungan para suami.

Diskusi dengan mereka selalu diisi dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dan referensi bacaan-bacaan bermutu dari mulai sejarah runtuhnya Baghdad sebagai pusat kebudayaan Islam sampai isu kontemporer seperti pendidikan anak dan perkembangan feminisme dalam Islam.

Diskusi bisa diadakan dimana saja, dan ketika Melbourne sedang indah-indahnya, tidak salah untuk mampir ke salah satu sudutnya untuk bercengkerama.

Salam cinta dari PhD Mama untuk wanita hebat Indonesia dimanapun berada.

* Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Kanti Pertiwi, PhD Candidate in Organisation Studies, University of Melbourne sebelumnya adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dari tahun 2006 dan pernah juga bekerja di ya bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi.

BACA ARTIKEL LAINNYA... TKI Wilfrida Soik Akhirnya Bebas dari Hukuman Mati di Malaysia

Berita Terkait