jpnn.com - JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPKS) menganggap aborsi merupakan hak bagi orang yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan. Namun, LPKS mengingatkan penerapannya harus dilakukan secara cermat.
“Penerapannya harus dilakukan secara cermat," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu dalam keterangan resmi LPSK, Selasa (19/8).
BACA JUGA: Jika Masuk Kriteria Ketua DPR, Puan: Alhamdulillah
Ia melanjutkan, aborsi dapat diberikan terhadap korban perkosaan sepanjang tidak membahayakan jiwanya.
Menurutnya keselamatan korban harus menjadi proritas utama termasuk terkait aborsi ini. “Harus jelas dokter mana yang bisa diberikan wewenang untuk melakukan tindakan tersebut," katanya.
BACA JUGA: KPK Bakal Dalami Pengakuan soal Uang Nazar untuk Fahri
Untuk menghindari penyalahgunaan peraturan, Edwin menilai perlu ada pembuktian hukum yang kuat bagi pihak-pihak yang akan melakukan aborsi. “Peran aparat penegak hukum sangat menentukan proses ini," katanya.
Selain itu, LPSK menilai aborsi juga perlu mempertimbangkan ajaran agama. “Jika korban beragama Islam, maka disarankan mengikuti pula arahan dari MUI terkait aborsi ini," papar Edwin.
BACA JUGA: Kapolri Pastikan Penembak Kapolsek Ambalawi Kelompok Teroris
Namun pada akhirnya, keputusan untuk melakukan aborsi harus ditentukan oleh korban itu sendiri. Jika korban tidak mengkehendakinya, maka tindakan ini tidak boleh dilakukan. Sebaliknya jika memang dikehendaki, maka tindakan ini bisa diambil.
Seperti diberitakan Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Dalam PP tersebut, dilegalkan aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Puan Tegaskan Posisi Ketua DPR Hak Pemenang Pileg
Redaktur : Tim Redaksi